Senin, 07 Mei 2012

Titipan Bahagia


Sejak luka menyinggahi hari-hariku, aku tak lagi menemui Tuhan dalam sujud-sujud panjangku. Aku mulai membangun duniaku sendiri. Namun masih kutemui lukaku basah karena tak ada cinta yang bisa kujadikan atapnya katika hujan kembali menghapus serpihan-serpihan bahagiaku yang tersisa.
            Febuari 2003
            “Besok kita harus pindah dari rumah ini,” ucap Papa tiba-tiba saat kami merenda cerita di bawah purnama yang merangkak di kaki langit seperti malam-malam yang pernah kami lewati bersama.
Tapi kali ini ucapan Papa tak lagi mengundang tawa yang tumbuh di bibirku. Esok aku harus meninggalkan rumah yang hampir enam belas tahun aku menitipkan napas dalam bingkai keluarga sempurna dengan memiliki sosok Papa yang bukan hanya tampan , tapi juga agamis hingga ketika seragam putih dongker masih membungkus tubuhku aku sudah menggunakan jilbab. Memiliki Mama perempuan berhati embun begitu aku mengenalnya, dan juga memiliki seorang adik yang rambutnya masih di kepang dua. Tapi esok ceritaku tak lagi terangkai di rumah megah bertingkat ini  setelah semua toko  Papa sebagai penghasilan keluarga kami selama ini mengalami kebakaran. Dan kami harus menjual rumah ini untuk  pindah ke rumah yang lebih sederhana dan terus menjalani hidup
            “Maafkan Papa.” lanjut Papa dengan wajah kusut yang membawa semilir angin malam itu berhembus sendu.
            Maret 2003
            Tidak mudah bagiku untuk memulai hidup baru di rumah kontrakan yang kecil dan sumpek. Tidak ada lagi rumah megah bertingkat, tidak ada lagi perhiasan yang bergantungan di tubuhku dan tubuh Mama, tidak ada lagi hidangan yang menggiurkan seleraku. Jangankan hidangan yang menggiurkan, bisa makan tiga kali sehari itu sudah sangat cukup dari hasil keringat yang di peras Papa dan Mama dari hasil usaha warung kecil-kecilan yang di buka di depan rumah kontrakan kami. Aku bukan hanya kehilangan harta, tapi juga kehilangan sahabat-sahabat yang pernah dekat denganku. Semenjak aku menjadi miskin satu per satu sahabatku mulai menjauhiku hingga kemudian aku tahu selama ini mereka tak pernah tulus bersahabat denganku. Mereka bukan bersahabat denganku, tetapi dengan harta yang pernah kumiliki.
Juli 2004
            “Pa,Arin tidak ingin sekolah di sana.” Tolakku saat Papa menawarkanku untuk melanjutkan sekolah di salah satu SMA favorit di daerahku.
            “Kenapa Rin?” Tanya Papa.
            “Arin, tidak ingin menyusahkan Papa dan Mama.” Jawabku menguburkan mimpiku dalam-dalam.
            Aku tidak ingin lagi sekolah di SMA  bergedung megah yang menjadi incaran remaja seusiaku. Sebenarnya bagiku tidak akan akan sulit untuk memasuki SMA itu karena aku memiliki otak yang masih bisa kuandalkan. Tapi aku tak ingin lagi tertekan seperti yang kurasakan beberapa tahun ini bersekolah di SMP populer. Aku harus mengikuti gaya sahabat-sahabatku yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata. Sedangkan aku bukan lagi Arin anak pengusaha Kaya, tapi yang tinggal  hanya Arin anak dari pedagang miskin. Dan biarlah kukuburkan mimpi-mimpi yang pernah kukristalkan dengan memilih sekolah sesuai dengan kondisi  ekonomi keluargaku.

