Rabu, 23 Maret 2011

Rembulan Di Hati Emak



Kulihat emak menatap rembulan di jendela rumah panggung kami. Aku tak berani menyapanya karena luka emak terlalu dalam. Sebentar lagi lebaran tapi Emak masih saja menangis walaupun kejadiaan itu sudah hampir satu tahun.
Bagaimana kabar Midah dan Emak? Bapak di sini dalam keadaan baik. Semoga begitu juga dengan Emak dan Midah. Sebenarnya Bapak berat ingin menyampaikan berita ini, tapi Bapak harus mengatakannya sama Emak dan Midah bahwa Bapak tidak akan pulang lagi karena di sini Bapak telah memiliki keluarga. Maafkan Bapak.
Begitulah sepenggal isi surat yang di kirimkan Bapak satu tahun yang lalu setelah hampir tiga tahun kami menunggu kepulangan Bapak dari rantauan. Tapi bukan kepulangan Bapak yang kami temui melainkan selembar surat yang seperti sembilu merobek-robek hatiku apalagi hati Emak.
“Mak, sudah adzan?” Tegurku.
“Ya, Mak tahu.” Jawab Emak masih tetap menatap Rembulan.
“Midah, tau tak, ramadhon tiga tahun yang lalu Emak dan Bapak selalu menatap rembulan bersama,” ucap Emak manghapus bulir-bulir bening yang mulai jatuh ke pipinya.
Dari kedua bola mata Emak dapat kulihat cahaya harap yang belum pudar. Cahaya harap akan kepulangan Bapak suatu hari nanti.
Emak melangkah mendekatiku kemudian meminum segelas air putih dan menyatap sepotong ubi kayu yang masih hangat. Hanya sepotong ubi kayu dan segelas air putih hidangan berbuka kami.
“Maafkan Mak, belum bisa membelikan makanan yang sedap,” ucap Emak sedih.
“Tak ape Mak, ubi ini udah sedap ko’ .” Hiburku.
Semenjak Bapak tak pulang-pulang. Emak harus membanting tulang dengan berjualan kue di sekolah-sekolah.
“Bentar lagi lebaran, Midah nak Emak belikan baju lebaran?” Tanya Emak tiba-tiba.
Aku hanya diam. Sudah hampir tiga lebaran aku tidak punya baju lebaran.
“Tengok ni aku di belikan sama Bapak baju baru, kau?” opss aku lupa kau kan tak punya Bapak lagi mana bisa beli baju baru.” Begitulah ucapan yang selalu di lontarkan Nur tetanggaku yang selalu menjadi bahan tertawaan buat teman-temanku ketika lebaran tiba.
Dan perkataan Nurlah yang membuat aku kadang menangis secara diam-diam. Tapi aku tidak pernah menuntut sama Emak untuk di belikan baju baru, karena aku tahu Emak tidak punya uang. Dapat makan saja aku sudah bersyukur.
“Besok kalau jualan kue Emak laku semua, Emak akan belikan Midah baju baru.” Lanjut Emak.
“Iya Mak.” Jawabku tidak terlalu berharap.
***
Semburat warna jingga menggantung di ujung kaki langit. Emak meletakkan dagangan kuenya yang masih terlihat banyak.
“Midah, maafkan Emak, Emak belum bisa belikan Midah baju baru, dagangan Emak tidak habis. Tapi Emak janji kalaupun dagangan Emak besok tidak habis, Emak akan tetap akan beli baju baru untuk Midah,” ucap Emak semangat.
“Emang Emak dapat duit dari mana?” Tanyaku.
“Mak, akan coba pinjam duit dulu sama Makcik Ainun.” Jawab Emak menyebutkan nama salah seorang orang yang cukup berada di kampungku.
Aku hanya menatap Emak iba. Seinci demi seinci kuperhatikan wajah Emak yang mulai keriput. Mata Emak yang hitam cekung dan menghitam tanda jarang tidur. Urat-urat tangan Emak yang bertonjolan. Dan badan Emak yang semakin hari semakin kurus. Tapi di mataku Emak adalah wanita yang paling cantik, wanita yang paling aku cintai, wanita yang paling aku hormati, wanita yang paling aku kagumi. Wanita yang memiliki keindahan hati sepertin keindahan rembulan.Apalagi semenjak Emak harus memerankan dua peran sekaligus. Sebagai Emak sekaligus sebagai Bapak. Sungguh luar biasa perjuangan Emak, tidak akan ada yang bisa menandingnya, siapapun itu.
***
Hari ini adalah senja ke 30 ramadhon. Kulihat Emak kembali menatap rembulan di jendela rumah panggung kami yang hampir roboh.
“Midah, maafkan Emak lebaran ini Emak belum bisa belikan Midah baju baru,” ucap Emak sedih.
“Uang jualan kue Emak tidak cukup untuk membelikan baju baru Midah sedangkan Makcik Ainun tidak memberikan Emak pinjaman uang.” Lanjut Emak.
Aku sudah tahu pasti Makcik Ainun tidak akan mau meminjamkan uang kepada orang miskin seperti kami.
“Coba Ayahmu masih bersama kita pasti Midah sudah punya baju baru,” ucap Emak menatap rembulan dengan mata berkaca-kaca.
Aku berlari mendekati Emak karena tidak tahan mendengarkan perkataan Emak.
“Tidak apa-apa Midah tidak punya baju baru, asal Emak selalu bersama Midah. Itu udah buat Midah bahagia Mak,” ucapku dengan suara gemetar menahan tangis.
Emak merengkuh aku kedalam pelukannya. Dan sayup-sayup kudengar kumandang takbir bergema di angkasa.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar...Allahu Akbar... Laa Illah ha illahahu allahu akbar......... allahu akbar walillahilham”
Kembali lebaran tahun ini kulewati tanpa Bapak, tanpa baju baru, tanpa ketupat, tanpa gulai Ayam.Hanya ada Rembulan, rembulan yang kian bersinar di hati Emak yang menemani hari-hari lebaranku.

Terbit di Gagasan Uin

Tidak ada komentar: