Rabu, 29 Februari 2012

Bingkisan Luka Dari Abah


Oleh: Ematul Hasanah
            Cinta? Masihkah harus aku percaya, setelah ia menyajikan luka untuk kuseduh setiap kali matahari menyembul di wajah fajar hingga ia kembali hanyut di tepian senja.
            “Mak, Abah bile balek?” Tanyaku saat seragam putih dongker masih membungkus tubuhku.
            “Suatu hari nanti Abah pasti balek.” Masih saja jawaban itu yang berayun dari bibir Emak, jawaban yang kuterima ketika rambutku masih dikepang dua.
            Tiga tahun sudah Abah merantau ke Malaysia untuk memperbaiki kondisi keluarga kami yang serba kekurangan dengan perkerjaan Abah hanya sebagai penoreh getah itu pun bukan kebun getah milik Atok Atan, salah satu orang terkaya di kampung kami. Abah tidak ingin melihat keluarga kami dijadikan bahan olok-olokan penduduk kampung lagi karena hanya kamilah satu-satunya yang masih tinggal di rumah panggung yang hampir roboh. Dengan berat hati aku dan Emak melepaskan kepergian Abah. Di tahun pertama keberengkatan Abah, Abah sudah mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Tetapi cukup memenuhi kebutuhan aku dan Emak. Ditahun kedua Abah kembali mengirimkan uang dengan  yang lebih banyak, begitupuan dengan tahun ketiga hingga aku bisa melanjutkan sekolahku ke bangku SMP. Sebenarnya bukan uang yang dikirim Abah yang mencipta rona bahagia di wajahku dan Emak, tetapi isi hati Abah yang ia luahkan pada lembaran-lembaran surat yang mengatakan ia sangat merindukan kami dan akan segara kembali. Tetapi surat Abah terhenti ketika memasuki tahun ke empat kepergiaan Abah.
            “Mungkin Abahmu sibuk.”  Begitu dugaan Emak saat itu karena pada surat sebelumnya Abah bercerita tentang perkerjaannya yang hanya menyisahkan sedikit waktu untuk Abah melelapkan mata.
            Memasuki tahun selanjutnya Abah juga tak mengirimkan surat hingga perlahan-lahan waktu meredupkan sosok Abah tanpa alasan.

Minggu, 19 Februari 2012

Lelaki Hati


Oleh:Ematul Hasanah
            “Bodoh.” Sesalku memukul kepalaku pelan saat aku ketahuan mengupil ketika sedang membaca buku di perpustakaan sekolah.
            Masih ingat dibenakku tatapan aneh lelaki itu saat mata kami bertemu sedangkan sebelah jari telunjukku masih tertinggal di bawah lubang hidung. Dengan jurus seribu segera kutarik telunjukku dan berpura-pura merapikan penampilanku seolah-olah ia tak melihat apa yang baru saja kulakukan. Kulihat sebaris senyum mengembang di wajahnya yang memperlihatkan giginya yang putih tersusun rapi dan aku membalas dengan senyum asam-asam manis kemudian mangajak langkahku meninggalkan ruangan secepat kilat.

Sabtu, 18 Februari 2012

Kau Masih Sahabatku



Oleh:Ematul Hasanah
            Hampir tujuh tahun aku mengenalmu, sejak di hari pertama aku menggunakan seragam putih abu-abu.
            “Namanya siapa?” Tanyamu ramah saat pertama kali menatapku.
            “Ema.” Jawabku masih dengan wajah culunku.
            Begitulah awal perkenalan kita. Namun di hari-hari awal sekolah kau dengan aku tidak terlalu dekat  walaupun pulang dan pergi kita selalu bersama.
            Kedekatan kita berawal ketika kau datang menghiburku saat aku menangis.
            “Ema kenapa menangis? Tanyamu berpindah duduk di sampingku

Bukan Lelaki Romantis


Oleh: Ematul Hasanah
            Aku menyembunyikan wajahku yang merona saat membaca biodata Ikhwan yang di bawakan oleh Mbak Ayu. Perempuan yang hampir sembilan tahun aku mengenalnya sejak ia menjadi seniorku saat aku masih di bangku SMA hingga kami dipertemukan kembali di Universitas yang sama dan Mbak Ayu lah perempuan pertama yang mengenalkan aku pada Tarbiyah.
            “Gimana Dee?Tanya Mbak Ayu.
            “InsyaAllah dia lelaki yang sholeh.” Lanjut Mbak Ayu ketika mendapatiku belum bersuara.
            “Orangnya gimana Mbak? Tanyaku membuka suara.
            “Yang Mbak dengar dia adalah Ikhwan pekerja karas, amanah, public speakingnya oke   dia selalu memegang jabatan terpenting di organisasi keisalaman, tapi...”
            “Tapi apa Mbak? Apakah dia suka nulis puisi? Dia seorang penyair ya Mbak? Potongku dengan pertanyaan bertubi-tubi berharap jawaban yang meluncur dari bibir Mbak Ayu adalah ya. Namun bukan jawaban yang kuterima tetapi kedua bola mata Mbak Ayu yang menatapku dalam.
            “Mbak.” Desiku mulai salah tingkah dengan tatapan Mbak Ayu.

Janji Hanif


Oleh: Ematul Hasanah
            “Aku akan menikahimu Ris.” Sebaris janji yang pernah menumbuhkan ribuan mawar di wajahku kembali melintas di benakku. Namun kini janji itu menjadi duri yang menusuk-nusuk mimpiku hingga menyisahkan luka yang amat dalam. Janji yang pernah terucap dari bibir lelaki yang meluluh lantakkan prinsipku dengan meletakkan rasa yang tak seharusnya kuhadirkan sebelum lafaz ijab qabul itu terucap.
            ***
            Di balik jendela aku manatap jalanan yang masih sepi walaupun mantari telah merangkak di kaki langit. Dan jalanan yang masih bertanahkan merah di depan mataku akan tetap sepi hingga senja menyapu langit karena di Desa ini hanya di huni oleh beberapa penduduk. Hampir dua bulan aku dan beberapa temanku berada di Desa ini, Desa terpencil yang berada di Provinsiku untuk melaksanakan KKN sebagai salah satu mata kuliah yang harus di selesaikan.

Selasa, 07 Februari 2012

Masih Ada Cinta Untukku


         
Oleh: Ematul Hasanah
            “Masih adakah cinta untuk ku Mak?” Tanyaku pilu  menatap luka yang masih menyisahkan darah di lenganku. Memaksa bulir-bulir hangat mengalir di ujung bola mataku. Namun luka yang membekas di hatiku jauh lebih perih.
            “Dasar kau anak tak berguna!” Maki Emak sambil memukulku bertubi-tubi dengan ranting rambutan.
            “Sakit Mak.” Rintihku.
            “Kau selalu saja menyusahkan aku, sama seperti Abahmu.” Tatap Emak tajam penuh benci.
            “Mak, bukan Nur yang salah.” Iskaku menguap.
            Namun Emak kembali memukulku tanpa ingin mendengarkan penejelasan dari bibirku.