Selasa, 29 Maret 2011

Jalanku Pulang




Aku seperti burung yang lelah sayapnya di ranting perih. Mencari matahari untuk terbang kembali menuju jalan pulang, jalan cahaya yang pernah menerangi di setiap sudut ruang jiwaku.
Kuraih kembali agenda kusam yang sudah hampir enam bulan kutumpukkan bersama buku-buku yang tidak kugunakan lagi.kubuka setiap lembarnya yang berisi tentang agenda-agenda dakwah yang pernah kususun. Dan deretan tulisan-tulisan motivasi sebagai penyemangatku. Dulu aku pernah bermimpi menjadi Summayah masa kini, kunyalakan terus ghairah juangku hingga aku ingin berada pada barisan terdepan ketika ada seruan jihad. Dulu aku pernah bermimpi memiliki jiwa yang lapang seperti bunda khadijah, menjual seluruh jiwa dan harta hanya pada sang pemilik jagad raya, memiliki cinta yang tulus dan hati yang ikhlas hingga tetesan terakhir. Dulu aku pernah bermimpi ingin seperti bunda maryam, wanita yang tidak pernah di sentuh oleh lelaki manapun, namun dari rahimnya telah lahir nabiyullah isa as, wanita yang dipilih oleh allah menjadi wanita suci lahir dan bathinnya. Tapi itu dulu. Sekarang mimpi itu seolah meredup dan menjadi luka semenjak aku kembali bertemu denganya. Dedi damhuri. Seorang lelaki yang pernah mengisi episode masa laluku.Dia hadir kembali setelah hampir dua tahun aku memilih dakwah sebagai jalan hidupku. Dia hadir menawarkan sebentuk rasa yang pernah tumbuh di hatiku,. Awalnya aku pikir rasa itu tidak akan kembali tumbuh karena semenjak mengenal dakwah, Lelaki seperti Dedi bukanlah lagi tipe lelaki impianku. Komunikasi kamipun berlanjut seperti air yang mengalir dan ternyata apa yang aku pikirkan salah. Rasa yang kupikir tak akan tumbuh lagi malah berbunga dengan indah. Aku sendiri yang memupuknya, membiarkan noda hitam itu berkarat di hatiku. Dan Semanjak itulah futur mulai mengahampirku, halakohku mulai bolong-bolong,Mushaf yang biasanya selalu kubawa hanya tersimpan di dalam lemari dan terkadang saja kubuka kembali. Al-Ma’surat kuendapkan di tumpukan-tumpukan bukuku. Amanah-amanah kuabaikan begitu saja. Pengajian tak pernah kuhadiri.Ribuan sms taujih tak kuhiraukan,dan yang lebih parahnya lagi. Jilbab yang dulunya hampir menutupi seluruh tubuhku mulai kupendekkan. Hingga aku benar-benar meninggalkan dunia dakwah. Akulah salah satunya yang berguguran di jalan dakwah. Kemudian mengering dan membusuk.
Tiga bulan aku menjalin hubungan dengan Dedi. Hubungan kami bukan hanya lewat via hp, tapi kami berhubungan secara langsung layaknya sepasang kekasih. Entah kemana hijab yang dulunya sangat kujaga, entah kemana prinsip hidup yang dulunya kugenggam erat. Semuanya tenggelam karena cinta yang hadir ketika aku mulai beranjak dewasa. Tapi hubunganku dengan Dedi hanya berjalan tiga bulan. Ternyata Dedi hanya ingin mempermainkanku kemudian ia tinggalkan luka di hatiku yang kian menganga .Sedangkan tiga bulan lagi aku terpuruk dan mencoba menemukan kepingan jiwaku yang tercecer , memulihkan sayapku yang patah dan mencoba untuk terbang kembali.
Kuraih raih sebuah foto yang hampir di tutupi debu. Kulihat ada aku dan teman-teman akhwatku di foto itu sedang tersenyum sambil mengepalkan tangan. Dan aku ingat saat itu kami meneriakkan Allahu Akbar, kemudian kami berazzam, inilah salah satu-satunya jalan yang bisa membawa kami menemui kekasih kami, Allah di janahNya.Tapi kini… lidahku kelu untuk mengukapkannya. Hatiku perih bersama air mata sesalku yang mengalir deras ke pipiku.
Tiba-tiba Hpku bergetar.
Assalamu’alaikum wr.wb
Ukhti, bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu, besok ada kajian khusus akhwat di sekre jam 16.00. di tunggu kehadirannya ukhti.
Sebuah pesan singkat yang di kirimkan teman seperjuanganku di jalan dakwah.. Walaupun aku telah gugur di jalan dakwah, tapi sms-sms acara dakwah dan taujih-taujih tidak pernah absen dari inbox Hpku. Bahkan sekali-kali mereka mengunjungiku untuk kembali merangkulku ke jalan para mujahidah.
Ya Allah bantu hamba untuk kembali menuju jalanMu, jalan cahayaMu.
***
Langkahku terhenti saat sampai di depan sekre. Di sinilah dulu aku dan saudara-saudaraku menyusun strategi dakwah dengan semangat yang menggelora. Rindu itu kembali mendesak di hatiku dan mengalir di sudut mataku.
“Assalamu;alaikum,”ucapku.
“wa’alaikumsalam.” Jawab semua yang berada di dalam sekre.
Kulihat semua mata tertuju kepadaku mungkin melihat penampilanku yang kembali seperti dulu.
“Nisa…” Sapa Aini dengan mata yang berbinar-binar.
Aku mencoba untuk tersenyum sambil menahan air mata yang hampir menitik.
“Nisa…” ucap akwat lainya secara berbarengan.
Kemudian menghampiriku dan memeluku sambil mengucapkan Alhamdulilah.
Hari ini aku seperti burung yang sedang memulihkan sayapku untuk kembali terbang mengoyak udara,menukik, merobek cakrawala menuju jalan pulang, jalan mimpiku, jalan cahaya, jalan para mujahidah, jalan hidupku

Kamis, 24 Maret 2011

Di Tepian Senja



Di tepian senja

Dukaku melapuk

Daun-daun pilu

Berguguran di hempas angin zaman

Di tepian senja

Pendaran cahaya rembulan

Pantulkan harap

Pada mimpi yang mulai

Mengintip di wajah bintang

Di tepian senja

Jiwaku pulih

Senyumku merekah

Semangatku berputik

Berbunga asa

20 Besar Lomba Menulis Puisi Xpresi Riau Pos

Keseleo Di Atas Catwalk



Zaman SMP dulu aku pernah terpilih sebagai utusan lomba peraga’an busana antar sekolah dalam rangka memperingati hari kartini. Aku yang terpilih bukannya senang malah mendadak shock .Bagaimana tidak shock, aku yang dikenal ceroboh bin culun nantinya harus berjalan di depan ribuan mata dan bukan hanya itu, aku harus menggunakan high heels sesuatu jangankan kupakai kusentuh aja jarang. Berjuta alasan kugunakan untuk menolak tawaran itu agar pihak sekolah mencari yang lain saja, tapi percuma sepertinya sampai mulutku burbusapun tetap saja pihak sekolah telah menjatuhkan pilihanya kepadaku. Mungkin karena aku terlalu manis kali ya? Makanya keputusan pihak sekolah tidak bisa di ganggu gugat lagi hahaha narsis.
Sebelum hari H tiba aku terus belajar menggunkan high heels, tapi tak kunjung ada kemajuaan. Dan hampir setiap malam aku tidak bisa memejamkan mata hanya kerena memikirkan penampilanku nanti. Dan berharap ada seorang peri yang menyulapku seperti seorang model yang berjalan dengan anggun di atas catwalk biar tidak malu-malu’in.
Dan tibalah saatnya aku tampil di atas catwalk untuk pertama kalinya dengan busana kebaya plus make up plus high heels. Sebelum no urutku dipanggil penyakit nervous tingkat tinggiku kambuh. Debaran jantungku seperti bedug yang sedang di pukul, tubuhku gemetaran di sertai keringat dingin di wajahku.” No urut 13” terdengar suara MC memanggil No urutku. Segera aku naik di atas catwalk dan berusaha memberikan senyuman paling manis kepada setiap mata. Tapi dalam benakku aku berjalan seperti robot yang sedang berjalan di atas catwalk. Saat sampai di pertengahan jalan hal yang tidak kuinginkan itu akhirnya terjadi juga. Kakiku keseleo dan hampir terjatuh. Aku mencoba untuk berdidri dan barjalan kembali di iringi senyum kaku di wajahku menahan malu. Kulihat mata-mata yang sedang menertawakanku. Ingin rasanya segara kutinggalkan ruangan itu kemudian menghilang. Aku malu…!

Rabu, 23 Maret 2011

Rembulan Di Hati Emak



Kulihat emak menatap rembulan di jendela rumah panggung kami. Aku tak berani menyapanya karena luka emak terlalu dalam. Sebentar lagi lebaran tapi Emak masih saja menangis walaupun kejadiaan itu sudah hampir satu tahun.
Bagaimana kabar Midah dan Emak? Bapak di sini dalam keadaan baik. Semoga begitu juga dengan Emak dan Midah. Sebenarnya Bapak berat ingin menyampaikan berita ini, tapi Bapak harus mengatakannya sama Emak dan Midah bahwa Bapak tidak akan pulang lagi karena di sini Bapak telah memiliki keluarga. Maafkan Bapak.
Begitulah sepenggal isi surat yang di kirimkan Bapak satu tahun yang lalu setelah hampir tiga tahun kami menunggu kepulangan Bapak dari rantauan. Tapi bukan kepulangan Bapak yang kami temui melainkan selembar surat yang seperti sembilu merobek-robek hatiku apalagi hati Emak.
“Mak, sudah adzan?” Tegurku.
“Ya, Mak tahu.” Jawab Emak masih tetap menatap Rembulan.
“Midah, tau tak, ramadhon tiga tahun yang lalu Emak dan Bapak selalu menatap rembulan bersama,” ucap Emak manghapus bulir-bulir bening yang mulai jatuh ke pipinya.
Dari kedua bola mata Emak dapat kulihat cahaya harap yang belum pudar. Cahaya harap akan kepulangan Bapak suatu hari nanti.
Emak melangkah mendekatiku kemudian meminum segelas air putih dan menyatap sepotong ubi kayu yang masih hangat. Hanya sepotong ubi kayu dan segelas air putih hidangan berbuka kami.
“Maafkan Mak, belum bisa membelikan makanan yang sedap,” ucap Emak sedih.
“Tak ape Mak, ubi ini udah sedap ko’ .” Hiburku.
Semenjak Bapak tak pulang-pulang. Emak harus membanting tulang dengan berjualan kue di sekolah-sekolah.
“Bentar lagi lebaran, Midah nak Emak belikan baju lebaran?” Tanya Emak tiba-tiba.
Aku hanya diam. Sudah hampir tiga lebaran aku tidak punya baju lebaran.
“Tengok ni aku di belikan sama Bapak baju baru, kau?” opss aku lupa kau kan tak punya Bapak lagi mana bisa beli baju baru.” Begitulah ucapan yang selalu di lontarkan Nur tetanggaku yang selalu menjadi bahan tertawaan buat teman-temanku ketika lebaran tiba.
Dan perkataan Nurlah yang membuat aku kadang menangis secara diam-diam. Tapi aku tidak pernah menuntut sama Emak untuk di belikan baju baru, karena aku tahu Emak tidak punya uang. Dapat makan saja aku sudah bersyukur.
“Besok kalau jualan kue Emak laku semua, Emak akan belikan Midah baju baru.” Lanjut Emak.
“Iya Mak.” Jawabku tidak terlalu berharap.
***
Semburat warna jingga menggantung di ujung kaki langit. Emak meletakkan dagangan kuenya yang masih terlihat banyak.
“Midah, maafkan Emak, Emak belum bisa belikan Midah baju baru, dagangan Emak tidak habis. Tapi Emak janji kalaupun dagangan Emak besok tidak habis, Emak akan tetap akan beli baju baru untuk Midah,” ucap Emak semangat.
“Emang Emak dapat duit dari mana?” Tanyaku.
“Mak, akan coba pinjam duit dulu sama Makcik Ainun.” Jawab Emak menyebutkan nama salah seorang orang yang cukup berada di kampungku.
Aku hanya menatap Emak iba. Seinci demi seinci kuperhatikan wajah Emak yang mulai keriput. Mata Emak yang hitam cekung dan menghitam tanda jarang tidur. Urat-urat tangan Emak yang bertonjolan. Dan badan Emak yang semakin hari semakin kurus. Tapi di mataku Emak adalah wanita yang paling cantik, wanita yang paling aku cintai, wanita yang paling aku hormati, wanita yang paling aku kagumi. Wanita yang memiliki keindahan hati sepertin keindahan rembulan.Apalagi semenjak Emak harus memerankan dua peran sekaligus. Sebagai Emak sekaligus sebagai Bapak. Sungguh luar biasa perjuangan Emak, tidak akan ada yang bisa menandingnya, siapapun itu.
***
Hari ini adalah senja ke 30 ramadhon. Kulihat Emak kembali menatap rembulan di jendela rumah panggung kami yang hampir roboh.
“Midah, maafkan Emak lebaran ini Emak belum bisa belikan Midah baju baru,” ucap Emak sedih.
“Uang jualan kue Emak tidak cukup untuk membelikan baju baru Midah sedangkan Makcik Ainun tidak memberikan Emak pinjaman uang.” Lanjut Emak.
Aku sudah tahu pasti Makcik Ainun tidak akan mau meminjamkan uang kepada orang miskin seperti kami.
“Coba Ayahmu masih bersama kita pasti Midah sudah punya baju baru,” ucap Emak menatap rembulan dengan mata berkaca-kaca.
Aku berlari mendekati Emak karena tidak tahan mendengarkan perkataan Emak.
“Tidak apa-apa Midah tidak punya baju baru, asal Emak selalu bersama Midah. Itu udah buat Midah bahagia Mak,” ucapku dengan suara gemetar menahan tangis.
Emak merengkuh aku kedalam pelukannya. Dan sayup-sayup kudengar kumandang takbir bergema di angkasa.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar...Allahu Akbar... Laa Illah ha illahahu allahu akbar......... allahu akbar walillahilham”
Kembali lebaran tahun ini kulewati tanpa Bapak, tanpa baju baru, tanpa ketupat, tanpa gulai Ayam.Hanya ada Rembulan, rembulan yang kian bersinar di hati Emak yang menemani hari-hari lebaranku.

Terbit di Gagasan Uin