Rabu, 28 September 2011

Gadis Kecil Itu Bernama Nur



Siang ini terik matahari seolah-olah sedang melihatkan kemarahanya. Panasnya menusuk sampai ke ubun-ubun, tapi gadis kecil itu tidak menghiraukannya sepertinya ia sudah terbiasa membakar diri di bawah panasnya matahari. Aku dapat melihat dari warna kulitnya yang melegam, ia terus menerobos jalan yang masih bertanah merah dengan membawa bakul yang berisi rambutan-rambutan yang telah memerah.
“Rambutan Kak!” Tawarnya saat berhenti di depanku.
“Berapa seikat Dik?” Tanyaku.
“Lima ribu dua ikat Kak.” Jawabnya sambil menyapu keringat yang mulai bercucuran di wajahnya.
Kuraih beberapa ikat rambutan miliknya kemudian kukeluarkan uang ribuan dari sakuku untuk kuserahkan kepadanya.
“Terima kasih Kak,” ucapnya dengan senyum yang merekah di wajahnya yang lesu dan menyusun kembali rambutan-rambutan yang masih terlihat banyak di dalam bakulnya.
“Saya permisi dulu Kak.” Lanjutnya kemudian berlalu dari pandanganku.
Sudah hampir dua minggu aku tinggal di Desa ini. Di sebuah desa yang terletak di sebuah pulau kecil di propinsi Riau yang di kelilingi oleh lautan. Dan sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Aku berada di sini dengan beberapa teman untuk melaksanakan KKN salah satu SKS yang harus dilewati di bangku perkulihan. Selama aku berada di sini sosok gadis kecil itu menyorot perhatianku. Hari ini adalah pertemuan ke duaku dengannya, tapi aku belum juga mengetahui namanya kerena ia sepertinya terlalu sibuk dengan daganganya. Jika esok aku bertemu denganya lagi akan kutanya siapa namanya, ah bukan sekedar namanya saja, tapi aku ingin bercerita banyak denganya tentang kisah hidupnya yang membuat rasa penasaran berlari mengejarku.
***
“Selamat pagi anak-anak.” Sapaku saat memasuki sebuah kelas yang masih berlantaikan tanah.
“Selamat pagi Bu guru.” Jawab suara itu serempak.
Hari ini adalah hari pertamaku membantu menjadi tenaga pengajar di sebuah SD yang berada di Desa KKN ku. Kuperhatikan satu per satu wajah-wajah muridku namun tak kutemui wajah gadis kecil itu.
“Mungkin ia berada di kelas lain.” Pikirku karena dari postur tubuhnya aku sangat yakin ia masih menduduki bangku SD.
Saat jam istirahat kucari lagi wajah gadis kecil itu, tapi sama saja aku tak menjumpainya . Sampai berminggu-minggu aku juga tidak menemukan wajahnya. Bahkan saat siangpun ia tak pernah kulihat lagi lewat di depan poskoku membawa bakul yang berisi rambutan seperti siang-siang biasanya. Ah entah kenapa keinginan tahuku tentang gadis kecil itu kian memuncak. Senyum yang menghias wajah legamnya, tubuhnyanya yang ceking, dan sorot matanya yang teduh, terus melintas di benakku.
“Dimana kau gadis kecil?” Tanya hatiku.
***
Angin bertiup lembut ke arah barat seolah menunjukan jalan pulang pada mentari yang mulai menyembunyikan wajah bulatnya. Ombak menderu-derui di bibir pantai. Aku menatap setiap pemandangan yang berada di sekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terhenti saat kulihat dari kejahuan sosok gadis kecil itu menari di retinaku. Ia sedang membawa ikan di tangannya, di sampingnya ada seorang pemuda yang juga membawa beberapa ekor ikan.
“Dik…”Teriakku, tapi ia tak menoleh ke arahku.
“Dik…” Teriakku lagi sambil berlarian ke arahnya dengan napas seperti golombang yang pasang surut, tapi aku tak mampu mengejarnya. Ia telah menghilang dari pandanganku.
“Ah, aku gagal lagi bertemu denganya.” Sesalku.
Semenjak itu aku benar-benar tidak pernah menjumpainya lagi. Ia menghilang dengan rasa penasaran yang masih menari di pikaranku. Tapi hari ini di minggu terakhir aku menginjakkan kaki di desa ini. Aku tertegun saat mendapati wajah gadis kecil itu yang sedang berdiri di samping gedung sekolah dengan membawa bakul yang kali ini sepertinya bukan berisi rambutan lagi, tetapi sederet bakwan yang terlihat masih panas.
“Kok melamun.” Kejut Buk Reni salah satu guru yang dekat denganku.
“Eh, ada Buk Reni,” ucapku dengan pandangan yang masih tertuju pada gadis kecil itu.
“Ooo..kamu sedang memperhatikan gadis kecil itu?” Tabak Buk Reni.
“Memang Ibuk kenal? Tanyaku polos.
“Ya kenal lah, dulu kan dia murid Ibuk, tapi ketika baru memasuki kelas empat ia berhenti sekolah.” Jawab Buk Reni sendu.
“Kenapa ia berhenti Buk?” Tanyaku penasaran,
“ Setelah kedua orang tuanya meninggal saat mencari ikan di laut dan ia terpaksa berhenti sekolah kerana harus bekerja untuk mencari uang agar tetap bertahan hidup. Sekarang ia tinggal bersama seorang Abang dan dua orang adik-adiknya yang masih kecil, kalau hanya mengaharapkan penghasilan Abangnya yang hanya mencari ikan di laut tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
“Jadi pemuda yang pernah kulihat denganya itu adalah Abangnya.” Ingatanku kembali menembus pertemuan terakhir denganya.
“Ibuk sangat menyesalkan ia harus berhenti sekolah kerana ia termasuk salah anak yang pintar. Jika dulu ia ke sekolah menggunakan seragam sekolah dan membawa buku, tapi sekarang liahtlah!!” Lanjut Buk Reni dengan sorot mata yang menyisakan penyesalan.
Mendengarkan penjelasan Buk reni bening hangat di ujung mataku mengalir, terluah sudah rasa penasaranku yang memuncak. Perlahan kudekati gadis kecil itu.
“Bakwannya kak.” Tawarnya sambil memperlihatkan susunan bakwan yang berada di bakulnya.
“Kenapa tidak berjualan rambutan lagi Dik?” Tanyaku
“Buah rambutannya sudah habis kak.”
Kuambil beberapa potong bakwan miliknya, dan kuberikan ia tukar uang dua puluh ribua’an
“Kembaliannya di ambil aja Dik.”
“Terima kasih kak.”
“Oya, nama Adik siapa?”
“Nama saya Nur Kak.” Jawabnya dengan senyum yang membuat hatiku terasa ngilu.

Terbit di Xpresi Riau Pos

Tidak ada komentar: