Jumat, 30 Desember 2011

Sepotong Cerita Dari Serambi Mekah

Lebih  kurang delapan  tahun  aku  menitipkan cerita di sini, di kota Serambi Mekah, begitu orang-orang mengenalnya sebuah kota yang berada di Kabupatan Kampar. Setelah menghabiskan sepenggal cerita di Pulau Bengkalis aku harus ikut bersama kedua orang tuaku berhijrah ke Bangkinang , tanah kelahiran kedua orang tuaku. Saat  itu seragam  putih dongker masih membungkus tubuhku.
Berubah status menjadi warga Bangkinang banyak kutemukan kesulitan dalam beradaptasi terutama dalam berkomunikasi, karena  rata-rata teman-teman seusiaku  menggunakan bahasa ocu[1] yang merupakan bahasa daerah daerah Bangkinang. Aku mengerti dengan apa yang mereka ucapkan karena bahasa ocu juga sering digunakan oleh kedua orang tuaku saat masih berada di Bengkalis, hanya saja aku  kesulitan untuk mengungkapkannya. Aku yang sudah terbiasa menggunakan nada e ketika berbicara harus belajar dengan keras menggantinya dengan nada o karena bahasa ocu  adalah gabungan dari bahasa melayu dan  minang yang identik dengan nada o.
            Di Bangkinang aku melanjutkan kembali sekolahku yang sempat tertunda di sebuah SMP yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Sejak itulah untuk pertama kalinya aku menggunakan wajah baru ke Sekolah dengan sehelai Jilbab, tetapi saat itu aku menggunakannya bukan dari hati melainkan atas peraturan Sekolah yang mewajibkan para Siswi untuk menggunakan jilbab. Karena rata-rata penduduk Bangkinang mayoritas beragama islam. Dapat dilihat dari cara berbusana dan juga banyaknya Mesjid yang terbangun ditambah lagi dengan sebuah  Islamic Center  yang baru dibangun beberapa tahun yang lalu. Di setiap Desa juga aktif dengan acara keislaman salah satunya kaum Ibu yang melaksanakan wirid yasin setiap rabu dari rumah ke rumah dan kajian keislaman setiap jum’at.  Dari segi pendidikan  rata-rata setiap Desa memiliki MDA dan TPA.  Mungkin karena banyakknya nuansa islami, Bangkinang mendapat julukan Serambi Mekah.

Minggu, 25 Desember 2011

Aku dan Wanita Bermata Teduh

Surau itu masih kuraskan kesejukannya mengalir ke uluh hatiku. Di surau inilah pertama kali aku mengenalnya, merangkai cerita demi cerita bersamanya walaupun hanya dalam puluhan hari, namun ia mampu menorah warna di lembar hiupku yang pudar dan kusut.
            “Anak-anak, ini Kak Cahaya yang akan mengajarkan kalian  untuk sementara.” Umi Aida guru mengaji kami mengenalkan wajah yang belum pernah kutemui di Desaku.
            Perempuan itu tersenyum. Dari kedua bola matanya menyuluhkan teduh. Nur Cahaya seseorang yang hanya kukenal dalam puluhan hari. Seorang Mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di Provinsiku. Keberadaannya di Desaku adalah untuk melaksnakan KKN.Kak Cahaya, begitu aku memanggilnya. Kehadirannya membawa segelas mimpi untuk mengisi ruang jiwaku yang hampa.

Sabtu, 24 Desember 2011

Kepadamu Peri Berhati Embun


Pekanbaru,12 Desember 2011
Kepadamu Peri Berhati Embun
Di kota Serambi Mekah
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam rindu kutitipakan dalam bait untaian kata sederhana pada secarik kertas ini
Kutulis surat ini dengan segenap rasa sayang, dengan segenap rasa cinta, dengan segenap rasa bangga, dengan segenap rasa kagum yang bergemuruh dan dengan segenap rasa yang tak mampu kuluahkan
Sejujurnya bibirku kelu, jemariku kaku entah dari mana harus kumulai merangkai  rasa yang menumpuk di hatiku. Mungkin rasa kaku itu dikarnakan kefrustasiaanku karena sampai hari ini aku belum bisa menjadi sosok yang berarti untukmu, belum ada yang dapat kau banggakan dariku.
Ibu….
Lewat sepucuk surat ini kukiramkan seuntai maaf untukmu atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. Membantah perkataanmu, tidak menghiraukan nasehatmu, bahkan meniggikan suaraku padamu dan itu kulakukan bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali hingga luka itu singgah dihatimu. Tapi masih saja kutemui binar cinta dari kedua bola matamu. Kadang ingin rasanya aku masuk kedalam hatimu melihat seberapa besar kesabaranmu dan sedalam apakah lautan kemaafan yang kau miliki.

Senin, 12 Desember 2011

Seuntai Maaf Bunda


Esok 22 Desember. Tidak ada lagi yang istimewa bagiku seperti cerita-cerita yang dibanggakan teman-teman selokalku setiap tahunnya, setelah luka itu hadir tiga tahun yang lalu.
Rini pulanglah sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja
Sebait pesan singkat yang dikirmkan Tanta Ayu untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi dengan nada yang sama yang meminta kepulanganku demi wanita itu.
Aku berdiri di jandela sunyi dengan dua bola mata menatap jauh ke langit senja yang mulai berayun di kaki langit. Potongan-potongan masa lalu kembali kutembus.
“Uang segini mana cukup untuk makan Bang, apalagi harus disisihkan untuk uang sekolah Rini.” Urai Bunda kesal saat Ayah baru saja pulang menarik becak sehriaan, aku mendengarkannya dari ruang tamu yang tidak terlalu jauh dari kamar Bunda.
“Besok akan Abang usahakan lagi untuk mencari uang tambahan.” Jawab Ayah tenang.
Ayah selalu begitu, tenang dan mendamiakan. Tak pernah sekalipun kudengar kata-kata kasar mengalir dari bibirnya. Termasuk ketika Ayah di PHK di salah satu perusahaan tempat Ayah bekerja.
“Ada saatnya manusia itu berada diatas dan ada saatnya manusia itu berada di bawah,mungkin ketika berada diatas ada sombong yang menggunung di hati dan ini adalah salah satu cara Allah untuk menegur.” Ujar Ayah bijak.
Kebijaksaanya itulah yang membuat decak kagum tak berhenti bergemuruh di hatiku, tetapi segala kebaikan Ayah yang mengalir dihatiku tak ikut mengalir menuju hati Bunda.
Semanjak Ayah di PHK kondisi ekonomi keluarga kami berubah sembilan puluh sembilan persen. Tidak ada lagi rumah mewah, tidak ada lagi mobil yang mengkilat, dan tidak ada lagi perhiasan-perhiasan yang bergantungan di tubuh Bunda. Yang tersisa hanya rumah kontrakan sempit dan becak tua yang Ayah beli dari uang sisa tabungannya. Karena hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan telah merubah Bunda menjadi sosok yang tak pernah kukenal. Tak ada lagi tutur kata lembut yang mengalir dari bibir Bunda melainkan kata-kata yang membuat dadaku sesak setiap kali mendengarkannya. Mungkin perubahan Bunda dikarnakan Bunda tidak pernah hidup susah. Dulu sebelum Ayah melamar, Bunda sudah tebiasa hidup berlebih.
Hari berganti, bulan berganti, bahkan tahun berganti perubahan sikap Bunda semakin kental hingga luka itu hadir.

Rabu, 09 November 2011

Jalan


Jalan diujung matanya seolah lengket dalam pandangannya. Dari dua bola matanya ada asa yang menyala berharap cerah segera menyapu hujan yang masih memukul-mukul atap rumahnya.
“Anak-anak, rabu depan kita akan mengadakan ulangan.” Ucapan Buk Meri guru Bahasa Indonesianya kembali melintas didaun telinganya.
Sekilas pandangannya menoleh kearah jam usung yang tergantung di dinding rumahnya yang lapuk, jarum jam itu telah menunjukkan jam 7.15. itu berarti ia hanya memiliki waktu lima belas menit lagi agar bisa sampai ke sekolah.
Pandangannya kembali menatap jalan di depan rumahnya yang telah berubah menjadi lumpur setelah diguyur hujan semalaman. Beginilah kondisi desa kelahirannya, setiap kali musim hujan, jalan berubah menjadi lumpur karena masih bertanahkan merah, tidak ada yang ingin keluar rumah kecuali warga yang memiliki ekonomi diatas rata-rata, yang sudah memiliki kendraan bermotor.
“Inur, serapan dulu Nak.” Suara wanita paroh baya itu membuyarkan lamunannya.
Diliriknya ubi rebus yang masih menggumpal kan asap telah terhidang di depannya.
“Kalau hujan tidak reda, tidak usah ke sekolah dulu.” Tegur wanita itu.
“Inur harus ke sekolah Mak, hari ini ada ulangan.” Jawabnya sambil melahap sepotong ubi kayu sebagai pengganjal perutnya yang dari terus berbunyi-bunyi.

Selasa, 08 November 2011

Cerpen: Luka Dalam Gerimis September



September masih saja gerimis menetes pada sebentuk luka yang menganga padahal sudah satu tahun kisah itu berlalu. Ingatanku kembali menembus potongan slide pertama kali aku mengenalinya.
“Dik, ikut training motivasi?” Tawar lelaki jangkung yang berkaca mata itu sambil menyerahkan selembar brosur kearahku.
Kuraih brosur itu dari tangannya sambil merapikan rambut panjangku yang diterbangkan angin.
“Kalau adik berminat ingin ikut silahkan hubungi No hp yang tertera di brosur itu.” Lanjutnya dengan senyum persahabatan yang ingin ia salurkan. Namun aku hanya membalas sikap dingin seperti biasa yang aku lakukan pada setiap orang.
Aku Naya Karisha Mahasiswi baru disalah satu Universitas Negri di daerahku. Empat tahun yang lalu aku adalah gadis ceria yang ingin bersahabat dengan siapa saja. Namun sosok ceria dalam diriku mulai memudar sejak luka melumuri hariku. Luka yang telah merubahku menjadi gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis.
Aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang bahagia yang memiliki tingkat ekonomi bisa dikatakan diatas rata-rata. Papa adalah seorang pengusaha yang memiliki beberapa toko pakaian di daerahku sedangkan Mama adalah guru SMP.walaupusn sibuk, Mama dan Papa selalu meluangkan waktu untuk berbagi cinta denganku karena aku adalah anak semata wayang mereka. Namun ketika seragam putih abu-abu masih membungkus tubuhku, kebahagiaan itu hancur setelah Mama mendapati Papa sedang berselingkuh dengan salah seorang karyawannya. Mama shock, tidak menyangka Papa akan menghianati cintanya.Mama meminta Papa untuk segera mengakhiri rumah tangga yang telah hampir delapan belas tahun terbangun. Dan Papa mengabulkan permintaan Mama. Setelah Papa dan Mama berpisah aku memutuskan untuk tinggal bersama Mama. Rasa benci kepada Papa mulai menumpuk dihatiku apalagi setelah berpisah dari Papa, hidup Mama jadi tidak karuan karena luka yang disajikan Papa amat perih hingga akhirnya Mama dirawat di rumah sakit jiwa. Mama stress.
Dan aku adalah gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis. Aku berubah menjadi dingin tak ingin bersahabat. Tapi lelaki itu telah mencairkan kebekuaanku. Rogi Yuranda, lelaki yang pernah menawarkan brosur training motivasi saat hari pertama aku berstatus Mahasiswi. Ternyata ia adalah ketua Rohis, salah satu organisasi keislaman di kampusku. Lelaki jangkung berkaca mata, berjenggot tipis yang sentiasa menggunakan jacket organisasi dan membawa ransel di punggunya, Ia adalah sosok bijaksana selalu menjadi perbincangan hangat dikalangan cewek-cewek dijurusanku.
Berawal dari training motivasi yang ia tawarkan kepadaku dan semenjak itu lah aku mulai mengenalnya. Seperti ada magnet yang menarikku untuk mendekatinya. Untuk berbagi kisahku kepadanya. Kemudian Ia menghadirkan warna baru dalam hidupku, membawaku menyelusuri makna hidup, Itu kubuktikan saat menemani Papa di sisa terakhir napasnya.

Minggu, 30 Oktober 2011

Secangkir Luka Dalam Kenangan



Petang menyapa kisah lara
Aku mencari hati Pada sebaris cerita
Masih kucium aroma perihnya
Menjadikan aku meretas air mata
Terlalu pahit dan menyiksa
Aku terkurung dalam pedih yang tak kunjung selesai
Luka yang kau tanam
Tumbuh bertangkai
Pilu berdaun
Tangis berbunga
Dan hari menjadi bisu, gelap, sunyi

Sabtu, 29 Oktober 2011

Bahkan Mawar pun Cemburu


Aku mengenalnya hanya lewat angin yang menjelma dalam sederet untaian kata tiga tahun yang lalu.
“Salam ukuwah.” Itulah sebaris kalimat yang mengawali perkenalan kami melalui jejaring social bernama friendster dan aku tidak ingat lagi entah siapa yang mengawalinya.
Perkenalan itu kemudian berlanjut saling tukar alamat YM sampai bertukar no hp. Seperti ada magnet yang terus menarik hati kami untuk terus mendekat walaupun terpisah oleh jarak Pekanbaru dan Medan. Ukuwah mulai tumbuh dalam lembaran hari setelah aku tahu ternyata dia juga berdarah melayu yang dulunya satu SMA dengan sepupuku di sebuah SMA yang cukup ternama di Riau. Dan yang membuat kami semakin dekat adalah aku dan dia sedang sama-sama meniti jalan cahaya yang baru kutemui di bangku perkulihaan. Ukuwah mulai beranting dengan hati yang kian menyatu, aku mulai berbagi kisah dengannya tentang kisahku yang berlumuran air mata dan dia selalu siap menampung ceritaku yang selalu bernadakan sendu kemudian memberikan aku berjuta nasehat agar aku tidak merasa sendiri. Ia hadir memberikan aku sebebuah pelampung saat aku tenggelam di lautan keputusaan agar aku mampu berenang ke tepian menggapai permukaan membangun mimpi Yang beratapkan harapan dan hari telah kubangun mimpi yang bertapkan harapan, berdindingkan asa.

Jumat, 28 Oktober 2011

Hati Emak



Aku menatap seinci demi seinci tubuh ceking milik wanita yang bersatus Emakku itu. wajahnya yang mulai keriput kelihatan sangat tua dibandingkan umurnya yang masih empat puluh tahun. Warna kulitnya yang legam dengan kelopak bawah matanya yang cekung, urat-urat tangannya yang menonjol, ditambah lagi sebalah kakinya yang pincang. Tak kutemui sedikitpun kesan cantik di wajahnya, berbeda jauh denganku, aku selain memiliki wajah cantik , aku juga memiliki otak yang bisa diandalkan yang telah membawaku ke salah satu SMA ternama di daerahku dengan beasiswa atas prestasiku. Jadi wajar saja jika di sekolah banyak yang ingin mendekatiku termasuk para lelaki. Tapi wanita itu karena kehadirannyalah sampai hari ini aku belum memilih sahabat untuk menjadi teman dekatku. Aku malu jika nanti teman-temanku tahu seorang Fatimah yang hampir sempurna memilki Emak sepertinya. Dulu saat aku masih menduduki bangku SMP wanita itu pernah datang ke sekolahku untuk menghadiri rapat wali murid. Aku sudah melarangnya tidak usah menghadiri rapat itu. Tapi ia masih saja datang ke Sekolah hingga teman-temanku tahu dialah Emakku. Semuanya mengejakku.
“Fatimah, dia Emakmu ya?” Tanya salah seorang temanku dengan sorot mata yang mengejek.
“Kenapa tidak mirip?”
“Emakmu pincang ya?”
Berjuta pertanyaan yang membuat aku hanya diam menjawab semuanya. Aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Nuraniku ingin sekali rasanya kupeluk wanita itu . Tapi nuraniku terkubur oleh egoku ingin rasanya kuteriakkan sama teman-temanku. Kalau wanita itu bukanlah Emak kandungku. Aku tak pernah menumpang di rahim wanita itu. Ia hanya seorang janda tanpa anak yang dinikahi oleh Ayahku setelah tiga tahun Emak meninggalkan kami. Saat itu aku masih duduk kelas lima SD. Sejak awal aku sudah tidak menyukai wanita itu. Aku juga tidak habis pikir kenapa Ayah ingin menikahi wanita itu yang jika di bandingkan dengan Emak kandungku sangat jauh berbeda.
“Ayah, bukan menikahi wajahnya, tapi Ayah menikahi hatinya.”

Senin, 10 Oktober 2011

Sebuah Goresan Untuk kakak


Kak, saat ini aku ingin sekali bercerita denganmu sangat ingin Kak, walau hanya lewat anganku saja karena berharap bercerita sambil menatap wajahmu hanya sebuah harapan kosong yang tak akan pernah mampu kuisis dengan segelas mimpi indah. Entahlah, di dalam darahku juga mengalir darahmu, dan juga kita di besarkan dengan peluh keringat seorang Ayah yang sama, tapi diantara kita seperti ada sebuah tembok yang membuat jarak antara aku denganmu. Entah sejak kapan tembok itu terbangan dan entah siapa yang memulainya, aku atau kakak kah?
Kak, terkadang aku iri mendengarkan cerita dari teman-temanku tentang seorang kakak yang begitu indah. Dan aku selalu pulang membawa segudang air mata. Karena keindahan itu tak pernah kutemui pada kakakku, aku iri kak sangat iri.
Kak, kadang masih saja cerita lama memutar hari-hari luka yang pernah aku lewati. Kakak tahu ingin sekali saat itu aku mnegadu kepadamu berharap kakak mengobati lukaku dengan menyediakan pundakmu dan mengusap kepalaku.
“Sudahlah sayang ini adalah proses untuk menjadi lebih dewasa.” Kata – kata itu yang sangat kuharapkan keluar dari bibirmu. Tapi lagi-lagi aku hanya menggenggam harapan kosong. Bukan obat yang kudapatkan, tapi luka yang kau torehkan lebih dalam lagi yang kusembunyikan di sudut mataku yang mengkristal, tapi kau tak pernah tahu dan tak akan pernah ingin tahu karena tak seincipun pernah kau pedulikan aku.
Kak, empat tahun yang lalu adalah edpisode tersulit yang pernah aku lewati dalam skanario hidupku dan merubah semua tentang aku. Tak ada lagi senyum yang selalu kubawa kemana-mana, tak ada lagi ceria yang kuletakkan di jantung hari, tak ada lagi asa, tak ada mimpi, tak ada lagi. Aku hanya seperti patung es dingin menanggapi hari. Tapi hari lukaku sudah sembuh. Lihatlah kak telah ku usap air mata itu sampai mongering, jiwaku telah kembali walau kadang aku terjatuh, namun aku akan tetap berdidri meski harus tertatih karena sesulit apapun hidup harus tetap di jalankan dan masih ada seribu bintang di langit sana yang mesti kurengkuh.
Kak, aku tak pernah membencimu. Selalu kusisakan untukmu ruang yang paling istimewa di hatiku. Karena aku ingin seperti daun. Dan yang jatuh tak pernah membenci angin. Sebutir rindu untukmu kak.

Jumat, 07 Oktober 2011

Ini Ceritaku dengannya



Murni harsyi passya,seseorang yang pernah menorehkan warna kembali di lembar hidupku yang hampir pudar (sokdramtis.com). Masih kuingat saat pertama kali bertemu dengannya saat aku ingin mencari kost-kost’an baru.
“Kak, boleh pinjam mukenahnya.” Tanyaku hati-hati karena kulihat ada bawaan bad mud di wajahnya.
“Iya dek pakai aja.” Jawabnya ramah tanpa senyum.
“Kiblatnya ke mana ya kak?” tanyaku lagi lebih hati-hati.
“Lurus aja dek.” Jawabnya kali ini dengan wajah kusut.
Mungkin ia sedang banyak masalah. Begitu aku mengambil kesimpulan saat itu berdasarkan dari pengalaman dari sikapku sendiri.
Setelah beberapa hari dari pertmuan itu akhirnya aku serumah dengannya. Cuek. Itulah kesan pertama yang bisa kuambil. Sangat berbeda dengan kakak yang lain yang membuat aku kewalahan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan seperti mewancari artis yang naik daun sedangkan Kak Murni satu pertanyaan pun tak aku terima darinya. Palingan ia hanya tersenyum dan sekali-kali saat kami makan berjam’ah ia bercerita yang membuat aku diam-diam tertawa geli mendengarkan ceritanya. Lucu.
Saat hampir sebulan aku berada di kost baru, tanpa ada rencana aku mulai dekat dengannya. Berawal dari punya hobi yang sama yaitu menulis. Ternyata kami sama-sama suka menulis cerpen.
“Ini baca aja cerpen-cerpen kakak.” Tawarnya memperlihatkan karya-karyanya yang telah di bukukan dalam lembar double volio. Kubaca judul per judul yang rata-rata beraromakan pink. Selain sama-sama suka menulis kami juga sama-sama suka ke warnet. Saat itu lagi trend-trendnya Friendster, YM, MIRC, kami belum kenal yang namanya facebook maklumlah sedikit katrok. Jadi karena sering ke warnet kami selalu bertukar cerita, saling bertanya yang nanti jawabannya sama-sama nggak tahu hehehe..
Seiring berjalannya waktu ukuwah mulai terajut. Banyak persamaan di antara kami. Mulai dari suka nulis, suka dunia maya, suka gengsiaan. Walaupun kami dekat tapi hampir tidak pernah kami menggunakan kata-kata sayang, dinda. Kalau kata orang sih tidak romantis, tapi jangan salah secara nyata memang tidak bisa romantis tapi secara tulisan jangan coba-coba kalau tidak ingin tinggal di atas awan hehehe. Bukan hanya itu kami juga suka ke Mol, tapi bukan untuk shopping melainkan hanya untuk membeli roti yang harganya sepuluh ribu ke bawah. (Hehe,,ngirit maklum masih mahasiswa). Pernah kami ke mol hanya ingin nebeng makan gorengan harga lima ratusan yang kami bawa dari kost hehehe. Mungkin hal ini yang membuat kami mendapatkan prediket culun yang hari ini masih saya pertanyakan (Emang culun itu seperti apa?).
Walaupun umur kami hanya terpaut dua tahun, kami lebih cocok dikatakan sahabat dariapada adik kakak. Kak murni itu selalu tampil adanya, tidak hanya memperlihatkan yang baik-baik saja, malah kadang aku hanya menjadi pendengar setia dari cerita-ceritanya yang kadang membuat aku bingung. Siapa yang kakak dan siapa yang adik ya?. Tapi kadang-kadang secara tiba-tiba ia bisa berubah menjadi dewasa yang menjawab masalah-maslahku dan patut aku berikan nilai A +” cerdas”. Selain di warnai dengan kebahagiaan ukuwah kami pernah juga diwarnai dengan warna sendu, tapi tak perlu aku ceritakan toh endingnya kami baikan lagi.
Hampir empat tahun sudah aku mengenalnya. Dan hari ini sosok yang panggil kakak itu tak kutemui lagi tawanya. Karena ia baru saja memperoleh gelar Spd,I, dan juga telah menggenapkan separuh dinnya. Tinggallah aku sendiri yang masih jojoba (jomblo-jomblo bahgia).
Kak, walaupun kita tak lagi merangkai hari bersama, namun kenangan yang pernah kita ukir dalam beribu hari akan tetap indah, kemaren, hari ini, dan esok

Senin, 03 Oktober 2011

Ini Tentang Mimpi-Mimpiku



Dream. Semenjak memasuki semester tujuh, satu kata it terus menari-nari di benakku. Kadang pesismis melecutku.
“Mungkinkah aku bisa merengkuh mimpi-mimpi yang telah kutulis di lembar harapan atau terlalu tinggikah mimpiku sehingga ia hanya akan menjadi mimpi dan hanya mimpi.” Kucoba menepis pesimis, bukankah ada Allah yang akan memeluk mimpi-mimpiku.
Jika esok mimpiku tak kurengkuh pasti Allah telah mempersispkan mimpi yang jauh lebih indah untukku. Seperti empat tahun yang lalau.Saat aku sangat menginginkan mengiginkan menjadi guru bahasa inggris. Semua usaha telah kulakukan untuk meraihnya, mulai dari belajar tiga kali sehari yang biasanya hanya sks(system kebut semalam),belajar di tempat bimbel yang menguras kantong keluargaku. Tapi hasilnya sama saja, aku gagal, mulai dari jalur PBUD samapi jalur mandiri(begok banget ya). Malah aku nyasar di jurusan yang membuat aku berlinang air mata menjalaninya.karena tidak ada cinta diantara kami, ibarat seorang wanita yang di nikah paksa dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Begitulah hari-hari yang aku lewati. Tapi hari ini aku sedang belajar menyukainya. Kalau sampai hari ini masih saja aku pelihara rasa tidak suka itu kapan aku bisa wisudanya yang tergetnya Agustus 2012 aku telah mendapatkan gelar SE,I.
Menjadi guru bahasa inggris. Telah lama kukubur mimpi itu. Jika dulu setiap kali melewati gedung bahasa inggris, ingin sekali rasanya aku menghentikan kaki di gedung itu dengan air mata yang menggenang. Tapi hari ini sudah biasa saja kerana Allah telah menggentikan dengan mimpi yang jauh lebih indah.
“Menulis” itulah mimpi terindah yang di pilihkan Allah sebagai ganti dari kegagalanku. Kegagalan memberikanku sejuta inspirasi untuk kutuangkan dalam tulisan dan hari ini mimpi itu mulai bersinar. Yup, mari kembali ke mimpi-mimpiku yang ingin sekali melanjutkan S2 dengan biaya hasil dari keringatku sendiri (dapat uang dari mana ya). Kemudian menjadi dosen yang memilki karya-karya best seller( hehehe sepertinya aku benar-benar sedang bermimpi, pesimis). Eistss…ada satu mimpi yang aku lupakan. “Menikah” setiap kali mendapatkan pertanyaan sensitif ini “Kapan nikah?. Hanya sebuah senyum yang aku lemparkan sebagai sebuah jawaban yang aku sendiri tidak tahu apa maknanya. Mungkin dua tiga tahun lagi aku memikirkannya setelah aku menjadi orang luar biasa dan cocok bersanding dengannya yang luar bisa (siapa Ya?). Sekarang harus focus pada mimpi yang ingin sekali kurangkul yang bisa kulakukan hanya usaha, tawakal dan berdoa.
“Allah peluklah mimpi-mimpiku.”

Minggu, 02 Oktober 2011

Dua Hati, Aku dan Wanita itu



“Mas janji akan setia menemani hari-harimu Dik.” Itulah sebaris janji yang di ucapkan Mas Ardi di masa-masa awal pernikahan kami.Sebuah janji yang membuat aku melayang ke angkasa menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Tapi tidak untuk hari ini janji itu seperti sembilu yang menusuk-nusuk uluh hatiku dan menyisahkan luka yang menganga. Setelah ia membawa wanita itu pulang ke rumah beberapa bulan yang lalu.
Hampir sepuluh tahun sudah aku membangun istana cinta dengan Mas Ardi. Lelaki yang memang sudah lama kukenal. Di awal pernikahan,,rumah tangga kami terbangun sangat harmonis. Dimataku Mas Ardi adalah sosok lelaki romantis yang selalu memiliki sejuta kejutan untukku, salah satunya menuliskan kata-kata cinta yang membuat pipiku merona pink setiap kali membacanya. Memasuki tahun ke dua usia pernikahan kami, rumah tangga kami bertambah harmonis karena di anugrahi dua orang putri kembar Lala dan Lili.Walaupun saat itu kondisi perekonomiaan kami pas-pasan dengan uang yang di hasilkan Mas Ardi sebagai pendodos sawit hanya cukup untuk biaya makan kami. Namun kami tetap bahagia membesarkan dua buah hati kami yang mulai tumbuh menjadi anak-anak yang menggemaskan.
Sampai Lala dan Lili mulai memasuki bangku sekolah dan perlahan-lahan kondisi ekonomi kami mulai berubah. Mas Ardi tidak lagi bekerja sebagai pendodos sawit, tetapi ia sendiri yang mengolah beberapa hektar sawit yang ia beli dari gajinya sebagai ketua RT. Ya, Mas Ardi dipercayakan menjadi ketua RT di desa kami tinggal, kemudian berlanjut ke kepala dusun,dan hari kini ia di percayakan menjadi kepala Desa. Dan tentu saja jabatan yang di miliki Mas Ardi merubah kondisi ekonomi kami jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Tapi setelah beberapa bulan menjabat sebagai kepala Desa, aku mulai merasakan perubahan sikap Mas Ardi, sikapnya tak sehangat dulu lagi. Ia tak lagi mengecup keningku sebelum ia berangkat kerja ataupun kata-kata cinta yang selalu ia tulis seperti biasanya tak ada lagi kuterima.
“Ah mungkin Mas Ardi sibuk dengan pekerjaanya.” Begitu prasangkaku saat itu. Tapi galau mulai bergantungan di benakku. Setelah aku mendengarkan isu-isu yang menyebar bahwa Mas Ardi memiliki hubungan khusus dengan Bendahara Desa. Yang memang kecantikannya sudah lama menyebar di desaku dan kadang membuat aku sangat khawatir Mas Ardi akan tertarik dengannya apalagi Mas Ardi setiap hari pasti bertemu dengan bendehara itu. Karena tidak tahan dengan resah yang menghantuiku hari-hariku. Kocoba tanyakan langsung dengan Mas Ardi tentang isu-isu itu.
“Jangan percaya itu hanya gossip belaka.” Jawab Mas Ardi menatapku dalam.
Setelah mendengarkan jawaban Mas Ardi kucoba untuk menepis segala prasangka buruk yang pernah menggumpal di benakku. Dan tetap percaya dengan Mas Ardi. Tapi rasa percayaku memudar saat aku tanpa sengaja membaca sebuah pesan masuk di hp Mas Ardi. Sebuah pesan masuk bernadakan mesra yang di kirimkan oleh bendahara itu. Kucoba membaca pesan balasan yang dikirimkan Mas Ardi dan perih mulai menjalar saat mataku juga menjumpai sederet kalimat mesra yang dikirimkan Mas Ardi. Bukan hanya itu aku juga membuka galeri Foto di hp Mas Ardi. Aku seperti tertimbun oleh pecahan-pecahan langit saat melihat foto-foto mesra Mas Ardi dengan bendahara itu. Segera kucari Mas Ardi minta penjelasan darinya tentang apa yang baru saja kulihat.
“Mas ini apa?” Tanyaku dengan tangis yang tertahan.
Mas Ardi bungkam dengan seribu bahasa saat kulihatkan foto-foto mesra ia dengan bendehara itu.
“Apa ini Mas?” Suaraku mulai bergetar.
Kulihat mukanya memerah sepertinya bibirnya kaku untuk memberiku penjelasan
“Jawab Mas.” Emosiku mulai memuncak dengan air mata yang mulai mengalir.
“Dik,Maafkan Mas, Mas telah jatuh cinta lagi.” Kutahankan kakiku agar tidak jatuh saat mendengarkan ucapan Mas Ardi yang meluluh lantakkan hatiku.
“Izinkan Mas untuk menikahinya.” Mendengarkan permintaan Mas Ardi membuat aku seperti terkurung dalam sebuah neraka.
Dan hari ini aku telah berada dalam neraka itu yang harus rela berbagi cinta dengan wanita itu. Kadang hatiku perih sangat perih saat mendapati Mas Ardi bermesraan di depan mataku. Ingin rasanya ku akhiri saja semua ini, tapi aku tidak ingin Lala dan Lili ikut terluka dengan keputusan yang kuambil. Biarlah luka itu aku menahan perihnya sendiri.
“Dik, Mas janji akan setia menemani hari-harimu.” Janji itu kembali melintas di benakku yang membuat air mataku kembali mengalir setiap kali mengingatnya.
Jika aku tahu kisahku akan berending dengan sebuah luka ingin rasanya aku kembalikan waktu. Hidup seperti dulu dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, tapi di hati Mas hanya ada satu hati yaitu aku, tapi sekarang saat ia telah memiliki kedudukan ia memiliku dua hati. Ada aku dan wanita itu.
“Kedudukan telah merubahmu Mas.” Teriak batinku pilu.


Di ikut sertakan dalam audisi kisah poligami

Rabu, 28 September 2011

Gadis Kecil Itu Bernama Nur



Siang ini terik matahari seolah-olah sedang melihatkan kemarahanya. Panasnya menusuk sampai ke ubun-ubun, tapi gadis kecil itu tidak menghiraukannya sepertinya ia sudah terbiasa membakar diri di bawah panasnya matahari. Aku dapat melihat dari warna kulitnya yang melegam, ia terus menerobos jalan yang masih bertanah merah dengan membawa bakul yang berisi rambutan-rambutan yang telah memerah.
“Rambutan Kak!” Tawarnya saat berhenti di depanku.
“Berapa seikat Dik?” Tanyaku.
“Lima ribu dua ikat Kak.” Jawabnya sambil menyapu keringat yang mulai bercucuran di wajahnya.
Kuraih beberapa ikat rambutan miliknya kemudian kukeluarkan uang ribuan dari sakuku untuk kuserahkan kepadanya.
“Terima kasih Kak,” ucapnya dengan senyum yang merekah di wajahnya yang lesu dan menyusun kembali rambutan-rambutan yang masih terlihat banyak di dalam bakulnya.
“Saya permisi dulu Kak.” Lanjutnya kemudian berlalu dari pandanganku.
Sudah hampir dua minggu aku tinggal di Desa ini. Di sebuah desa yang terletak di sebuah pulau kecil di propinsi Riau yang di kelilingi oleh lautan. Dan sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Aku berada di sini dengan beberapa teman untuk melaksanakan KKN salah satu SKS yang harus dilewati di bangku perkulihan. Selama aku berada di sini sosok gadis kecil itu menyorot perhatianku. Hari ini adalah pertemuan ke duaku dengannya, tapi aku belum juga mengetahui namanya kerena ia sepertinya terlalu sibuk dengan daganganya. Jika esok aku bertemu denganya lagi akan kutanya siapa namanya, ah bukan sekedar namanya saja, tapi aku ingin bercerita banyak denganya tentang kisah hidupnya yang membuat rasa penasaran berlari mengejarku.
***
“Selamat pagi anak-anak.” Sapaku saat memasuki sebuah kelas yang masih berlantaikan tanah.
“Selamat pagi Bu guru.” Jawab suara itu serempak.
Hari ini adalah hari pertamaku membantu menjadi tenaga pengajar di sebuah SD yang berada di Desa KKN ku. Kuperhatikan satu per satu wajah-wajah muridku namun tak kutemui wajah gadis kecil itu.
“Mungkin ia berada di kelas lain.” Pikirku karena dari postur tubuhnya aku sangat yakin ia masih menduduki bangku SD.
Saat jam istirahat kucari lagi wajah gadis kecil itu, tapi sama saja aku tak menjumpainya . Sampai berminggu-minggu aku juga tidak menemukan wajahnya. Bahkan saat siangpun ia tak pernah kulihat lagi lewat di depan poskoku membawa bakul yang berisi rambutan seperti siang-siang biasanya. Ah entah kenapa keinginan tahuku tentang gadis kecil itu kian memuncak. Senyum yang menghias wajah legamnya, tubuhnyanya yang ceking, dan sorot matanya yang teduh, terus melintas di benakku.
“Dimana kau gadis kecil?” Tanya hatiku.
***
Angin bertiup lembut ke arah barat seolah menunjukan jalan pulang pada mentari yang mulai menyembunyikan wajah bulatnya. Ombak menderu-derui di bibir pantai. Aku menatap setiap pemandangan yang berada di sekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terhenti saat kulihat dari kejahuan sosok gadis kecil itu menari di retinaku. Ia sedang membawa ikan di tangannya, di sampingnya ada seorang pemuda yang juga membawa beberapa ekor ikan.
“Dik…”Teriakku, tapi ia tak menoleh ke arahku.
“Dik…” Teriakku lagi sambil berlarian ke arahnya dengan napas seperti golombang yang pasang surut, tapi aku tak mampu mengejarnya. Ia telah menghilang dari pandanganku.
“Ah, aku gagal lagi bertemu denganya.” Sesalku.
Semenjak itu aku benar-benar tidak pernah menjumpainya lagi. Ia menghilang dengan rasa penasaran yang masih menari di pikaranku. Tapi hari ini di minggu terakhir aku menginjakkan kaki di desa ini. Aku tertegun saat mendapati wajah gadis kecil itu yang sedang berdiri di samping gedung sekolah dengan membawa bakul yang kali ini sepertinya bukan berisi rambutan lagi, tetapi sederet bakwan yang terlihat masih panas.
“Kok melamun.” Kejut Buk Reni salah satu guru yang dekat denganku.
“Eh, ada Buk Reni,” ucapku dengan pandangan yang masih tertuju pada gadis kecil itu.
“Ooo..kamu sedang memperhatikan gadis kecil itu?” Tabak Buk Reni.
“Memang Ibuk kenal? Tanyaku polos.
“Ya kenal lah, dulu kan dia murid Ibuk, tapi ketika baru memasuki kelas empat ia berhenti sekolah.” Jawab Buk Reni sendu.
“Kenapa ia berhenti Buk?” Tanyaku penasaran,
“ Setelah kedua orang tuanya meninggal saat mencari ikan di laut dan ia terpaksa berhenti sekolah kerana harus bekerja untuk mencari uang agar tetap bertahan hidup. Sekarang ia tinggal bersama seorang Abang dan dua orang adik-adiknya yang masih kecil, kalau hanya mengaharapkan penghasilan Abangnya yang hanya mencari ikan di laut tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
“Jadi pemuda yang pernah kulihat denganya itu adalah Abangnya.” Ingatanku kembali menembus pertemuan terakhir denganya.
“Ibuk sangat menyesalkan ia harus berhenti sekolah kerana ia termasuk salah anak yang pintar. Jika dulu ia ke sekolah menggunakan seragam sekolah dan membawa buku, tapi sekarang liahtlah!!” Lanjut Buk Reni dengan sorot mata yang menyisakan penyesalan.
Mendengarkan penjelasan Buk reni bening hangat di ujung mataku mengalir, terluah sudah rasa penasaranku yang memuncak. Perlahan kudekati gadis kecil itu.
“Bakwannya kak.” Tawarnya sambil memperlihatkan susunan bakwan yang berada di bakulnya.
“Kenapa tidak berjualan rambutan lagi Dik?” Tanyaku
“Buah rambutannya sudah habis kak.”
Kuambil beberapa potong bakwan miliknya, dan kuberikan ia tukar uang dua puluh ribua’an
“Kembaliannya di ambil aja Dik.”
“Terima kasih kak.”
“Oya, nama Adik siapa?”
“Nama saya Nur Kak.” Jawabnya dengan senyum yang membuat hatiku terasa ngilu.

Terbit di Xpresi Riau Pos

Selasa, 27 September 2011

Book Your Blog




Di zaman yang modern ini semuanya serba mudah dan canggih salah satu cara untuk berkominikasi adalah melewti dunia maya yang bernama internet, berbagai fasilitas telah di sediakan baik itu berupa Friendster, YM, facebook, blog. Dunia maya bukan hanya mempermudah komunikasi tetapi juga mempermudah menuangkan inspirasi dalam bentuk tulisan. Salah satunya adalah blog ruang untuk mencurahkan hati, mengexpresikan diri . Oleh karena itu bagi kamu yang memiliki blog Ayo ikutan ke lomba Book Your Blog . Bagi pemenang blog-nya akan dibukukan dan diterbitkan GRATIS oleh Leutika Prio Self Publishing, serta dipasarkan secara online. Ayo berbagi cerita serumu ke orang-orang dengan cara di bukukan.
Leutika Prio adalah lini self publishing dari Leutika Publisher yang menyediakan berbagai macam paket penerbitan dengan sistem mudah dan harga terjangkau (www.leutikaprio.com). Self Publishing merupakan alternatif baru menerbitkan buku dengan lebih praktis dan tanpa seleksi. Para penulis tidak perlu repot membuat cover, mengurus ISBN, dan teknis buku lainnya karena Leutika Prio menyediakan layanan edit aksara, cover, layout, ISBN dan konsultasi yang telah disusun pada paket-paket penerbitannya. Penulis juga tetap mendapatkan royalti sebesar 15% dari harga produksi. Misi dari penerbit ini adalah mengajak sebanyak mungkin orang untuk menulis dan berbagi inspirasi pada para pembaca.
Cara dan persyaratannya mudah banget!
Tulis “Book Your Blog” di judul e-mail.
Blog seperti apa yang bisa menang?
1. Inspiratif, berisi cerita-cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
2. Tidak mengandung SARA dan pornografi.
3. Berkarakter, konsisten berisi materi-materi yang terkonsep dan orisinil.
Apa Hadiahnya?
Dipilih 3 blog terbaik untuk mendapatkan:
1. Tulisan-tulisan di blog kamu akan diterbitkan GRATIS dalam bentuk buku oleh Leutika Prio
2. Royalti 15% dari harga produksi
3. Paket buku dari Leutika Publisher
Bagi yang belum terpilih tetap mendapatkan diskon paket penerbitan sebesar 20%.
Mudah kan!! Ayo buruan ikutan!!!
Deadline : 30 September 2011
Web: www.leutikaprio.com
Twitter: @leutikaprio
Fanpage Fb: www.facebook.com/leutikaprio

Senin, 26 September 2011

Ibuku Wanita Luar Biasa




Luar biasa hanya kata-kata itu yang pantas kuucapkan untuk wanita yang berstatus Ibu kandungku. Seinci demi seinci kuperhatikan tubuh milik Ibu yang semakin hari semakin kurus dengan kelopak bawah matanya yang menghitam tanda jarang tidur. Wajahnya yang mulai keriput dimakan usianya yang telah memasuki lima puluh tahun. Dan urat-urat tangan yang bertonjolan yang selalu ia gunakan untuk mengayunkan cangkul menggarap beberapa petak sawah peninggalan Nenek di bawah terik matahari yang membakar kulit. Semenjak empat tahun yang lalu setelah Ayah meninggal Ibu harus bekerja keras mengerjakan sawah dan juga berjualan sayur-sayuran di pasar untuk memenuhi kebutuhan kami dan juga untuk biaya sekolah aku dan adikku. Tak pernah kulihat raut lelah di wajahnya walaupun nayris setiap waktu Ibu gunakan untuk bekerja, mulai dari terbangun matahari sampai matahari terlelap kembali Ibu tidak pernah berhenti. Dari cerita yang pernah kudengar dari saudara-saudara Ibu, Ibu bekerja keras bukan hanya setelah Ayah meninggal, tapi sejak kecil Ibu sudah terbiasa bekerja keras. Dulu saat teman-teman seusia Ibu sibuk memetik ilmu di bangku Sekolah, sedangkan Ibu sibuk pula mengembala kerbau dan membantu Nenek dan Kakek di sawah. Pernah kutanya kenapa dulu Ibu tidak ingin Sekolah.
“Nak, jika dulu Ibu sekolah tentu hari ini saudara-saudara Ibu tidak ada yang berstatus PNS.” Jawab Ibu dengan sorot mata keikhlasan yang membuat rasa kagum berdecak dalam jiwaku.
Ibu adalah anak ketiga dari Sembilan bersaudara dan diantara saudara-saudara Ibu hanya Ibu sendirilah yang tidak berstatus PNS karena dulunya Ibu memilih berhenti sekolah saat masih menduduki bangku SD. Kemudian memutuskan untuk membantu perekonomian keluarga Ibu yang memang termasuk sulit saat itu. Ibu Mengorbankan masa depannya hanya untuk melihat senyum bahagia teukir di wajah Adik-adik dan Kakaknya dengan menjadi orang-orang yang berhasil di hari esok. Pengorbanan yang telah dilakukan Ibu membuahkan hasil semua saudara Ibu menjadi orang-orang sukses yang rata-rata memiliki perekonomian lebih. Dan pengorbanan itu juga tak diabaikan begitu saja. Saudara-saudara Ibu tidak pernah melupakan pengorbanan yang telah dilakukan Ibu. Walaupun kami hidup sangat sederhana, tapi kami tidak pernah merasa kekurangan. Ini semua adalah berkat dari bantuan keluarga Ibu .Mulai dari membantu kebutuhan hidup kami sampai biaya sekolah. Hingga hari ini aku dan adikku bisa mencicipi pendidikan sampai di bangku perkuliahan dengan fasilitas yang membuat kami tidak pernah merasa kekurangan. Dan tak pernah juga kulihat sorot sesal yang terpancar di bola mata Ibu atas keputusan yang telah ia pilih beberapa tahun yang lalu, melainkan aku selalu melihat senyum tulus yang merona di wajah Ibu yang tirus. Sungguh beruntungnya aku lahir dari rahim wanita seperti Ibu dengan milyaran pengorbanan yang jika dibayar dengan sehelai napaspun tak akan cukup. Dan betapa salut dan bangganya aku mempunyai Ibu yang luar biasa yang memiliki keindahan hati yang tak akan pernah kutemui di hati wanita lain. Siapapun itu.

Minggu, 25 September 2011

Jawaban September




Ini tentang kisahku yang telah kututup rapat di lembaran kenangan dan hari ini akan kubuka kembali untuk kutulis pada selembar diary hati agar aku selalu ingat bahwa aku pernah melewati episode terberat dalam hidupku.
Empat tahun yang lalu aku mengenalnya, lelaki yang pernah kuletakkan di tempat istimewa di hatiku. Ketika itu aku masih menggunakan seragam putih abu-abu. Aku mengenalnya dari salah seorang sahabatku yang dulunya pernah satu SMP dengannya.Perkenalan kami tidak terjadi secara langsung hanya melalui media komunikasi bernama Hp dulu aku belum mengenal Friendster, facebook, Blog, maupun media komunikasi maya lainnya. Awalnya hanya sekadar iseng aku mengirimkan sebuah pesan singkat ke no hp nya. Menanyakan identitas dan bertukar cerita tentang sekolah karena kami beda sekolah. Dia bersekolah di SMAN satu sedangkan aku bersekolah di salah satu SMA Swasta. Kemudian komunikasi kami terus berlanjut. Di mataku dia adalah sosok lelaki yang lembut dan bijaksana. Karena itulah persahabatan bisa terjalin di antara kami. Hanya sebatas sahabat yang awalnya hanya cerita tentang sekolah, agama, kemudian berlanjut ke curhat curhatan. Hubungan kami semakin dekat,aku tahu ini salah. Mungkin saat itu aku belum terlalu paham tentang hijab walaupun aku telah menggunakan jilbab besar. Hingga tanpa aku sadari ada rasa yang mulai tumbuh walaupun saat itu kami belum pernah berjumpa. Sebagai seorang akhwat aku mulai merasa bersalah dengan rasa yang kutanam yang belum pada saatnya. Dan rasa bersalah itu kian menghantuiku setelah aku tahu dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Namun dia tidak pernah menggoda ataupun merayuku untuk berpacaran dengannya karena walaupun ia bukan seorang ikhwan hanya seorang lelaki hanif yang sangat paham dengan prinsipku bahwa tidak ada pacaran sebelum pernikahan. Bahkan dia merasa sangat bersalah denganku. Di antara aku dan dia tidak pernah ada janji akan bertemu kembali di masa depan karena kami sama-sama tahu bahwa lelaki yang baik pasti untuk wanita yang baik pula. Kami sama-sama untuk memutuskan komunikasi. Perih itulah yang kurasakan saat itu dan akan semakin perih lagi jika aku terus melanjutkan komunikasi dengannya. Yang bisa kulakukan hanya memohon ampun kepada Allah dan meminta agar rasa itu segera redup di hatiku. Kubiarkan waktu yang menjawab kisah ini. Dan September telah menjawab kisah kami dengan sebuah luka yang hari ini darahnya telah mengering.
Hari itu ketika aku berkunjung di sekolahnya untuk mengambil STTB Allah mempertemukan kami. Sebelumnya kami juga sudah pernah bertemu beberapa kali, tapi tidak untuk berdua saja. Ada orang ketiga ataupun ke empat dan hanya beberapa menit saja untuk saling mengenal wajah. Hari itu entah kenapa dia terlalu ramah denganku seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Sedangkan aku begitu dingin dengannya. Acuh tak acuh sampai berpamitan pulangpun aku tidak memperdulikannya. Aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku ketika bertemu denganya. Setelah beberapa jam dari pertemuan kami itu aku mendapatkan sebuah pesan dari salah seorang sahabat dekatnya.
“Ema, Rio kecelakaan, kondisinya parah sekarang sudah berada Di UGD rumah sakit Pekanbaru.” Seketika air mataku mengalir begitu saja saat membaca sms itu. Berjuta gelisah berkecamuk di pikranku.
Keesokan harinya aku datang mengunjunginya. Aku kuatkan kakiku agar tidak jatuh saat kulihat kondisinya yang begitu menyedihkan. Kusimpan air mataku erat saat kutahu ia mengalami koma, tak terbayang olehku sakit yang ia tahan. Setiap malam kurimkan doa untuknya agar Allah sentiasa menjagamu. Dan memberi kesembuhan kepadanya. Tapi ketika tanggal lima September 2008 tepatnya masih di awal-awal Ramadhon , Allah berkehendak lain. Allah memanggilnya untuk selama-lamanya. Dan aku tersayat oleh luka yang kuraskan begitu perih. Berbulan-bulan aku tertatih untuk melupakan kisah yang pernah terukir dengannya. Dan menemukan kembali kepingan hatiku yang tercecer. Sampai suatu hari aku bertemu dengan peri itu, seorang senior yang mengajarkan aku tentang ikhlas mencintai karena Allah.
“Dik, dia yang Allah ambil adalah bukti cinta Allah kepada adik, cintai dia karena Allah dik dengan tidak harus memilikinya. Dia sudah bahagia di sana dik, ikhlaskanlah!!!”
Kata-kata seniorku itu seperti menyentak-nyentak hatiku. Apa yang dikatakannya benar. Jika saja hari ini masih hidup tidak tahu apa yang akan terjadi apa mungkin aku masih sanggup untuk mengurung rasa yang pernah kutanam. Luka September adalah jawaban kisah kami yang membuat aku semakin kuat. Lihatlah hari ini aku telah kembali dengan senyum yang merekah, semangat yang menyala, dan mimpi yang mulai bersinar. Terima kasih telah pernah hadir dalam episode hidupku. Semoga sakit yang kau rasakan selama hampir dua bulan menjadi penggugurmu dosa-dosamu. Dan ramdhon yang memilihmu menjadikanmu orang-orang yang terpilih di sisiNya. Sungguh aku hanya ingin mencintaimu karena Allah.

Sabtu, 10 September 2011

Spenggal Kisah Di Kepenuhan Jaya


Di luar mendung begitu pekat seolah ikut menyelusup ke dalam rasaku.
“Kita nggak jadi pulang!!!!” Teriakan Pendi salah satu teman satu posko denganku menambah gundah di hatiku.
“Hari ini harus pulang.” Tegasku dalam hati, dengan bayangan kampung halaman yang terus melintas di benakku.
Hampir dua bulan sudah aku berada di sini. Melaksanakan KKN. Di sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian, namun jaya seperti namanya Kepenuhan Jaya.
Ingatanku kembali saat pertama kali aku menginjakkan kaki di desa ini. Ingin nangis. Itu kesan pertamaku. Bagaimana tidak nangis hampir satu hariaan menempuh perjalan jauh dengan debu-debu yang sudah melumuri dari ujung kepala sampai ujung kaki karena jalan menuju desa Kepenuhan Jaya belum beraspal. Jika musim kemarau harus rela bermandikan debu. Bukan hanya masalah debu, tapi juga sulit air. Jangankan untuk mandi, air untuk wudhuk saja harus menempuh hutan sawit dulu. Masih ku ingat hari pertama kami di sini, aku dan empat orang teman cewek lainya berubah menjadi wanita tangguh nan berani, bayangkan saja jam 4.00 pagi kami mandi di sebuah sumur yang harus melewati sawit-sawit. Tidak ada lagi rasa takut yang kami pikirkan saat itu hanya air, air, dan air. Inilah namanya the power of kepepet.
Seminggu sudah hari yang kulewati di sana, tapi wajahku masih tetap murung, sedih, jenuh,dan yang kupikirkan hanya pulang,pulang, dan pulang. Opss ada satu hal yang terlupakan, di sana selain susah air, susah jalan, dan juga susah sinyal jadi lengkaplah penderitaanku. Aku harus berlarian dulu ke bawah pohon sawit untuk sekedar menelpon atau membalas sms.
Memasuki minggu ke dua, persaanku masih tetap sama tidak berubah. Malah aku yang biasanya jarang menitikkan air mata saat curhat, tapi kali ini aku menangis saat seperti anak kecil saat menelpon dengan senior-seniorku. Aku lupa kalau saat itu,aku sudah berumur 21 tahun.
Memasuki pertengahan minggu ke dua ada sedikit perubahan karena sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat sana yang sangat bersahabat karena rata-rata adalah orang jawa yang sudah sangat terkenal dengan keramahan dan kelembutan. Kami mulai ikut berpartisipasi dengan kegiatan masyarakat sana. Mulai dari yasinan, sholawat nabi, belajar rebbana sampai menjadi tenaga pengajar di beberapa Sekolah yang berada di sana. Aku yang awalnya tidak begitu suka dengan anak-anak, tapi entah kenapa di sana bisa menjadi keibu’an dadakan. Melihat tawa mereka,kepolosan mereka, dan juga mendengarkan celoteh tentang mimpi-mimpi mereka.
“Aku bisa, kamu bisa, dan kita luar biasa.” Kata-kata inilah yang selalu kami ucapkan bersama saat kami bercerita tentang mimpi. Kata-kata yang kudapatkan saat mengikuti training motivsi. Dan kuceritakan juga kepada mereka tentang laskar pelangi karena aku berharap suatu hari nanti diantara meraka ada yang mengikuti jejak Aray salah satu tokoh di laskar pelangi.
Semenjak mengenal mereka, pelangi kecilku (murid-muridku). Ada warna baru yang hadir dalam jiwaku ternyata aku bisa juga menjadi dewasa. Saat sabar mengadapi kebandelan mereka, meleraikan saat mereka berantem. Memberikan secercah harap untuk mereka berani bermimpi, meminjamkan pundakku dan menghapus air mata mereka saat mereka bersedih.
KKN, bukan hanya pelangi saja yang aku jumpai, tapi juga sebuah ukuwah yang terjalin di antara kami 10 Ng, Ngarim, Ngabdul, Ngelva, Ngema, Ngepen, Ngedeb, Ngeka, Ngedha, Ngeni,dan Ngemet.Nama pemberian kordes sebagai bukti bahwa kami adalah kelompok ngenge (Ketawa) yang menandakan kami selalu bahagia. Walaupun mengakibatkan kekeringan pada gigi. Awalnya di minggu pertama di posko, aku masih tampil kalem ( kayak lembu kali ya), minggu kedua masih ngirit bicara,tapi saat memasuki minggu ketiga mulai deh terlihat wujud asli (sedikit eror, sedikit lola, dan sedikit culun). Banyak hari yang kami lewati bersama. Mulai dari hal yang sangat menyedihkan,menyebalkan, bahagia sampai yang mememasak bubur kacang merah di campur bawah putih, ini mah masakan si koki selamat yang ujung-ujung aku yang jadi korban yang memang bermasalah dengan perut. Tapi diantara kami tidak ada yang terserang virus strawberry, virus yang selalu menyerang mahasiswa KKN, tetapi tidak untuk kelompok kami karena kami adalah saudara. Saudara saat mendapat omelan dari Ibu Pkk karena kami tidak bisa menghadiri undangnya di karnakan seharian kami belum mandi karena tidak menjumpai air. Saudara saat piket bersama dengan makan apa adanya walaupun kadang ada yang gosong, saudara saat pulang bersama dari kecamatan seperti pulang dari sawah bermandikan lumpur karena hujan, dan kami harus berguling dengan motor melewati jalan yang licin.Saudara saat kegiatan kami mendapat protes dari warga. Saudara saat kami setiap sore harus cek sumur dari satu rumah ke rumah yang lain untuk kami bisa mandi, saudara saat kami harus sama-sama menguatkan hati katika mendapatkan tekanan dari mantan pskibraka dalam melaksanakan upacara 17 Agustus. Dan Saudara saat kami di bulan romadhon bersama-sama keliling kampung. Menuju satu mesjid ke mesjid lain,menuju satu musolah ke musolah yang lain untuk memberikan santapan rohani.Diantara lima Desa yang berada di kecamatan kami, Desa kamilah yang paling ujung dan paling menyedihkan, tapi desa kami pula yang paling aktif dan paling kaya. Bagaimana tidak kaya saat teman-teman di Desa yang lain sibuk mepersiapkan kompor, kasur, tikar untuk di bawa ke tempat KKN sedangkan kami hanya membawa tas baju karena semua kebutuhan kami sudah di sediakan oleh Kades. Saat teman-teman di desa yang lain sibuk iuran untuk acara kegiatan. Sedangkan kami tidak perlu menguras uang dari kantong pribadi karena sudah di sediakan oleh Desa. Malah kas kami bisa untuk bagi-bagi THR. Biarkan saja susah air, susah jalan, susah sinyal yang penting desanya jaya dan kaya.
“Suasana seperti ini lebih terasa KKNnya.” Komentar salah seorang teman seposkoku saat kami mengeluhkan kondisi Desa kami yang sangat memperhatinkan. Ternyata benar,KKN nya lebih terasa. Banyak pengalaman, banyak inspirasi, dan banyak hikmah yang dapat aku bawa pulang. Salah satunya adalah syukur. Karena tinggal di tempat yang banyak air,tidak perlu keliling kampung dulu untuk mencari sumur.Jaringan bagus tidak perlu ke atas sawit dulu untuk mencari sinyal,Jalannya bagus tidak akan ada debu saat musim kemarau, tidak perlu menggunakan sepatu both ataupun bergulingan dengan motor saat musim hujan. Dan juga syukur karena mendapatkan pengalaman yang jika di ceritakan tujuh turunan tidak ada habis-habisnya.
***
“Ema nggak jadi pulang.” Ejek Pendi yang sepertinya senang melihat kegundahanku. Temanku yang satu memang sedikit usil.
Tapi beberapa menit kemudian sebuah mobil xenia parkir di depan posko kami.
“Kita jadi pulang.” Teriak Elva girang.teman yang selalu berbagi ngenge denganku.kadang tidak jelas alasan kami ketawa hanya karena salah mengucapkan kata, atau berbicara berulang kali. Apalagi jika di tambah dengan si Arim. Hmm…mungkin ada melipat jidad melihat kami (memang sedikit aneh).
Seulas senyum mengembang di wajahku, tapi senyumku tiba-tiba layu saat kudengar sebait kalimat dari Roza salah satu adik yang dekat denganku.
“Kakak, jadi pulang?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“InsyaAllah jadi dik.” Jawabku berusaha tersenyum ke arahnya.
Ia hanya menunduk.
Kuserahkan beberapa amplop untuknya yang berisi foto dan selembar surat cinta. Aku tahu kenang-kenangan dariku tak sebanding dangan kado-kado dan surat cinta yang telah ia dan teman-temannya berikan untukku.
“Kakak titip untuk teman-teman yang lain ya dik.” Ucapku kerana hanya dia dan beberapa temannya yang datang, karena hari hujan tidak banyak yang melihat kepergian kami. Coba saja tidak hujan mungkin akan terjadi banjir di musim kemarau. Banjir air mata melepaskan kepergiaan kami.
Sekitar jam 12.30 mobil xenia yang akan mengantarkan kami pulang ke kampung halaman meluncur di jalan.
“Selamat tinggal kepenuhan jaya. Aku pulang membawa kotak inspirasi dengan sejuta pengalaman yang sangat berharga.” Ujar batinku dengan hati yang terasa sedikit ngilu.

***
Kak Ema, kapan kesini?
Kak Ema, kalau kesini lagi jangan lupa bawa O2!
Kak Ema, aku kangen sama kakak
Kak Ema, cepat pulang ya kak!
Itulah beberapa kalimat yang selalu di ucapkan pelangi kecilku setiap kali menelpon, yang kadang menyebabkan sungai kecil di pelupuk mataku mengalir mengingat berjuta kenangan yang pernah kami ukir bersama.
Suatu hati nanti kakak akan kesana dek, membawa Oleh-oleh sebuah undangan berwarna merah hati seperti yang pernah kakak janjikan kepada kalian. ^_^

Jumat, 09 September 2011

Sebutir Rindu Untuk Kakak





Aku menatap setiap sudut ruang kostku, namun tak kujumpai lagi sosok lembut bermata teduh itu.Kak Ayu begitu aku memanggilnya. Hampir tiga tahun lebih aku mengenalnya, bagiku dia bukan hanya sekedar kakak, tapi seorang peri yang di utus tuhan untuk menemani hari-hariku yang perih. Walaupun usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Darinya aku mengenal kasih sayang dan darinya juga aku tidak merasa sendiri di dunia ini.
Sejak pertama kali aku membuka mata menatap dunia aku tidak pernah mengenal sosok wanita bernama Ibu karena Ibu meninggal saat melahirkanku. Sedangkan Ayah? Ah lelaki itu yang terus menorah pilu di ulu hatiku. Ayah yang seharusnya menjadi pahlawan untukku seperti yang selalu di ceritakan oleh teman-teman seusiaku. Tempat aku mengadu resah, tempat aku bermanja, dan tempat aku berbagi cerita. Tapi itu tak pernah kudapatkan dari sosok Ayah malah sebaliknya, aku hanya mendapatkan cacian dan makian dari Ayah. Ayah membenciku karena Ayah menyangka akulah penyebab kematian Ibu, wanita yang sangat ia cintai. Ketika aku berumur 11 tahun Ayah menikah lagi dan tidak pernah memperdulikanku lagi. Duniaku benar-benar sepi dan luka. Hanya dengan uang pensiun Ibulah aku mampu bertahan hidup. Sampai aku memasuki kelas dua SMP, aku di pertemukan dengan Kak Ayu, satu-satunya orang yang sangat peduli denganku, dia lah satu-satunya orang yang mengagap kehadiranku di dunia ini, yang melukiskan warna di lembaran hidupku yang kosong.
“Adik,wanita itu harus kuat.” Tegurnya saat mendapatiku sedang menangis sendirian di taman sekolah.
Kuhapus bulir-bulir bening yang mengalir ke pipiku sambil menoleh ke arahnya.
Seulas senyum mengembang di wajahnya.
“Siapa namanya dik?” Tanyanya.
“Yuyun.”Jawabku sambil menjabat uluran tangannya.
Itulah awal dari pertemuan kami. Pertemuan kami terus berlanjut karena ternyata dia adalah seniorku yang baru pindah sekolah. Seiring berjalan waktu persahabatan mulai tumbuh di antara kami hingga kami di pertemukan kembali di sebuah SMA yang sama. Aku mulai terbuka denganya. Kuceritakan tentang kisahku kepadanya.
“Adik, jangan pernah merasa sendiri, masih ada Allah yang menyayangi adik, dan masih ada kakak yang sangat menyayangi adik.” Nasehatnya sambil merangkulku erat seolah ikut meraskan lukaku yang menganga.
Kemudian ia mengajakku tinggal bersamanya di sebuah kost yang sederhana.Semenjak itu lah kami merangkai cerita bersama seindah pelangi. Aku mulai tahu bagaimana caranya untuk tersenyum. Sebaris warna yang ia tawarkan sungguh membuat aku mengenali arti bahagia.walaupun persahabatan kami hanya terjalin selama tiga tahun lebih.
“Kak, bisakah kakak tetap di sini?” Tanyaku dengan air mata yang menggenang.
“Adik, walaupun kakak jauh, tapi adik akan tetap selalu di sini,” Jawabnya sambil meletakkan jemarinya di atas dadanya.
Kak Ayu lulus di salah satu Universitas ternama di luar propinsiku. Dan aku harus melepaskan kepergian Kak Ayu demi sebuah cita-cita.
Kutatap kembali di setiap sudut ruang kostku. Ruang aku dan Kak Ayu pernah mengukir kenangan bersama. Rindu mulai mengoyak hatiku yang berakhir sungai kecil di pelupuk mataku. Tiba-tiba hpku bergetar.
Dik, wanita itu harus kuat
Sebuah pesan singkat dari Kak Ayu sama persis seperti kata-kata yang ia ucapakan saat pertama kali kami bertemu.
Kutitipkan sebutir rindu untukmu kak
Balasku dengan senyum yang kusunggingkan.

Minggu, 04 September 2011

Untukmu warna baru hidupku



Adikku bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kau selalu berada dalam keadaan yang luar biasa. Seperti mana yang selalu kita ucapkan setiap kali kita bertatap muka
Adikku saat adik membaca surat ini mungkin kakak sudah tidak di sini lagi. Dan entah kapan kita bisa bertemu lagi. Tapi yakinlah persahabatan yang terjalin karena Allah tidak akan pernah putus karena hati kita telah menyatu dalam sebuah ukuwah dan jika berpisah syurgalah nanti yang akan mempertemukan kita
Adikku bisa berkenalan dengan kalian adalah anugrah terindah untukku kakak. Ada sesuatu yang baru kakak temui dalam jiwa kakak. Dari kalian kakak belajar menyeyangi, dari kalian kakak belajar dewasa, dari kalian kakak belajar berbagi, dari kalian kakak belajar menjadi seorang ibu. Adikku kalian adalah seribu pelangi yang memberikan warna baru dalam hidup kakak.
Adikku tak ada lagi yang bisa kakak ucapkan selain rasa syukur dan ribuan terima kasih karena Allah mempertemukan kakak dengan kalian. Adikku kakak hanya ingin berpesan kepada kalian jika sudah dewasa nanti, jadilah seperti bunga mawar yang ada di tepi jurang. Indah, namun susah di jangkau. Dan hanya orang-orang tertentu aja yang bisa meraihnya. Jadilah adik-adik kakak yang sholeh. Menyejukkan hati orang tua dan menyenangkan hati sahabat-sahabatmu.karena adikku Rasullah pernah bersabda” dunia adalah perhiasan dan seindah-indahnya perhiasan adalah wanita sholehah” semoga engkaulah salah satu perhiasan teindah itu.
Adikku bermimpi dan bercita-citalah setinggi angkasa. Karena hidup tanpa mimpi dan cita-cita kita ibarat ruh yang berjalan tanpa jiwa. Jangan takut bermimpi ada Allah yang akan memeluk mimpi-mimpimu. Jika suatu nanti kakak berkunjung ke sini kakak ingin melihat kalian sudah menjadi orang luar biasa, orang hebat. Kakak tidak ingin mendengar ada yang putus sekolah.
Adikku terima kasih atas surat cinta yang telah kau tulis dengan tinta ketulusan. Terima kasih atas kado-kado yang telah kau bungkus dengan keikhlasan. Maaf , kakak hanya bisa memberikan selembar surat cinta ini untukmu sebagai kenang-kenangan agar kalian selalu ingat bahwa kakak pernah menjadi warna dalam hidupmu.
Adikku sekarang kakak akan pulang membawa kotak inspirasi dengan sejuta pengelaman yang akan membuat kakak semakin dewasa. Walau jarak memisahkan kita tapi hati kita akan tetap dekat karena adik-adik akan sentiasa hidup dalam cerita kakak. Tersenyum dalam doa-doa kakak.

Sabtu, 03 September 2011

Wanita Bening



Ayu Anggraini, wanita bening yang kukenal tiga tahun yang lalu masih tersusun rapi di ruang hatiku. Walaupun aku tidak pernah lagi bertemu dengannya . Sepenggal kisah tiga tahun yang lalu seolah menari kembali di pelupuk mataku.
“Mbak, aku menyukaimu.” Tiba-tiba saja ucapan itu terlontar dari bibirku.
“Mbak juga menyukaimu, karena kamu adalah anak yang baik.” Jawabnya sambil menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali menatap layar laptopnya.
“Mbak, aku menyukaimu bukan seperti aku menyukai seorang guru, tapi aku menyukaimu seperti seorang lelaki yang menyukai perempuan.” Lanjutku meluahkan rasa yang telah lama kupendam sejak pertama kali aku mengenalnya.
“Andis…” kulihat raut kaget dari wajahnya.
“Bolehkah aku mencintaimu Mbak?”
Hening
Ia hanya diam, kali ini tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
Hanya dalam hitungan menit, tiba-tiba ia pergi begitu saja dengan diam seribu bahasa.
Sejak itulah sikapnya mulai berubah. Dia selalu menghindar dariku sampai perpisahan itu hadir, dia masih tak ingin berbicara denganku, hanya sepucuk surat yang ia tinggalkan.
Dik Andis maafkan Mbak jika sikap Mbak tidak seramah dulu karena Mbak tidak ingin dik Andis mempunyai perasaan lebih kepada Mbak. Sampai kapanpun Mbak akan tetap menjadi Mbak untuk dik Andis, begitupun Andis akan tetap menjadi adik selamanya.
Sederet kalimat surat darinya seperti duri yang menusuk hatiku. Tidak ada sedikitpun cela harapan ia berikan untukku. Masih saja ia mengagapku sebagai seorang adik padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Ya umur kami hanya terpaut tiga tahun. Aku menyuakinya ketika aku baru memasuki umur 17 tahun sedangkan dia ketika itu masih berumur 20 tahun. Dia adalah wanita yang pertama kali kusukai karena hanya dia satu-satunya orang yang mengagapku ada.
“Banci…Banci…Banci…” teriakan itu sudah biasa kudengarkan sejak aku menduduki bangku SD. Semua teman-teman yang seumuran denganku mengagapku seorang banci, karena memang karekterku seperti seorang cewek. Sejak kecil aku tidak suka bermain bola, tidak suka berpergian jauh, tidak suka panas, dan tidak suka berantem seperti yang dilakukan oleh anak-anak lelaki seumuran denganku. Aku lebih suka bermain dengan perempuan. Bermain boneka, berlatih rebbana, bermain masak-masak, tapi itupun tidak lama kerena teman-teman peremuanku tidak ingin mengajak seorang lelaki bermain dengan mereka. Dan satu-satunya teman bermainku adalah Ibu. Wanita lembut yang sangat mengerti dengan kondisiku. Sedangkan Ayah tidak pernah peduli terhadapku karena aku adalah anak yang tak diinginkan Ayah.
Dulu saat Ibu mengandung, Ayah sangat berharap yang lahir adalah anak perempuan, tapi kenyataan berkata lain yang lahir adalah anak lelaki. Ayah sangat kecewa dengan kehadiranku. Hingga aku tidak bisa dekat dengan Ayah. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, yang kuraskan hanya kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi kasih sayang itu tak bisa kuraskan lagi ketika aku mendudki kelas 2 SMPN. Ibu meninggalkanku untuk selamanya. Hanya tinggal aku dengan duniaku yang sepi tanpa warna. Hingga kemudian wanita bening itu hadir menawarkan warna baru dalam hidupku.
“Assalamu’alaikum.” Sapanya lembut saat aku duduk sendirian di taman sekolah.
“Waalaikumsalam.” Jawabku menoleh ke arahnya
“Boleh duduk di sini?”
“Boleh.” Jawabku sambil mengahapus bulir-bulir hangat yang mengalir ke pipiku.
“Kenapa menangis?” Tanyanya lagi.
Aku tak menjawab.
“Lelaki itu harus kuat, tidak boleh cengeng,” tegurnya.
Seulas senyum mengembang di wajahku dengan hati yang mulai terasa hangat. Karena baru pertama kalinya wanita yang peduli denganku setelah kepergiaan Ibu.
“Nah, gitu donk! Siapa namanya dik?”
“Andis Kurniawan.” Jawabku sambil mengulurkan tanganku.
Ia hanya tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangannnya ke arahku. Mungkin tanganku kotor, makanya ia tidak menjabat tanganku, pikirku saat itu.
Itu lah pertemuan pertamaku dengannya. Kemudian pertemuan kami terus berlanjut setalah kutahu dia adalah guru sementaraku. Dia adalah mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN di desaku. Walaupun hanya sementara, tapi ia mampu merubah hidupku. Semakin lama aku mengenalnya semakin berdecak pula kekagumanku kepadanya. Dimataku dia sangat anggun dengan jilbab lebar yang selalu ia gunakan untuk menutupi rambutnya sehingga tak sehelai rambutpun pernah kulihat walaupun saat aku berkunjung ke poskonya. Bahkan telapak kakinya pun tak pernah kulihat karena selalu di tutupi dengan kaus kaki. Bukan hanya itu dia juga tidak pernah bersentuhan denganku, menatapku lama. Walaupun saat itu aku tidak tahu kenapa dia harus berpenampilan dan bersikap seperti itu, tapi aku semakin menyukainya. Dia berbeda dengan wanita-wanita lain.
“Mbak ingin suatu hari nanti Andis menjadi lelaki sejati.” Kata-kata itu yang selalu ia ucapkan setiap kali bertemu denganku.
Dan kata-kata itulah yang telah membawaku menjadi lelaki sejati. Tidak ada lagi kudengar teriakan yang mengatakan seorang Andis adalah banci. Tapi salam persahabatan dan pujian kekaguman yang selalu kudapatkan sebagai aktivis kampus yang sudah dua taun di amanhakan sebagai gubernur fakultas. Semenjak di bangku perkulihan aku melibatkan diri dengan organisasi keislaman hingga merubahku menjadi lelaki sejati, bukan lelaki, tapi seorang ikhwan. Aku mulai tahu kenapa dulu Mbak Ayu tidak ingin bersentuhan denganku, tidak ingin menatapku, menghindar dariku setalah ia tahu persaanku karena dia ingin menjaga kesuciaannya. Tidak salah jika aku memanggilnya wanita bening.
Ayu Anggraini, nama itu terus melintas di benakku. Aku tahu tidak seharusnya kubiarkan rindu ini berkembang, aku harus segera mengakhirinya. Besok aku akan menjumpainnya dan meminta ia mau menjadi istriku. Tabungan hasil dari usaha rental computer yang telah kubangun hampir dua tahun kurasa cukup untuk biaya pernikahanku dan juga kebutuhan kami nantinya. Masalah umur aku tidak peduli, bukankah Rasullah menikahi khadijah dengan jarak umur yang sangat jauh. Aku telah siap untuk membimbingnya.
***
Matahari masih terasa hangat. Kulirik jam yang ada di pergelangan tanganku telah menunjukkan jam 9.00. Aku rapikan lagi penampilanku dengan kaca mata minus yang membuatku terlihat semakin beribawa. Aku telah siap berangkat menuju alamat yang kudapat dari salah seorang sahabat. Untuk menjemputmu wanita bening.
“Assalmu’alaikum.” Sapa Bang Arman, senior sekaligus murobbi yang telah mengenalkanku pada Kaffahnya islam.
“Walaikumslam.”
“Mau kemana antum rapi-rapi begini?”
“Ada sedikit agenda Bang.” Jawabku dengan senyum yang merona.
“Ada apa Bang?”
“ini ana cuma mau kasih undangan,” ucapnya sambil mengeluarkan undangan berwarna merah hati.
“Wah, udah mau menikah ya Bang, siapa akhwatnya Bang?”
“Antum baca aja sendiri namanya,” jawabnya dengan senyum yang tak kalah merona dengan senyumku.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak saat kudapati nama Ayu Anggraini yang tertera di dalam undangan.
“Antum bisa datangkan?” Kejut Bang Arman.
“Ya insyaAllah.” Jawabku gugup.
“Bang, ana ke kamar mandi dulu ya?” Aku pergi meninggalkan Bang Arman yang terlihat bingung melihat perubahan sikapku.
Kubuka kembali undangan berwarna merah hati itu.
Arman Maulan ST dan Ayu Anggraini Spd
Hatiku kembali ditusuk seribu duri, kali ini lebih perih dibandingkan tiga tahun yang lalu.



Rabu, 29 Juni 2011

Proklamasi Kemerdekaan Diri



Saya, Ematul Hasanah dengan ini menyatakan kemerdakaan dengan sebenar-benarnya
Hal-hal mengenai kemalasan, ketidakpercayaan, kelemahan, sensitive, cengeng, pesimis dan kelamahan akan dihapuskan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Atas nama Ematul Hasanah
Penulis Best seller (InsyaAllah)

Senin, 13 Juni 2011

Hanya untukmu ^_^



Aku belum mengenalmu
Begitupun kau yang belum mengenalmu
Atau bisa saja kita sudah saling kenal
Tapi aku tidak pernah menyadarinya bahwa kaulah
Titipan terindah yang Allah berikan untuk menjadi imamku
Aku tak berharap kau se sholeh Azzam
Karena aku bukanlah ana althofunnisa
Aku juga tak berharap kau sebijak Ali
Karena aku tak secerdas Fatimah
Aku juga tak berharap kau setampan go jun pyu
Karena aku tak secantik gun jandi (korban korea ^^)
Yang kuharapkan kau memiliki visi, misi, dan fikrah yang sama denganku
Di jalan dakwah ini
Belahan jiwaku
Aku tak memilihmu, tapi Allah yang telah memilihmu
Menitipkan rasa cinta itu di segumpal darahku
Saat ijab Kabul itu terucap
Bantu aku menjadi solehah
Penawar dukamu
Peneguh imanmu
Penyemangat jihadmu
Untuk ikatan janji yang kita jalin
Semoga awal yang baik akan berakhir baik pula
Wahai lelaki sholeh
Aku di sini masih menantimu
Dengan segenggam setia yang ku genggam erat
Walau kadang berjuta rasa mencoba terbangkan setiaku
Tapi aku akan tetep bertahan
Karena kuyakin di sana kau juga menjaga setiamu
Aku ingin bersamamu
Hingga akhir waktu
Sampai kita di satukan kembali di JannahNya
Dengan cinta yang bertabur bunga surgawi

Kamis, 19 Mei 2011

Selamat Jalan My Little Rainbow



Innalilahi wainnalihahi roji’un
Telah berpulang ke rahmahtullah Lola Anggia
Semoga amal Ibadahnya di terima di sisi Allah
Kubaca kembali sederet kalimat yang masuk ke dalam inbox hpku. Sebuah pesan yang di kirimkan oleh adikku. Seperti tidak percaya kupencet kembali no hp adikku untuk memastikan apakah beritu itu benar.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara adikku di seberang sana.
“Benar berita yang dikirim barusan?” Tanyaku to the point.
“Benar Kak, tadi teman yang satu kampong dengan Kak Lola yang ngasih tahu samaku.” Jawab adikku meyakinkan.
“Tolonglah kirimkan no temanmu itu,” pintaku yang masih belum percaya.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit telah kudapatkan info dari teman adikku yang mangatakan hal yang sama. Tapi entah mengapa aku masih belum percaya. Kutelpon semua teman-temanku yang kenal dengan Lola berharap berita itu tidak benar. Tapi saja saja dari semua info yang kudapatkan mengatakan hal yang sama bahwa Lola Anggia benar-benar meninggal.
Seketika aku termenung. Ada nyeri yang menyelusup ke relung jiwaku. Sosok gadis ceria Lola Anggia menari-nari di pelupuk mataku. Aku mengenalnya hampir empat tahun. Menjadi juniorku ketika SMA sampai di bangku kuliah. Bukan hanya sekedar junior lagi, tapi ia adalah salah satu adik binaanku. Masihku ingat senyumnya saat kami duduk melingkar bersama di pertemuan kami setiap minggunya. Masih kudengar tawa renyahnya saat kami saling bercanda. Masih kudengar celotehnya saat ia tak pernah menolak kutunjuk sebagai MC. Dan masih kuraskan pelukan terakhirnya di saat pertemuan terakhir kami. Di mataku dia sosok gadis yang pintar. Sejak SMA ia selalu mendapatkan peringkat tiga terbaik. Sampai di bangku kuliah IP di atas 3,5. Bukan hanya pintar, tapi juga cerdas, penurut, dan solehah insyaAllah.
“Mungkinkah aku sedang bermimpi,” desisku di senen sore yang mendung dengan air mata yang terus mengalir.
Andai saja aku tahu, hari itu adalah hari pertemuan terakhir kami. Pasti aku tidak akan menunda untuk memberikan sebuah kado di hari ulang tahunnya yang rencananya aku kuberikan pada pertemuan kami selanjutnya. Tapi pertemuan kami berikutnya tanpa kehadirannya lagi.
Kepregiannya yang terlalu capat seperti sebuah tamparan untuk diriku. Bahwa ajal itu bisa dating kapan saja, tidak mengenal tempat, maupun usia.kemudian aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana dengan aku? Smapai kapan napasku akan mampu kuhirup? Smapai kapan denyut jantungku ini akan berhenti? Bagaimana jika esok aku tak melihat mentari lagi? Bagaimana jika esok tiba-tiba aku telah berada di ruang gelap yang sempit. Apakah aku telah siap?
Selamat jalan dek, jangan lupa datang ke mimpi kakak, ceritakan kepada kakak tentang kematian, tentang sakitnya sakaratul maut, ceritakan kepada kakak tentang alam kubur agar kakak tidak lagi larut dengan kelalaian, agar kakak bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kakak yang menggunung, agar kakak bisa menjadi akhwat yang sholehah.
Selamat jalan my little rainbow, semoga kau di jemput oleh ribuan malaikat yang menyebarkan aroma wangi yang tercium oleh penduduk langit dan bumi. Semoga kau tenang di sana dan terpilih menjadi salah satu bidadari-bidadari yang di rindukan syurgaNya.
Walaupun nanti kau tak hadir bersama kami lagi. Tapi kau selalu ada di hati kami dalam doa-doa kami. Kau akan selalu menyatu di lembaran-lembaran ukuwah yang pernah kita rajut dalam beribu hari.

Rabu, 18 Mei 2011

Hati



Allah pintaku kepadaMu
Karuniakan aku hati yang lembut selembut sutera
Agar bening yang mengkristal di ujung bola mataku ini selalu menetes
saat aku mendengarkan lantunan kalamMu,
saat aku mengingat debu-debu dosaku yang kian menggumpal
saat aku menemuiMu di setiap sujud-sujud qiyamul lailku
Allah karuniakan Aku hati yang kuat sekuat baja
Agar aku tak rapuh saat luka kian menderu
Agar aku tak lemah saat kisah berlumur air mata
Agar aku tak lelah saat perjuangan masih terlalu panjang untukku tapaki
Allah karuniakan aku hati yang bening sebening kaca
Agar maaf selalu ada saat yang lain menyakiti
Agar ikhlas selalu bertangkai saat kehilangan putik
Agar senyum selalu merekah saat sepi berbunga
Allah pintaku kepadaMu karuniakan kepadaku hati cahaya
Yang selalu ingin mencintaiMu, mencintai RasulMu, mencintai para kekasihMu

Jumat, 13 Mei 2011

Hati Ibu



Ibu…
Hatimu adalah keindahan rembulan yang meneteskan cahaya
Memberiku napas dan sayap
Untuk terbang mengejar seribu bintang
Ibu…
Hatimu adalah kuntum yang tumbuhkan kelopak asaku yang mati
Merekahkan semangatku yang layu
Mewangikan lembaran hariku
Ibu…
Hatimu adalah ketabahan purnama kala kabut meneteskan luka
Kesabaran matahari menyuluhkan cahaya
Kekuatan terumbu karang kala ombak kian deras
Keikhlasan hujan melepaskan mendung

Ibu…
Hatimu adalah embun yang menetes pada daun jiwaku yang kering
Membiaskan setaman kesejukan
Menggugurkan resahku yang menghijau

Ibu…
Hatimu adalah lautan kasih yang tak pernah kering
Melepas dahagaku
Memberi seribu inspirasi, sejuta mimpi

Ibu…
Hatimu adalah cinta
Cinta senyuman bulan
Cinta bintang gemintang
Cinta keindahan pelangi
Yang semarakkan warna kebahagiaan

Jumat, 22 April 2011

Kontribusi Perempuan Dalam Dunia Pendidikan





Banyak yang mengatakan kalau dunia pendidikan hanya milik kaum lelaki saja.Seolah-olah kaum perempuan tidak memberikan kontribusi apapun dalam dunia pendidikan. Padahal sebenarnya perempuan lah yang berperan penting dalam meningkatkan dunia pendidikan. Contoh terdekat saja dapat kita ambil dari seorang Ibu. Proses pendidikan di awali dari lingkungan paling kecil yaitu rumah. Dari sinilah bermulanya kontribusi perempuan. Seorang ibu mengandung janinnya di dalam rahim selama 9 bulan. Setelah melahirkan ke dunia, ia menyusui selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mandiri. Inilah aktivitas yang di lakukan oleh seorang Ibu. Dalam keadaan ini seorang Ibu berperan penting dalam proses perkembangan seorang anak. Dengan demikiaan proses seorang Ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses pendidikan seorang anak. Terutama pada masa pertumbuhan awalnya, dengan memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak. Dan inilah yang menjadi dasar proses pendidikan selanjutnya. Ini telah di buktikan oleh Asma’ binti Abu Bakar as-shidiq. Seorang Ibu yang patut di teladani. Beliau telah berhasil mendidik anaknya Abdullah bin Zubair sebagai pahlawan islam yang tangguh imannya, yang selalu menginginkan Ridho Allah dan kedua Ibu bapaknya. Dan hal yang sama juga di lakukan oleh marie curiee yang mengabdikan dirinya pada Ilmu pengetahuan, tapi tidak mengabaikan rumah tangganya. Sehingga keberhasilan yang yang di raih oleh Putrinya Eve curiee, tidak lepas dari didikan sang Ibu.
Adapun Wanita yang pertama kali layak di sebut memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah Aisyah Ra yang nama nya tercatat sebagai intelektual papan atas di tahun-tahun pertama islam. Tokoh wanita yang selalu memberikan ide-ide cemerlang dalam kemajuan islam. Selain itu Aisyah juga terkenal dalam bidang piqih yang nyaris tak tertandingi kehebatanya dalam sejarah islam. Keahliannya yang ia miliki menjadikan ia sebagai salah seorang sumber rujukan pada zamannya.
Tokoh wanita lain yang memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah Hellen keler, wanita yang ketika berumur satu tahun terserang penyakit yang parah dan mengakibatkan ia tidak bisa melihat dan mendengar, tapi keterbatasan yang ia miliki tidak meredupkkan semangatnya untuk terus belajar. Ia belajar di rumah dengan bimbingan guru pribadi yang di datangkan orang tuanya. Dengan semangat dan rasa optimis yang ia miliki, di usia 20 tahun ia berhasil masuk universitas. Selama di bangku kuliah Hellen aktif menulis Dan kemudian mengantarkan ia menjadi seorang peneliti dan penulis di Amerika serikat.
Sedangkan di Indonesia wanita yang telah memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan dan menjadi menjadi inspirasi bagi setiap wanita adalah r.a Kartini, sosok pahlawan yang mengharumkan nama bangsa dengan memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Yang mana pada saat itu kondisi pendidikan sangat memperhatinkan khususnya kaum wanita. Anak-anak yang berumur 12 tahun ke atas tidak di perbolehkan belajar di luar rumah. Dan kartini lah yang merubah cara pandang masyarakat pada saat itu. Selain membangun sekolah khusus wanita, Kartini juga mendirikan perpustakaan bagi anak-anak perempuan. Hingga ia meninggal di usia 25 tahun namanya tetap hidup sebagai pahlawan yang ikut memajukan pengetahuan di tanah air. Perjuangan kartini telah membuka cakrawala bagi Negara Indonesia. Yang melahirkan banyak tokoh Kartini masa kini di antaranya wanita yang mengikuti jejak Kartini adalah alm Ainun Habibi. Dia adalah dokter FK UI. Yang rela melepaskan status dokternya hanya kerena ingin mengikuti suaminya ke Jerman dan untuk mengurusi anak-anaknya. Padahal waktu itu sang suami belum menjadi apa-apa, tapi ia telah memutuskan untuk taat dan mengikuti sang suami. Selain itu ada lagi tokoh Kartini masa kini, dia adalah Yoyoh Yusroh. Anggota DPR sekaligus dewan syuro PKS. Ia telah berhasil menjadikan 13 anaknya sebagai hafizh qur’an. Ia pun memberikan pendidikan yang terbaik untuk semua anaknya, dengan menyekolahkan anaknya ke luar Negri. Beasiswa pula. Dan masih banyak lagi kartini-kartini masa kini yang memiliki peran penting dalam bidang pendidikan, baik itu kabinet, perlemen, hingga di bidang usaha.
Masih banyak lagi tokoh wanita lain yang telah memberikan kontribusi dan menorehkan berbagai perstasi besar dalam dunia pendidikan. Jadi tidak semuanya benar bahwa dunia pendidikan adalah milik kaum laki-laki.

Juara Dua Lomba Menulis Artikel
Yang Di Taja Oleh DPP BEM UIN SUSKA