Sabtu, 02 Juni 2012

Biarkan Kisahku Hanyut Di Sungai Kampar

              Aku berdiri di bibir jendela rumah panggungku yang hampir lapuk dimakan usia. Membiarkan angin bermain di ujung jilbabku.  Sambil melemparkan pandangan pada genangan air  sungai kampar[1].
 “Nak, jika bukan karena jasa Mamak[2] kau, kita tak akan bisa seperti ini.Suara lemah Amak[3]  terus menyinggahi benakku.
Selalu itu yang dikatakan Amak, ketika menyatakan ketidakbisaanku memenuhi permintaan Mamak, untuk menikah dengan Bujang, anak lelakinya. Sebab Bujang bukanlah sosok lelaki yang  bisa kujadikan sebagai Imamku.
            Seluruh isi kampung sudah  amat mengenal Bujang, sebagai lelaki  yang suka mabuk-mabukan, bermain wanita, hanya mengandalkan harta milik orang tuanya. Dan Bujang adalah lelaki yang pernah menabur luka di  hatiku.
            kini Mamak memintaku untuk menikah dengan lelaki itu. Bagaimana harus kuceritakan tentang lukaku ini kepada Mamak? lelaki yang menjelma menjadi malaikat di keluargaku. Semenjak tak pernah kutemui lagi wajah Ayah kembali.
Saat itu aku masih teramat kecil untuk mengerti tentang kehilangan. Yang kutahu Ayah pasti kembali. Namun ketika aku mulai menapaki usia remaja aku mulai mengerti Ayah tak akan pernah kembali lagi. Karena Ayah telah memiliki rumah baru diatas langit seperti yang diceritakan Amak kepadaku. Ayah meninggal saat ingin pulang menemui kami. Setelah hampir dua tahun Ayah merantau ke Negeri seberang. Namun bukan kehadiran Ayah yang ditemui Amak. Melainkan kabar duka yang mengatakan kapal yang ditumpangi Ayah tenggelam.
            Dan sejak kepergian Ayah, Mamak Marzuki lah satu-satunya adik Amak yang berbeda Ayah. Menawarkan mimpi-mimpi indah untuk keluarga kami terutama untukku. Karena jika hanya mengharapkan tubuh ringkih Amak yang terus menerus berkutut di bawah pohon karet, tentu tidak akan mencukupi kebutuhan keluarga kami.
 Mamak membiayai sekolahku dengan segala fasilitas yang tak pernah membuatku merasakan kekurangan sedikitpun. Hingga gelar sarjana mampu kuperolah. Dan kini haruskah aku membalas mimpi-mimpi indah yang pernah ia tawarkan dengan memenuhi pintanya. Yang sama sekali  tak pernah  melintas di benakku akan terjadi. Bukan hanya karena anaknya adalah lelaki bejat. Tapi karena hatiku telah jatuh kepada lelaki lain.
            Ocu[4] Nasrun, lelaki yang pernah menyelamatkanku dari noda yang akan menjadikan hari esokku kelabu. Lelaki yang kukenal sejak rambutku masih di kepang dua. Dialah satu-satu lelaki yang mengenalkanku dengan kaffah[5]nya islam. Sehingga aku tetap ingin melanjutkan hidup sesulit apapun. Dan kebersamaan yang terjadi diantara kami menumbuhkan perasaan ingin memiliki. Tentunya memiliki dalam ikatan pernikahan.Sanggupkah kusampaikan keinginanku kepada Mamak. Yang menginginkanku menjadi menantunya dengan menikahi lelaki bejat itu.
Tak perlu lagi diulang cerita itu. Anak kesayangannya itu telah mencoba menodaiku ketika aku baru saja menggunakan seragam putih abu-abu.  Meski tidak berhasil karena Ocu Nasrun melihatnya.
            “Ayah, andai kau masih disini.” Aku membatin pilu dengan sepasang mata masih tetap menatap riak air sungai kampar yang menguning melebur bersama senja.
 ***
            Rumah panggung[6] yang kutempati bersama Amak kini membisu. Setelah kusampaikan kepada Mamak aku tidak bisa menikah dengan Bujang. Dengan alasan aku telah memiliki pilihan sendiri. Wajahku tertunduk tak berani menatap mata Mamak yang berdiri di depanku.
            “Kau suruh lelaki itu datang ke rumah!” Mamak buka suara dengan logat ocunya yang kental setelah beberapa menit tertimbun kebisuan.
Hatiku melonjok bahagia mendengarkan suara Mamak. Walaupun dari suara itu ada nada yang amat berat. Kuberanikan menatap Mamak dengan mata yang berkaca-kaca. Karena Mamak masih memberikan cela untukku memilih. Walaupun aku tak tahu jawaban apa yang akan kuterima dari Mamak setelah bertemu dengan Ocu Nasrun.
            “Makasih Mamak,” ucapku lirih kemudian beralih menatap mata Amak yang juga berkaca-kaca seolah-olah ikut merasakan kesejukan yang meleleh di hatiku.
Namun tidak dengan perempuan yang berada di samping Mamak. Menatapku dengan tatapan sinis yang selalu ia tikam ke uluh hatiku. Sejak Mamak menjelma menjadi malaikat di keluargaku. Perempuan itu adalah Amai sarah, istri sah Mamak. Yang memang dari dulu tidak pernah menyukaiku.
            “Dasar ndak ontu di kodau.[7][8] Ujarnya saat melewatiku.
            Aku hanya diam seperti biasa yang kulakukan setiap kali ia melemparkan  luka untukku.
***
            Hujan terdengar memukul-mukul genteng rumah megah milik Mamak. Yang ikut memukul hatiku setelah tangan kekar Mamak mendarat di pipiku untuk pertama kalinya. Sepulang Ocu Nasrun menemuinya.
            “Apa kau sudah gila ingin menikah dengan lelaki satu suku denganmu.” Suara Mamak dengan emosi yang masih meledak-ledak.
Ah, kenapa ini mesti jadi persoalan?  Aku dan Ocu Nasrun memiliki suku yang sama. Yang dalam Adat orang Ocu[9]  tidak membolehkan untuk menikah  . Tapi aku tetap ingin menikah dengan Ocu Nasrun. Karena agama sama sekali tidak pernah melarang untuk menikah dengan suku yang sama. Dan bukankah di kampung ini sudah banyak yang menikah dengan suku yang sama. Lantas kenapa Mamak  begitu keras menjadikan suku sebagai alasan.
            “Den ndak nyo dongau alasan le kau harus bolek juo Bujang  .” [10]Lanjut Mamak menatapku tajam.
            “Tapi Mamak.” Bantahku dengan suara bergetar.
            “Sudah, aku tidak ingin mendengarkan alasan apa pun darimu.” Potong Mamak yang membuat pilu mengoyak-ngoyak hatiku. Dan kian terkoyak saat kedua bola mataku bertemu dengan lelaki jangkung berwajah tirus itu, yang akan menjadi pendampingku hidupku. Kulihat senyum kemenangan mengembang di bibirnya yang hitam dengan tatapannya yang membuat aku merasa jijik.
            “Mungkinkah lelaki ini yang akan menjadi pendamping hidupku?” Aku membatin bersama derasnya hujan yang membuat lukaku kian basah.
***
            Di luar suara sholawat yang berhembus dari bibir Niniok Mamak[11]  yang di iringi pukulan rebbana saling berkejaran. Tamu-tamu mulai berdatangan. Namun aku masih mengurung diri di dalam kamar dengan kebaya yang telah membungkus tubuhku. Kutatap dalam-dalam wajahku di depan cermin. Perlahan air mataku kembali bergulir dengan rasa yang tak mampu kubentuk.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan lelaki yang darahnya mengalir dari lelaki yang telah menjelma menjadi malaikat di keluargaku. Yang menjadikan aku seperti merpati yang sayapnya patah tak mampu hinggap pada ranting yang ingin ia tuju.
“Mak, bolehkah Nur meninggalkan kampung ini.” Tiba-tiba saja ucapan itu keluar dari bibirku setelah tak kutemui lagi cela di hati Mamak. Beberapa hari sebelum hari prnikahanku.
Hening
Mak, bolehkah Nur menikah dengan Ocu Nasrun saja.” Pintaku dengan suara bergetar.
Amak menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Ingat Nur, jasa-jasa Mamak terlalu banyak untuk keluarga kita.” Jawab Amak masih menatapku Iba.
“Tidak bisakah jasa itu Nur balas dengan cara yang lain Mak?” Aku membatin kemudian jatuh kedalam pelukan Amak.
“Ini terlalu sulit Mak.” Isakku dalam pelukan Amak.
Namun hanya kebisuan Amak yang kutemui
***
Aku mengalihkan pandanganku pada genangan air sungai kampar dari bibir jendela kamarku. Menatap semua lembar kenangan yang pernah kucipta bersama Ayah, Amak, dan Juga Ocu Nasrun tempat pertama pertemuan kami. Namun itu tak akan pernah kuulang lagi. Karena sebentar lagi akad itu akan tercipta dengan lelaki yang hampir saja menodaiku di sungai ini.  Kuhabiskan tetesan air mataku di tempat ini bersama deru air  yang tak berhenti mengaum.
Kembali wajah Mamak melintas dibenakku dengan segala mimpi-mimpi yang pernah ia tawarkan. Menjadikan aku harus memilih luka sebagai gantinya.
 Memang masih ada pilihan untuk menggagalkan semua ini. tapi aku tidak mau mati muda dan selanjutnya menjadi gunjingan orang kampung. Dan tentunya akan memberikan luka yang jauh lebih perih lagi buat Amak.
 Jika ini yang mesti aku hadapi, biarlah. Bukankah dulu Aisyah, Fatimah, Khadijah pernah melewati masa-masa yang lebih berat dari ini? kebahgaiaan itu tak hanya dijanjikan di dunia, tapi juga ketika maut sudah datang kelak. Dan di sungai ini kuhanyutkan kisahku termasuk mimpi-mimpi yang pernah kusuburkan menghabiskan sisa napasku bersama lelaki yang sangat ingin kujadikan  sebagai pelengkap dienku.



[1] Satu-satunya sungai terpanjang yang berada di Kabupaten Kampar
[2] Panggilan Paman dalam bahasa Ocu            
[3] Panggilan Ibu dalam bahasa Ocu
[4] Panggilan Abang dalam bahas Ocu
[5] Islam yang sempurna
[6] Seperti rumah adat Padang, tapi lebih pendek
[7] Dasar nggak tahu diri
[8] Dasar tidak tahu diri
[9]  Penduduk yang tinggal di Kabupaten kampar dinamakan Ocu
[10] Saya tidak ingin mendengarkan alasan apapun lagi kau harus tetap menikah dengan Bujang
[11] Para pemuka adat

Tidak ada komentar: