Sejak
luka menyinggahi hari-hariku, aku tak lagi menemui Tuhan dalam sujud-sujud
panjangku. Aku mulai membangun duniaku sendiri. Namun masih kutemui lukaku
basah karena tak ada cinta yang bisa kujadikan atapnya katika hujan kembali
menghapus serpihan-serpihan bahagiaku yang tersisa.
Febuari 2003
“Besok kita harus pindah dari rumah ini,” ucap Papa tiba-tiba saat kami
merenda cerita di bawah purnama yang merangkak di kaki langit seperti
malam-malam yang pernah kami lewati bersama.
Tapi kali ini ucapan Papa tak lagi mengundang tawa yang
tumbuh di bibirku. Esok aku harus meninggalkan rumah yang hampir enam belas
tahun aku menitipkan napas dalam bingkai keluarga sempurna dengan memiliki
sosok Papa yang bukan hanya tampan , tapi juga agamis hingga ketika seragam
putih dongker masih membungkus tubuhku aku sudah menggunakan jilbab. Memiliki
Mama perempuan berhati embun begitu aku mengenalnya, dan juga memiliki seorang
adik yang rambutnya masih di kepang dua. Tapi esok ceritaku tak lagi terangkai
di rumah megah bertingkat ini setelah
semua toko Papa sebagai penghasilan
keluarga kami selama ini mengalami kebakaran. Dan kami harus menjual rumah ini
untuk pindah ke rumah yang lebih
sederhana dan terus menjalani hidup
“Maafkan Papa.” lanjut Papa dengan wajah kusut yang membawa semilir angin
malam itu berhembus sendu.
Maret 2003
Tidak mudah bagiku untuk memulai hidup baru di rumah kontrakan yang kecil
dan sumpek. Tidak ada lagi rumah megah bertingkat, tidak ada lagi perhiasan
yang bergantungan di tubuhku dan tubuh Mama, tidak ada lagi hidangan yang
menggiurkan seleraku. Jangankan hidangan yang menggiurkan, bisa makan tiga kali
sehari itu sudah sangat cukup dari hasil keringat yang di peras Papa dan Mama
dari hasil usaha warung kecil-kecilan yang di buka di depan rumah kontrakan
kami. Aku bukan hanya kehilangan harta, tapi juga kehilangan sahabat-sahabat yang
pernah dekat denganku. Semenjak aku menjadi miskin satu per satu sahabatku
mulai menjauhiku hingga kemudian aku tahu selama ini mereka tak pernah tulus
bersahabat denganku. Mereka bukan bersahabat denganku, tetapi dengan harta yang
pernah kumiliki.
Juli 2004
“Pa,Arin tidak ingin sekolah di sana.” Tolakku saat Papa menawarkanku untuk
melanjutkan sekolah di salah satu SMA favorit di daerahku.
“Kenapa
Rin?” Tanya Papa.
“Arin,
tidak ingin menyusahkan Papa dan Mama.” Jawabku menguburkan mimpiku
dalam-dalam.
Aku
tidak ingin lagi sekolah di SMA
bergedung megah yang menjadi incaran remaja seusiaku. Sebenarnya bagiku
tidak akan akan sulit untuk memasuki SMA itu karena aku memiliki otak yang
masih bisa kuandalkan. Tapi aku tak ingin lagi tertekan seperti yang kurasakan
beberapa tahun ini bersekolah di SMP populer. Aku harus mengikuti gaya
sahabat-sahabatku yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata. Sedangkan
aku bukan lagi Arin anak pengusaha Kaya, tapi yang tinggal hanya Arin anak dari pedagang miskin. Dan
biarlah kukuburkan mimpi-mimpi yang pernah kukristalkan dengan memilih sekolah
sesuai dengan kondisi ekonomi
keluargaku.