Januari 2006
Seragam putih abu-abu masih tersusun rapi di tubuhku. Seharusnya saat ini aku sedang mengikuti pelajaran di sekolah, tapi entah mengapa Bu Ani, guru kelasku memintaku untuk segera pulang ke rumah kerena mendapatkan telpon dari Mama.
Tiba-tiba  lututku melemah saat  melihat rumahku di penuhi orang-orang yang berdatangan. Samar-samar kudengar tangis Mama.
            “Ada apa Ma?” Tanyaku dengan hati yang mulai berkecamuk.
            “Papa Rin.” Jawab Mama dengan isak mengurai
            “Ada apa dengan Papa Ma? Tanyaku lagi dengan suara yang mulai bergetar.
            “Papa kecelakaan.” Mendengarkan jawaban Mama kuraskan langit runtuh dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
            Maret 2006
Aku menyeka keringat yang berguguran di wajahku. Kusandarkan tubuhku di bawah pohon rindang untukku sejenak melepas lelah. Kuperhatikan keranjang yang masih menyisahkan beberapa kue. Kecelakaan tiga bulan yang lalu telah membawa Papa pergi selama-lamanya.
 Dan aku sebagai anak tertua mengambil peran Papa mencari uang dengan berjualan kue dari satu rumah ke rumah yang lain. Hampir tak kumiliki waktu untuk terlelap. Pagi aku harus tetap bersekolah, sore berjualan kue,, dan malam harus membantu Mama apalagi  setelah aku tahu penyakit diabetas Mama kian parah.Kembali kebahgiaan beberapa tahun yang lalu melintas sdi benakku yang membuat lukaku kian miris.
“Tuhan kenapa harus aku menghadapi ini? Apa salahku Tuhan hingga kau ambil kebahagiaanku.” Teriakku di bawah langit yang mulai jingga. Dan sejak itulah aku mulai membenci Tuhan, tak lagi menjumpainya dalam sujud-sujud panjang yang pernah di ajarkan Papa kepadaku.
***
Kuhapus bulir-bulir yang meretas di ujung bola mataku.
Tuhan, aku pernah membenciNya ketika IA merampas semua kebahagiaanku hingga tak ada cinta yang IA sisakan untukku. Tapi kini ketika aku tak lagi remaja, aku ingin kembali menjumpaiNya dalam sujud-sujud panjang yang pernah kutinggalkan.
Sejak aku dipertemukan kembali dengan Nisa sahabat kecilku.
“Nisa kenapa aku harus mencintai Tuhan?” Aku mengurai luka saat kami dipertemukan kembali beberapa bulan yang lalu untuk pertemuan yang kesekian kalinya.
“Kerna Tuhan mencintaimu Rin dan sangat mencintaimu.” Jawabnya tenang seperti biasa.
“Tapi kenapa Tuhan mengambil kebahagiaan yang aku miliki, kenapa bukan sahabat-sahabatku yang jelas-jelas orang tuanya seorang koruptor?”
“Apa salah keluargaku Rin?” Lanjutku dengan isak yang mulai terurai.
“Itu karena Tuhan ingin selalu mendekatimu dan yakin kamu bisa melewati semua ini.” Nasehat yang berayun dari bibir Nisa kembali menyinggahi  damai pada segumpal luka ku yang menunpuk.
Setelah beberapa tahun tak pernah berjumpa dengannya. Banyak yang berubah darinya bukan hanya pakainnya yang lebih islami, tapi pola pikirnya yang amat bijaksana dan juga wajahnya yang amat meneduhkan. Walaupun ada luka yang ia sembunyikan dari wajah teduhnya.
Ia sama sepertiku melewati yang hampir serupa.
“Sejak kapan kau pindah Nis?” Tanyaku mentap rumah yang jauh lebih sederhana dibandingkan rumah yang kutempati saat Nisa mengajakku berkunjung ke rumahnya.
“Sudah hampir lima tahun sejak orang tuaku meninggal.” Jawabnya dengan mendung yang masih kulihat tergantung di wajahnya.
 Ia tak lagi memiliki siapa-siapa selain seorang adik yang harus kehilangan sepasang penglihatannya akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu dan kecelakaan itu lah yang memisahkan ia dengan kedua orang tuanya. Tapi ia tak sepertiku, luka membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Sedangkan aku?
***
“Kaki Mamamu harus segera di amputasi,” ucapan dokter beberapa hari yang lalu membuat tubuhku melamah. Penyakit diabetes yang sudah lama bersarang di tubuh Mama sudah semakin parah yang mengahruskan Mama kehilangan sebelah kakinya. Tapi kali ini aku tak lagi menghujat Tuhan. Karena aku ingin menjadi seperti Nisa.
“Yakinlah Rin pertolongan Allah itu sangat dekat.”Kembali kata-kata Nisa melintas di benakku membuat aku semakin kuat.
***
“Ya, benar sekali saya Arin.” Jawabku saat mendengarkan suara di seberang sana.
“Selamat Anda diterima sebagai tenaga pengajar di lembaga kami.”
“Benar Mbak?” Tanyaku lagi seolah-olah tak percaya.
“Benar, besok anda sudah bisa langsung datang ke kantor kami.” Mendengarkan penjelasan suara di ujung telepon itu membuat senyumku kian mekar.
Aku diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga privat setelah beberapa hari yang lalu kukirimkan lamaran. Esok aku tak harus lagi berkeliling berjualan kue dangan hasil keringat yang tentu saja tak akan cukup untuk biaya mengobati Mama dan juga biaya hidup kami. Perlahan-lahan kurasakan bahagia itu kembali menyilap di ruang-ruang hatiku.
“Rin, langit tak akan selamanya gelap pasti akan ada cerah.” Sebaris ucapan nisa menari di benakku.
“Terima kasih Tuhan atas cinta yang masih Kau sisahkan untukku.” Akhirku dengan senyum yang merekah kemudian melangkah mengejar suara adzan magrib yang bergema.


Juara II dalam Lomba Cerpen Flp Se-Riau

Tidak ada komentar: