Senin, 10 Oktober 2011

Sebuah Goresan Untuk kakak


Kak, saat ini aku ingin sekali bercerita denganmu sangat ingin Kak, walau hanya lewat anganku saja karena berharap bercerita sambil menatap wajahmu hanya sebuah harapan kosong yang tak akan pernah mampu kuisis dengan segelas mimpi indah. Entahlah, di dalam darahku juga mengalir darahmu, dan juga kita di besarkan dengan peluh keringat seorang Ayah yang sama, tapi diantara kita seperti ada sebuah tembok yang membuat jarak antara aku denganmu. Entah sejak kapan tembok itu terbangan dan entah siapa yang memulainya, aku atau kakak kah?
Kak, terkadang aku iri mendengarkan cerita dari teman-temanku tentang seorang kakak yang begitu indah. Dan aku selalu pulang membawa segudang air mata. Karena keindahan itu tak pernah kutemui pada kakakku, aku iri kak sangat iri.
Kak, kadang masih saja cerita lama memutar hari-hari luka yang pernah aku lewati. Kakak tahu ingin sekali saat itu aku mnegadu kepadamu berharap kakak mengobati lukaku dengan menyediakan pundakmu dan mengusap kepalaku.
“Sudahlah sayang ini adalah proses untuk menjadi lebih dewasa.” Kata – kata itu yang sangat kuharapkan keluar dari bibirmu. Tapi lagi-lagi aku hanya menggenggam harapan kosong. Bukan obat yang kudapatkan, tapi luka yang kau torehkan lebih dalam lagi yang kusembunyikan di sudut mataku yang mengkristal, tapi kau tak pernah tahu dan tak akan pernah ingin tahu karena tak seincipun pernah kau pedulikan aku.
Kak, empat tahun yang lalu adalah edpisode tersulit yang pernah aku lewati dalam skanario hidupku dan merubah semua tentang aku. Tak ada lagi senyum yang selalu kubawa kemana-mana, tak ada lagi ceria yang kuletakkan di jantung hari, tak ada lagi asa, tak ada mimpi, tak ada lagi. Aku hanya seperti patung es dingin menanggapi hari. Tapi hari lukaku sudah sembuh. Lihatlah kak telah ku usap air mata itu sampai mongering, jiwaku telah kembali walau kadang aku terjatuh, namun aku akan tetap berdidri meski harus tertatih karena sesulit apapun hidup harus tetap di jalankan dan masih ada seribu bintang di langit sana yang mesti kurengkuh.
Kak, aku tak pernah membencimu. Selalu kusisakan untukmu ruang yang paling istimewa di hatiku. Karena aku ingin seperti daun. Dan yang jatuh tak pernah membenci angin. Sebutir rindu untukmu kak.

Tidak ada komentar: