Rabu, 09 November 2011

Jalan


Jalan diujung matanya seolah lengket dalam pandangannya. Dari dua bola matanya ada asa yang menyala berharap cerah segera menyapu hujan yang masih memukul-mukul atap rumahnya.
“Anak-anak, rabu depan kita akan mengadakan ulangan.” Ucapan Buk Meri guru Bahasa Indonesianya kembali melintas didaun telinganya.
Sekilas pandangannya menoleh kearah jam usung yang tergantung di dinding rumahnya yang lapuk, jarum jam itu telah menunjukkan jam 7.15. itu berarti ia hanya memiliki waktu lima belas menit lagi agar bisa sampai ke sekolah.
Pandangannya kembali menatap jalan di depan rumahnya yang telah berubah menjadi lumpur setelah diguyur hujan semalaman. Beginilah kondisi desa kelahirannya, setiap kali musim hujan, jalan berubah menjadi lumpur karena masih bertanahkan merah, tidak ada yang ingin keluar rumah kecuali warga yang memiliki ekonomi diatas rata-rata, yang sudah memiliki kendraan bermotor.
“Inur, serapan dulu Nak.” Suara wanita paroh baya itu membuyarkan lamunannya.
Diliriknya ubi rebus yang masih menggumpal kan asap telah terhidang di depannya.
“Kalau hujan tidak reda, tidak usah ke sekolah dulu.” Tegur wanita itu.
“Inur harus ke sekolah Mak, hari ini ada ulangan.” Jawabnya sambil melahap sepotong ubi kayu sebagai pengganjal perutnya yang dari terus berbunyi-bunyi.

Selasa, 08 November 2011

Cerpen: Luka Dalam Gerimis September



September masih saja gerimis menetes pada sebentuk luka yang menganga padahal sudah satu tahun kisah itu berlalu. Ingatanku kembali menembus potongan slide pertama kali aku mengenalinya.
“Dik, ikut training motivasi?” Tawar lelaki jangkung yang berkaca mata itu sambil menyerahkan selembar brosur kearahku.
Kuraih brosur itu dari tangannya sambil merapikan rambut panjangku yang diterbangkan angin.
“Kalau adik berminat ingin ikut silahkan hubungi No hp yang tertera di brosur itu.” Lanjutnya dengan senyum persahabatan yang ingin ia salurkan. Namun aku hanya membalas sikap dingin seperti biasa yang aku lakukan pada setiap orang.
Aku Naya Karisha Mahasiswi baru disalah satu Universitas Negri di daerahku. Empat tahun yang lalu aku adalah gadis ceria yang ingin bersahabat dengan siapa saja. Namun sosok ceria dalam diriku mulai memudar sejak luka melumuri hariku. Luka yang telah merubahku menjadi gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis.
Aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang bahagia yang memiliki tingkat ekonomi bisa dikatakan diatas rata-rata. Papa adalah seorang pengusaha yang memiliki beberapa toko pakaian di daerahku sedangkan Mama adalah guru SMP.walaupusn sibuk, Mama dan Papa selalu meluangkan waktu untuk berbagi cinta denganku karena aku adalah anak semata wayang mereka. Namun ketika seragam putih abu-abu masih membungkus tubuhku, kebahagiaan itu hancur setelah Mama mendapati Papa sedang berselingkuh dengan salah seorang karyawannya. Mama shock, tidak menyangka Papa akan menghianati cintanya.Mama meminta Papa untuk segera mengakhiri rumah tangga yang telah hampir delapan belas tahun terbangun. Dan Papa mengabulkan permintaan Mama. Setelah Papa dan Mama berpisah aku memutuskan untuk tinggal bersama Mama. Rasa benci kepada Papa mulai menumpuk dihatiku apalagi setelah berpisah dari Papa, hidup Mama jadi tidak karuan karena luka yang disajikan Papa amat perih hingga akhirnya Mama dirawat di rumah sakit jiwa. Mama stress.
Dan aku adalah gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis. Aku berubah menjadi dingin tak ingin bersahabat. Tapi lelaki itu telah mencairkan kebekuaanku. Rogi Yuranda, lelaki yang pernah menawarkan brosur training motivasi saat hari pertama aku berstatus Mahasiswi. Ternyata ia adalah ketua Rohis, salah satu organisasi keislaman di kampusku. Lelaki jangkung berkaca mata, berjenggot tipis yang sentiasa menggunakan jacket organisasi dan membawa ransel di punggunya, Ia adalah sosok bijaksana selalu menjadi perbincangan hangat dikalangan cewek-cewek dijurusanku.
Berawal dari training motivasi yang ia tawarkan kepadaku dan semenjak itu lah aku mulai mengenalnya. Seperti ada magnet yang menarikku untuk mendekatinya. Untuk berbagi kisahku kepadanya. Kemudian Ia menghadirkan warna baru dalam hidupku, membawaku menyelusuri makna hidup, Itu kubuktikan saat menemani Papa di sisa terakhir napasnya.