Jumat, 28 Oktober 2011

Hati Emak



Aku menatap seinci demi seinci tubuh ceking milik wanita yang bersatus Emakku itu. wajahnya yang mulai keriput kelihatan sangat tua dibandingkan umurnya yang masih empat puluh tahun. Warna kulitnya yang legam dengan kelopak bawah matanya yang cekung, urat-urat tangannya yang menonjol, ditambah lagi sebalah kakinya yang pincang. Tak kutemui sedikitpun kesan cantik di wajahnya, berbeda jauh denganku, aku selain memiliki wajah cantik , aku juga memiliki otak yang bisa diandalkan yang telah membawaku ke salah satu SMA ternama di daerahku dengan beasiswa atas prestasiku. Jadi wajar saja jika di sekolah banyak yang ingin mendekatiku termasuk para lelaki. Tapi wanita itu karena kehadirannyalah sampai hari ini aku belum memilih sahabat untuk menjadi teman dekatku. Aku malu jika nanti teman-temanku tahu seorang Fatimah yang hampir sempurna memilki Emak sepertinya. Dulu saat aku masih menduduki bangku SMP wanita itu pernah datang ke sekolahku untuk menghadiri rapat wali murid. Aku sudah melarangnya tidak usah menghadiri rapat itu. Tapi ia masih saja datang ke Sekolah hingga teman-temanku tahu dialah Emakku. Semuanya mengejakku.
“Fatimah, dia Emakmu ya?” Tanya salah seorang temanku dengan sorot mata yang mengejek.
“Kenapa tidak mirip?”
“Emakmu pincang ya?”
Berjuta pertanyaan yang membuat aku hanya diam menjawab semuanya. Aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Nuraniku ingin sekali rasanya kupeluk wanita itu . Tapi nuraniku terkubur oleh egoku ingin rasanya kuteriakkan sama teman-temanku. Kalau wanita itu bukanlah Emak kandungku. Aku tak pernah menumpang di rahim wanita itu. Ia hanya seorang janda tanpa anak yang dinikahi oleh Ayahku setelah tiga tahun Emak meninggalkan kami. Saat itu aku masih duduk kelas lima SD. Sejak awal aku sudah tidak menyukai wanita itu. Aku juga tidak habis pikir kenapa Ayah ingin menikahi wanita itu yang jika di bandingkan dengan Emak kandungku sangat jauh berbeda.
“Ayah, bukan menikahi wajahnya, tapi Ayah menikahi hatinya.”

Itulah jawaban yang selalu kudengarkan dari Ayah setiap aku menanyakan kenapa Ayah ingin menikahi wanita itu. Sebuah jawaban yang sampai hari ini belum kutemukan juga maknanya walaupun sudah berjuta kebaikan yang telah ia berikan untukku. Apalagi semenjak Ayah meninggal saat pergi berlayar mencari ikan di laut dua tahun yang lalu. Wanita itulah yang berkerja keras berjualan kue keliling kampung . Ia memerankan dua peran sekaligus, sebagai Emak juga sebagai Ayah.Tapi entah kenapa kebaikannya belum mampu menyentuh hatiku.
“Fatimah, kok melamun, nanti telat.” Suara wanita itu memecahkan lamunanku.
Aku hanya melirik sekilas kearahnya tanpa merespon ucapannya.
“Emak bekalkan kue untuk Intan ya?” tawarnya lembut sambil meraih beberapa kue yang telah tersusun rapi di dalam bakulnya.
“Tidak usah.” Tolakku kemudian pergi meninggalkannya yang mematung mendengarkan penolakanku.
Ini bukan untuk pertama kalinya aku menyekiti hatinya, tapi untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi sebanyak kebaikan yang telah ia berikan untukku sebanyak itu pula aku menorah luka di hatinya. Kadang nuraniku meronta, tapi selalu mampu kunetralkan dengan egoku yang telah merubahku menjadi seorang penjahat.
***
Petang mulai tenggelam di ufuk timur.menteri mulai menyembunyikan wajah bulatnya. Kusandarkan tubuhku di dinding rumah melepas sejenak lelahku setelah beraktifitas seharian. Kulihat rumah masih sepi.
“Kemana wanita itu?” Tanyaku dengan mata terus mencari-cari sosok wanita itu. Biasanya ia selalu menyambut kepulanganku dengan senyum yang menghias wajahnya yang keriput.
“Fatimah, Emak Fatimah kecelakaan sekarang sedang di bawa ke rumah sakit,” ucap Mak Cik Nur tetanggaku dengan napas naik turun.
Aku tidak tahu apakah aku harus menangis ataukah bahagia mendengarkan berita yang dibawakan Mak Cik Nur.

Petang ini kembali kusandarkan tubuh di dinding rumahku, kepulanganku juga tanpa sambutan, sudah tiga hari wanita itu terbaring di rumah sakit, pernah beberapa kali aku menjenguknya, tapi sungguh tak juga kutemui cinta itu tumbuh di hatiku saat melihat kondisinya.
“Fatimah, bukankah wanita itu yang selama ini yang menjadi penghalangmu, yang membuat kamu malu memilki Emak sepertinya, dan sekarang wanita itu tak kau temui lagi,,sahurusnya kamu bahagia Fatimah.” Teriak egoku dan kubiarkan ia berkembang.

***
Hari ini sudah seminggu tak kutemui wanita itu di rumah.
“Syurga itu berada di bawah telapak kaki Ibu,” ucapan seorang ustadz yang mengisi acara rohani di sekolahku tadi terus melintas di benakku dan seolah mengejekku bahwa aku tak akan mampu memasuki syurga itu. Wanita itu, kini sosoknya menari di retinaku. Semua kebaikannya mulai muncul di permukaan memoriku. Kali ini kubiarkan ia mengalir seiring mengalirnya bulir-bulir hangat di bola mataku. Kesabarannya menghadapiku walaupun kadang-kadang kulihat diam-diam ia menagis saat aku melukai hatinya. Kebaikannya menyeyangiku setulus hati walaupun aku bukan darah dagingnya bahkan setelah kepergiaan Ayah ia masih tulus menyayangiku, bisa saja kan ia pergi meninggalkanku sebatang kara, tapi ia tak membiarkanku sendiri, ia akan melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannku. Berjualan kue dengan kakinya yang pincang. Tak menghiraukan penampilannyan semua itu hanya untuku. Tapi apa yang telah kubalas untuknya.
“Ayah bukan menikahi wajahnya, tapi Ayah menikahi hatinya.”
Jawaban Ayah kembali melintas di memoriku.
“Ayah, aku telah menemukan Hati Emak yang selalu kau ucapakan padaku dulu.” Ucapku dengan Air mata yang semakin deras. Tiba-tiba aku sangat rindu kepada wanita itu.
“Maafkan Intan Emak,” ucapku untuk pertama kalinya sambil mempercepat langkahku menuju rumah sakit.
“Semoga belum terlambat.” Harapku dengan air mata sesal yang terus terurai.

Juara  1 lomba cerpen Hari Ibu oleh Dpw Bem FTK

Tidak ada komentar: