Minggu, 30 Oktober 2011

Secangkir Luka Dalam Kenangan



Petang menyapa kisah lara
Aku mencari hati Pada sebaris cerita
Masih kucium aroma perihnya
Menjadikan aku meretas air mata
Terlalu pahit dan menyiksa
Aku terkurung dalam pedih yang tak kunjung selesai
Luka yang kau tanam
Tumbuh bertangkai
Pilu berdaun
Tangis berbunga
Dan hari menjadi bisu, gelap, sunyi

Sabtu, 29 Oktober 2011

Bahkan Mawar pun Cemburu


Aku mengenalnya hanya lewat angin yang menjelma dalam sederet untaian kata tiga tahun yang lalu.
“Salam ukuwah.” Itulah sebaris kalimat yang mengawali perkenalan kami melalui jejaring social bernama friendster dan aku tidak ingat lagi entah siapa yang mengawalinya.
Perkenalan itu kemudian berlanjut saling tukar alamat YM sampai bertukar no hp. Seperti ada magnet yang terus menarik hati kami untuk terus mendekat walaupun terpisah oleh jarak Pekanbaru dan Medan. Ukuwah mulai tumbuh dalam lembaran hari setelah aku tahu ternyata dia juga berdarah melayu yang dulunya satu SMA dengan sepupuku di sebuah SMA yang cukup ternama di Riau. Dan yang membuat kami semakin dekat adalah aku dan dia sedang sama-sama meniti jalan cahaya yang baru kutemui di bangku perkulihaan. Ukuwah mulai beranting dengan hati yang kian menyatu, aku mulai berbagi kisah dengannya tentang kisahku yang berlumuran air mata dan dia selalu siap menampung ceritaku yang selalu bernadakan sendu kemudian memberikan aku berjuta nasehat agar aku tidak merasa sendiri. Ia hadir memberikan aku sebebuah pelampung saat aku tenggelam di lautan keputusaan agar aku mampu berenang ke tepian menggapai permukaan membangun mimpi Yang beratapkan harapan dan hari telah kubangun mimpi yang bertapkan harapan, berdindingkan asa.

Jumat, 28 Oktober 2011

Hati Emak



Aku menatap seinci demi seinci tubuh ceking milik wanita yang bersatus Emakku itu. wajahnya yang mulai keriput kelihatan sangat tua dibandingkan umurnya yang masih empat puluh tahun. Warna kulitnya yang legam dengan kelopak bawah matanya yang cekung, urat-urat tangannya yang menonjol, ditambah lagi sebalah kakinya yang pincang. Tak kutemui sedikitpun kesan cantik di wajahnya, berbeda jauh denganku, aku selain memiliki wajah cantik , aku juga memiliki otak yang bisa diandalkan yang telah membawaku ke salah satu SMA ternama di daerahku dengan beasiswa atas prestasiku. Jadi wajar saja jika di sekolah banyak yang ingin mendekatiku termasuk para lelaki. Tapi wanita itu karena kehadirannyalah sampai hari ini aku belum memilih sahabat untuk menjadi teman dekatku. Aku malu jika nanti teman-temanku tahu seorang Fatimah yang hampir sempurna memilki Emak sepertinya. Dulu saat aku masih menduduki bangku SMP wanita itu pernah datang ke sekolahku untuk menghadiri rapat wali murid. Aku sudah melarangnya tidak usah menghadiri rapat itu. Tapi ia masih saja datang ke Sekolah hingga teman-temanku tahu dialah Emakku. Semuanya mengejakku.
“Fatimah, dia Emakmu ya?” Tanya salah seorang temanku dengan sorot mata yang mengejek.
“Kenapa tidak mirip?”
“Emakmu pincang ya?”
Berjuta pertanyaan yang membuat aku hanya diam menjawab semuanya. Aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Nuraniku ingin sekali rasanya kupeluk wanita itu . Tapi nuraniku terkubur oleh egoku ingin rasanya kuteriakkan sama teman-temanku. Kalau wanita itu bukanlah Emak kandungku. Aku tak pernah menumpang di rahim wanita itu. Ia hanya seorang janda tanpa anak yang dinikahi oleh Ayahku setelah tiga tahun Emak meninggalkan kami. Saat itu aku masih duduk kelas lima SD. Sejak awal aku sudah tidak menyukai wanita itu. Aku juga tidak habis pikir kenapa Ayah ingin menikahi wanita itu yang jika di bandingkan dengan Emak kandungku sangat jauh berbeda.
“Ayah, bukan menikahi wajahnya, tapi Ayah menikahi hatinya.”

Senin, 10 Oktober 2011

Sebuah Goresan Untuk kakak


Kak, saat ini aku ingin sekali bercerita denganmu sangat ingin Kak, walau hanya lewat anganku saja karena berharap bercerita sambil menatap wajahmu hanya sebuah harapan kosong yang tak akan pernah mampu kuisis dengan segelas mimpi indah. Entahlah, di dalam darahku juga mengalir darahmu, dan juga kita di besarkan dengan peluh keringat seorang Ayah yang sama, tapi diantara kita seperti ada sebuah tembok yang membuat jarak antara aku denganmu. Entah sejak kapan tembok itu terbangan dan entah siapa yang memulainya, aku atau kakak kah?
Kak, terkadang aku iri mendengarkan cerita dari teman-temanku tentang seorang kakak yang begitu indah. Dan aku selalu pulang membawa segudang air mata. Karena keindahan itu tak pernah kutemui pada kakakku, aku iri kak sangat iri.
Kak, kadang masih saja cerita lama memutar hari-hari luka yang pernah aku lewati. Kakak tahu ingin sekali saat itu aku mnegadu kepadamu berharap kakak mengobati lukaku dengan menyediakan pundakmu dan mengusap kepalaku.
“Sudahlah sayang ini adalah proses untuk menjadi lebih dewasa.” Kata – kata itu yang sangat kuharapkan keluar dari bibirmu. Tapi lagi-lagi aku hanya menggenggam harapan kosong. Bukan obat yang kudapatkan, tapi luka yang kau torehkan lebih dalam lagi yang kusembunyikan di sudut mataku yang mengkristal, tapi kau tak pernah tahu dan tak akan pernah ingin tahu karena tak seincipun pernah kau pedulikan aku.
Kak, empat tahun yang lalu adalah edpisode tersulit yang pernah aku lewati dalam skanario hidupku dan merubah semua tentang aku. Tak ada lagi senyum yang selalu kubawa kemana-mana, tak ada lagi ceria yang kuletakkan di jantung hari, tak ada lagi asa, tak ada mimpi, tak ada lagi. Aku hanya seperti patung es dingin menanggapi hari. Tapi hari lukaku sudah sembuh. Lihatlah kak telah ku usap air mata itu sampai mongering, jiwaku telah kembali walau kadang aku terjatuh, namun aku akan tetap berdidri meski harus tertatih karena sesulit apapun hidup harus tetap di jalankan dan masih ada seribu bintang di langit sana yang mesti kurengkuh.
Kak, aku tak pernah membencimu. Selalu kusisakan untukmu ruang yang paling istimewa di hatiku. Karena aku ingin seperti daun. Dan yang jatuh tak pernah membenci angin. Sebutir rindu untukmu kak.

Jumat, 07 Oktober 2011

Ini Ceritaku dengannya



Murni harsyi passya,seseorang yang pernah menorehkan warna kembali di lembar hidupku yang hampir pudar (sokdramtis.com). Masih kuingat saat pertama kali bertemu dengannya saat aku ingin mencari kost-kost’an baru.
“Kak, boleh pinjam mukenahnya.” Tanyaku hati-hati karena kulihat ada bawaan bad mud di wajahnya.
“Iya dek pakai aja.” Jawabnya ramah tanpa senyum.
“Kiblatnya ke mana ya kak?” tanyaku lagi lebih hati-hati.
“Lurus aja dek.” Jawabnya kali ini dengan wajah kusut.
Mungkin ia sedang banyak masalah. Begitu aku mengambil kesimpulan saat itu berdasarkan dari pengalaman dari sikapku sendiri.
Setelah beberapa hari dari pertmuan itu akhirnya aku serumah dengannya. Cuek. Itulah kesan pertama yang bisa kuambil. Sangat berbeda dengan kakak yang lain yang membuat aku kewalahan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan seperti mewancari artis yang naik daun sedangkan Kak Murni satu pertanyaan pun tak aku terima darinya. Palingan ia hanya tersenyum dan sekali-kali saat kami makan berjam’ah ia bercerita yang membuat aku diam-diam tertawa geli mendengarkan ceritanya. Lucu.
Saat hampir sebulan aku berada di kost baru, tanpa ada rencana aku mulai dekat dengannya. Berawal dari punya hobi yang sama yaitu menulis. Ternyata kami sama-sama suka menulis cerpen.
“Ini baca aja cerpen-cerpen kakak.” Tawarnya memperlihatkan karya-karyanya yang telah di bukukan dalam lembar double volio. Kubaca judul per judul yang rata-rata beraromakan pink. Selain sama-sama suka menulis kami juga sama-sama suka ke warnet. Saat itu lagi trend-trendnya Friendster, YM, MIRC, kami belum kenal yang namanya facebook maklumlah sedikit katrok. Jadi karena sering ke warnet kami selalu bertukar cerita, saling bertanya yang nanti jawabannya sama-sama nggak tahu hehehe..
Seiring berjalannya waktu ukuwah mulai terajut. Banyak persamaan di antara kami. Mulai dari suka nulis, suka dunia maya, suka gengsiaan. Walaupun kami dekat tapi hampir tidak pernah kami menggunakan kata-kata sayang, dinda. Kalau kata orang sih tidak romantis, tapi jangan salah secara nyata memang tidak bisa romantis tapi secara tulisan jangan coba-coba kalau tidak ingin tinggal di atas awan hehehe. Bukan hanya itu kami juga suka ke Mol, tapi bukan untuk shopping melainkan hanya untuk membeli roti yang harganya sepuluh ribu ke bawah. (Hehe,,ngirit maklum masih mahasiswa). Pernah kami ke mol hanya ingin nebeng makan gorengan harga lima ratusan yang kami bawa dari kost hehehe. Mungkin hal ini yang membuat kami mendapatkan prediket culun yang hari ini masih saya pertanyakan (Emang culun itu seperti apa?).
Walaupun umur kami hanya terpaut dua tahun, kami lebih cocok dikatakan sahabat dariapada adik kakak. Kak murni itu selalu tampil adanya, tidak hanya memperlihatkan yang baik-baik saja, malah kadang aku hanya menjadi pendengar setia dari cerita-ceritanya yang kadang membuat aku bingung. Siapa yang kakak dan siapa yang adik ya?. Tapi kadang-kadang secara tiba-tiba ia bisa berubah menjadi dewasa yang menjawab masalah-maslahku dan patut aku berikan nilai A +” cerdas”. Selain di warnai dengan kebahagiaan ukuwah kami pernah juga diwarnai dengan warna sendu, tapi tak perlu aku ceritakan toh endingnya kami baikan lagi.
Hampir empat tahun sudah aku mengenalnya. Dan hari ini sosok yang panggil kakak itu tak kutemui lagi tawanya. Karena ia baru saja memperoleh gelar Spd,I, dan juga telah menggenapkan separuh dinnya. Tinggallah aku sendiri yang masih jojoba (jomblo-jomblo bahgia).
Kak, walaupun kita tak lagi merangkai hari bersama, namun kenangan yang pernah kita ukir dalam beribu hari akan tetap indah, kemaren, hari ini, dan esok

Senin, 03 Oktober 2011

Ini Tentang Mimpi-Mimpiku



Dream. Semenjak memasuki semester tujuh, satu kata it terus menari-nari di benakku. Kadang pesismis melecutku.
“Mungkinkah aku bisa merengkuh mimpi-mimpi yang telah kutulis di lembar harapan atau terlalu tinggikah mimpiku sehingga ia hanya akan menjadi mimpi dan hanya mimpi.” Kucoba menepis pesimis, bukankah ada Allah yang akan memeluk mimpi-mimpiku.
Jika esok mimpiku tak kurengkuh pasti Allah telah mempersispkan mimpi yang jauh lebih indah untukku. Seperti empat tahun yang lalau.Saat aku sangat menginginkan mengiginkan menjadi guru bahasa inggris. Semua usaha telah kulakukan untuk meraihnya, mulai dari belajar tiga kali sehari yang biasanya hanya sks(system kebut semalam),belajar di tempat bimbel yang menguras kantong keluargaku. Tapi hasilnya sama saja, aku gagal, mulai dari jalur PBUD samapi jalur mandiri(begok banget ya). Malah aku nyasar di jurusan yang membuat aku berlinang air mata menjalaninya.karena tidak ada cinta diantara kami, ibarat seorang wanita yang di nikah paksa dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Begitulah hari-hari yang aku lewati. Tapi hari ini aku sedang belajar menyukainya. Kalau sampai hari ini masih saja aku pelihara rasa tidak suka itu kapan aku bisa wisudanya yang tergetnya Agustus 2012 aku telah mendapatkan gelar SE,I.
Menjadi guru bahasa inggris. Telah lama kukubur mimpi itu. Jika dulu setiap kali melewati gedung bahasa inggris, ingin sekali rasanya aku menghentikan kaki di gedung itu dengan air mata yang menggenang. Tapi hari ini sudah biasa saja kerana Allah telah menggentikan dengan mimpi yang jauh lebih indah.
“Menulis” itulah mimpi terindah yang di pilihkan Allah sebagai ganti dari kegagalanku. Kegagalan memberikanku sejuta inspirasi untuk kutuangkan dalam tulisan dan hari ini mimpi itu mulai bersinar. Yup, mari kembali ke mimpi-mimpiku yang ingin sekali melanjutkan S2 dengan biaya hasil dari keringatku sendiri (dapat uang dari mana ya). Kemudian menjadi dosen yang memilki karya-karya best seller( hehehe sepertinya aku benar-benar sedang bermimpi, pesimis). Eistss…ada satu mimpi yang aku lupakan. “Menikah” setiap kali mendapatkan pertanyaan sensitif ini “Kapan nikah?. Hanya sebuah senyum yang aku lemparkan sebagai sebuah jawaban yang aku sendiri tidak tahu apa maknanya. Mungkin dua tiga tahun lagi aku memikirkannya setelah aku menjadi orang luar biasa dan cocok bersanding dengannya yang luar bisa (siapa Ya?). Sekarang harus focus pada mimpi yang ingin sekali kurangkul yang bisa kulakukan hanya usaha, tawakal dan berdoa.
“Allah peluklah mimpi-mimpiku.”

Minggu, 02 Oktober 2011

Dua Hati, Aku dan Wanita itu



“Mas janji akan setia menemani hari-harimu Dik.” Itulah sebaris janji yang di ucapkan Mas Ardi di masa-masa awal pernikahan kami.Sebuah janji yang membuat aku melayang ke angkasa menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Tapi tidak untuk hari ini janji itu seperti sembilu yang menusuk-nusuk uluh hatiku dan menyisahkan luka yang menganga. Setelah ia membawa wanita itu pulang ke rumah beberapa bulan yang lalu.
Hampir sepuluh tahun sudah aku membangun istana cinta dengan Mas Ardi. Lelaki yang memang sudah lama kukenal. Di awal pernikahan,,rumah tangga kami terbangun sangat harmonis. Dimataku Mas Ardi adalah sosok lelaki romantis yang selalu memiliki sejuta kejutan untukku, salah satunya menuliskan kata-kata cinta yang membuat pipiku merona pink setiap kali membacanya. Memasuki tahun ke dua usia pernikahan kami, rumah tangga kami bertambah harmonis karena di anugrahi dua orang putri kembar Lala dan Lili.Walaupun saat itu kondisi perekonomiaan kami pas-pasan dengan uang yang di hasilkan Mas Ardi sebagai pendodos sawit hanya cukup untuk biaya makan kami. Namun kami tetap bahagia membesarkan dua buah hati kami yang mulai tumbuh menjadi anak-anak yang menggemaskan.
Sampai Lala dan Lili mulai memasuki bangku sekolah dan perlahan-lahan kondisi ekonomi kami mulai berubah. Mas Ardi tidak lagi bekerja sebagai pendodos sawit, tetapi ia sendiri yang mengolah beberapa hektar sawit yang ia beli dari gajinya sebagai ketua RT. Ya, Mas Ardi dipercayakan menjadi ketua RT di desa kami tinggal, kemudian berlanjut ke kepala dusun,dan hari kini ia di percayakan menjadi kepala Desa. Dan tentu saja jabatan yang di miliki Mas Ardi merubah kondisi ekonomi kami jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Tapi setelah beberapa bulan menjabat sebagai kepala Desa, aku mulai merasakan perubahan sikap Mas Ardi, sikapnya tak sehangat dulu lagi. Ia tak lagi mengecup keningku sebelum ia berangkat kerja ataupun kata-kata cinta yang selalu ia tulis seperti biasanya tak ada lagi kuterima.
“Ah mungkin Mas Ardi sibuk dengan pekerjaanya.” Begitu prasangkaku saat itu. Tapi galau mulai bergantungan di benakku. Setelah aku mendengarkan isu-isu yang menyebar bahwa Mas Ardi memiliki hubungan khusus dengan Bendahara Desa. Yang memang kecantikannya sudah lama menyebar di desaku dan kadang membuat aku sangat khawatir Mas Ardi akan tertarik dengannya apalagi Mas Ardi setiap hari pasti bertemu dengan bendehara itu. Karena tidak tahan dengan resah yang menghantuiku hari-hariku. Kocoba tanyakan langsung dengan Mas Ardi tentang isu-isu itu.
“Jangan percaya itu hanya gossip belaka.” Jawab Mas Ardi menatapku dalam.
Setelah mendengarkan jawaban Mas Ardi kucoba untuk menepis segala prasangka buruk yang pernah menggumpal di benakku. Dan tetap percaya dengan Mas Ardi. Tapi rasa percayaku memudar saat aku tanpa sengaja membaca sebuah pesan masuk di hp Mas Ardi. Sebuah pesan masuk bernadakan mesra yang di kirimkan oleh bendahara itu. Kucoba membaca pesan balasan yang dikirimkan Mas Ardi dan perih mulai menjalar saat mataku juga menjumpai sederet kalimat mesra yang dikirimkan Mas Ardi. Bukan hanya itu aku juga membuka galeri Foto di hp Mas Ardi. Aku seperti tertimbun oleh pecahan-pecahan langit saat melihat foto-foto mesra Mas Ardi dengan bendahara itu. Segera kucari Mas Ardi minta penjelasan darinya tentang apa yang baru saja kulihat.
“Mas ini apa?” Tanyaku dengan tangis yang tertahan.
Mas Ardi bungkam dengan seribu bahasa saat kulihatkan foto-foto mesra ia dengan bendehara itu.
“Apa ini Mas?” Suaraku mulai bergetar.
Kulihat mukanya memerah sepertinya bibirnya kaku untuk memberiku penjelasan
“Jawab Mas.” Emosiku mulai memuncak dengan air mata yang mulai mengalir.
“Dik,Maafkan Mas, Mas telah jatuh cinta lagi.” Kutahankan kakiku agar tidak jatuh saat mendengarkan ucapan Mas Ardi yang meluluh lantakkan hatiku.
“Izinkan Mas untuk menikahinya.” Mendengarkan permintaan Mas Ardi membuat aku seperti terkurung dalam sebuah neraka.
Dan hari ini aku telah berada dalam neraka itu yang harus rela berbagi cinta dengan wanita itu. Kadang hatiku perih sangat perih saat mendapati Mas Ardi bermesraan di depan mataku. Ingin rasanya ku akhiri saja semua ini, tapi aku tidak ingin Lala dan Lili ikut terluka dengan keputusan yang kuambil. Biarlah luka itu aku menahan perihnya sendiri.
“Dik, Mas janji akan setia menemani hari-harimu.” Janji itu kembali melintas di benakku yang membuat air mataku kembali mengalir setiap kali mengingatnya.
Jika aku tahu kisahku akan berending dengan sebuah luka ingin rasanya aku kembalikan waktu. Hidup seperti dulu dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, tapi di hati Mas hanya ada satu hati yaitu aku, tapi sekarang saat ia telah memiliki kedudukan ia memiliku dua hati. Ada aku dan wanita itu.
“Kedudukan telah merubahmu Mas.” Teriak batinku pilu.


Di ikut sertakan dalam audisi kisah poligami