Aku berdiri di bibir jendela rumah panggungku yang hampir
lapuk dimakan usia. Membiarkan angin bermain di ujung jilbabku. Sambil melemparkan pandangan pada genangan
air sungai
kampar[1].
“Nak, jika bukan
karena jasa Mamak[2]
kau, kita tak akan bisa seperti ini.” Suara lemah Amak[3] terus menyinggahi benakku.
Selalu itu yang dikatakan Amak, ketika menyatakan
ketidakbisaanku memenuhi permintaan
Mamak, untuk menikah dengan Bujang,
anak lelakinya. Sebab
Bujang bukanlah sosok lelaki yang bisa
kujadikan sebagai Imamku.
Seluruh
isi kampung sudah amat mengenal Bujang,
sebagai lelaki yang suka mabuk-mabukan,
bermain wanita, hanya mengandalkan harta milik orang tuanya. Dan Bujang adalah
lelaki yang pernah menabur luka di hatiku.
kini Mamak memintaku untuk menikah dengan
lelaki itu. Bagaimana harus kuceritakan tentang lukaku ini kepada Mamak? lelaki yang menjelma menjadi
malaikat di keluargaku. Semenjak tak pernah kutemui lagi wajah Ayah kembali.
Saat itu aku masih teramat kecil untuk mengerti tentang
kehilangan. Yang kutahu Ayah pasti kembali. Namun ketika aku mulai menapaki
usia remaja aku mulai mengerti Ayah tak akan pernah kembali lagi. Karena Ayah
telah memiliki rumah baru diatas langit seperti yang diceritakan Amak kepadaku. Ayah meninggal saat ingin
pulang menemui kami. Setelah hampir dua tahun Ayah merantau ke Negeri seberang.
Namun bukan kehadiran Ayah yang ditemui Amak.
Melainkan kabar duka yang mengatakan kapal yang ditumpangi Ayah tenggelam.
Dan
sejak kepergian Ayah, Mamak Marzuki
lah satu-satunya adik Amak yang
berbeda Ayah. Menawarkan mimpi-mimpi indah untuk keluarga kami terutama
untukku. Karena jika hanya mengharapkan tubuh ringkih Amak yang terus menerus berkutut di bawah pohon karet, tentu tidak
akan mencukupi kebutuhan keluarga kami.
Mamak membiayai sekolahku dengan segala
fasilitas yang tak pernah membuatku merasakan kekurangan sedikitpun. Hingga
gelar sarjana mampu kuperolah. Dan kini haruskah aku membalas mimpi-mimpi indah
yang pernah ia tawarkan dengan memenuhi pintanya. Yang sama sekali tak pernah
melintas di benakku akan terjadi. Bukan hanya karena anaknya adalah lelaki
bejat. Tapi karena hatiku telah jatuh kepada lelaki lain.
Ocu[4]
Nasrun, lelaki yang pernah menyelamatkanku dari noda yang akan menjadikan hari
esokku kelabu. Lelaki yang kukenal sejak rambutku masih di kepang dua. Dialah
satu-satu lelaki yang mengenalkanku dengan kaffah[5]nya
islam. Sehingga aku tetap ingin melanjutkan hidup sesulit apapun. Dan
kebersamaan yang terjadi diantara kami menumbuhkan perasaan ingin memiliki.
Tentunya memiliki dalam ikatan pernikahan.Sanggupkah kusampaikan keinginanku kepada
Mamak. Yang menginginkanku menjadi
menantunya dengan menikahi lelaki bejat itu.
Tak perlu lagi diulang
cerita itu. Anak
kesayangannya itu telah mencoba menodaiku ketika aku baru saja menggunakan seragam putih abu-abu. Meski
tidak berhasil karena Ocu
Nasrun melihatnya.
“Ayah,
andai kau masih disini.” Aku membatin pilu dengan sepasang mata masih tetap
menatap riak air sungai kampar yang menguning melebur bersama senja.
***
Rumah panggung[6]
yang kutempati bersama Amak kini
membisu. Setelah kusampaikan kepada Mamak
aku tidak bisa menikah dengan Bujang. Dengan alasan aku telah memiliki pilihan
sendiri. Wajahku tertunduk tak berani menatap mata Mamak yang berdiri di depanku.
“Kau
suruh lelaki itu datang ke rumah!” Mamak
buka suara dengan logat ocunya yang kental setelah beberapa menit tertimbun
kebisuan.
Hatiku melonjok bahagia mendengarkan suara Mamak. Walaupun dari suara itu ada nada
yang amat berat. Kuberanikan menatap Mamak
dengan mata yang berkaca-kaca. Karena Mamak
masih memberikan cela untukku memilih. Walaupun aku tak tahu jawaban apa yang
akan kuterima dari Mamak setelah
bertemu dengan Ocu Nasrun.
“Makasih
Mamak,” ucapku lirih kemudian beralih
menatap mata Amak yang juga
berkaca-kaca seolah-olah ikut merasakan kesejukan yang meleleh di hatiku.
Namun tidak dengan perempuan yang berada di samping Mamak. Menatapku dengan tatapan sinis
yang selalu ia tikam ke uluh hatiku. Sejak Mamak
menjelma menjadi malaikat di keluargaku. Perempuan itu adalah Amai sarah, istri
sah Mamak. Yang memang dari dulu
tidak pernah menyukaiku.
Aku
hanya diam seperti biasa yang kulakukan setiap kali ia melemparkan luka untukku.
***
Hujan
terdengar memukul-mukul genteng rumah megah milik Mamak. Yang ikut memukul hatiku setelah tangan kekar Mamak mendarat di pipiku untuk pertama
kalinya. Sepulang Ocu Nasrun
menemuinya.
“Apa kau
sudah gila ingin menikah dengan lelaki satu suku denganmu.” Suara Mamak dengan emosi yang masih
meledak-ledak.
Ah, kenapa ini mesti jadi persoalan? Aku dan Ocu Nasrun memiliki suku yang sama. Yang dalam Adat orang Ocu[9] tidak
membolehkan untuk
menikah . Tapi aku tetap ingin menikah
dengan Ocu Nasrun. Karena agama sama
sekali tidak pernah melarang untuk menikah dengan suku yang sama. Dan bukankah
di kampung ini sudah banyak yang menikah dengan suku yang sama. Lantas kenapa Mamak begitu keras menjadikan suku sebagai alasan.
“Den ndak nyo dongau alasan le kau harus
bolek juo Bujang .” [10]Lanjut
Mamak menatapku tajam.
“Tapi Mamak.” Bantahku dengan suara bergetar.
“Sudah,
aku tidak ingin mendengarkan alasan apa pun darimu.” Potong Mamak yang membuat pilu mengoyak-ngoyak
hatiku. Dan kian terkoyak saat kedua bola mataku bertemu dengan lelaki jangkung
berwajah tirus itu, yang akan menjadi pendampingku hidupku. Kulihat senyum
kemenangan mengembang di bibirnya yang hitam dengan tatapannya yang membuat aku
merasa jijik.
“Mungkinkah
lelaki ini yang akan menjadi pendamping hidupku?” Aku membatin bersama derasnya
hujan yang membuat lukaku kian basah.
***
Di luar
suara sholawat yang berhembus dari bibir Niniok
Mamak[11] yang di iringi pukulan rebbana saling
berkejaran. Tamu-tamu mulai berdatangan. Namun aku masih mengurung diri di
dalam kamar dengan kebaya yang telah membungkus tubuhku. Kutatap dalam-dalam
wajahku di depan cermin. Perlahan air mataku kembali bergulir dengan rasa yang
tak mampu kubentuk.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan lelaki yang
darahnya mengalir dari lelaki yang telah menjelma menjadi malaikat di
keluargaku. Yang menjadikan aku seperti merpati yang sayapnya patah tak mampu
hinggap pada ranting yang ingin ia tuju.
“Mak, bolehkah Nur meninggalkan kampung ini.” Tiba-tiba
saja ucapan itu keluar dari bibirku setelah tak kutemui lagi cela di hati Mamak. Beberapa hari sebelum hari prnikahanku.
Hening
“Mak, bolehkah
Nur menikah dengan Ocu Nasrun saja.”
Pintaku dengan suara bergetar.
Amak menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Ingat Nur, jasa-jasa Mamak
terlalu banyak untuk keluarga kita.” Jawab Amak
masih menatapku Iba.
“Tidak bisakah jasa itu Nur balas dengan cara yang lain Mak?” Aku membatin kemudian jatuh
kedalam pelukan Amak.
“Ini terlalu sulit Mak.”
Isakku dalam pelukan Amak.
Namun hanya kebisuan Amak
yang kutemui
***
Aku mengalihkan pandanganku pada genangan air sungai kampar
dari bibir jendela kamarku. Menatap semua lembar
kenangan yang pernah kucipta bersama
Ayah, Amak, dan Juga Ocu Nasrun tempat pertama pertemuan
kami. Namun itu tak akan pernah kuulang lagi. Karena sebentar
lagi akad itu akan tercipta dengan lelaki
yang hampir saja menodaiku di sungai ini.
Kuhabiskan
tetesan air mataku
di tempat ini bersama deru air yang tak
berhenti mengaum.
Kembali wajah Mamak
melintas dibenakku dengan segala mimpi-mimpi yang pernah ia tawarkan.
Menjadikan aku harus memilih luka sebagai gantinya.
Memang
masih ada pilihan untuk menggagalkan semua ini. tapi aku tidak mau mati muda
dan selanjutnya menjadi gunjingan orang kampung. Dan tentunya akan memberikan luka yang jauh lebih perih
lagi buat Amak.
Jika
ini yang mesti aku hadapi, biarlah. Bukankah
dulu Aisyah, Fatimah, Khadijah pernah melewati
masa-masa yang lebih berat dari ini? kebahgaiaan itu tak hanya dijanjikan di
dunia, tapi juga ketika maut sudah datang
kelak. Dan di sungai ini kuhanyutkan kisahku termasuk mimpi-mimpi
yang pernah kusuburkan menghabiskan sisa napasku bersama lelaki yang sangat
ingin kujadikan sebagai pelengkap
dienku.
[1] Satu-satunya sungai terpanjang
yang berada di Kabupaten Kampar
[2] Panggilan Paman dalam
bahasa Ocu
[3] Panggilan Ibu dalam
bahasa Ocu
[4] Panggilan Abang dalam
bahas Ocu
[5] Islam yang sempurna
[6] Seperti rumah adat
Padang, tapi lebih pendek
[7] Dasar nggak tahu diri
[8] Dasar tidak tahu diri
[9] Penduduk yang tinggal di Kabupaten kampar
dinamakan Ocu
[10] Saya tidak ingin
mendengarkan alasan apapun lagi kau harus tetap menikah dengan Bujang
[11] Para pemuka adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar