Sabtu, 18 Februari 2012

Kau Masih Sahabatku



Oleh:Ematul Hasanah
            Hampir tujuh tahun aku mengenalmu, sejak di hari pertama aku menggunakan seragam putih abu-abu.
            “Namanya siapa?” Tanyamu ramah saat pertama kali menatapku.
            “Ema.” Jawabku masih dengan wajah culunku.
            Begitulah awal perkenalan kita. Namun di hari-hari awal sekolah kau dengan aku tidak terlalu dekat  walaupun pulang dan pergi kita selalu bersama.
            Kedekatan kita berawal ketika kau datang menghiburku saat aku menangis.
            “Ema kenapa menangis? Tanyamu berpindah duduk di sampingku
.
            Aku tak menjawab masih menahan isakku atas kegagalanku yang tak berhasil memasuki SMA yang sangat ku inginkan hingga berujung di salah satu SMA yang baru saja di bangun yang mempertemukan aku denganmu.
            “Kerena aku ya?” Tanyanmu kepedean.
            Aku hanya menggelengkan kepalaku menghabiskan sisa tangisku.
            “Masih ingat nggak gimana Pak Haris mengajar?” Kau menanyakan cara mengajar guru bahasa arab kita dan saat itu aku sudah tahu kau ingin menghiburku kerena guru bahasa arab kita itu sangat lucu.
            Aku tak menjawab hanya menatapmu heran.
            “Gini loh, Hazdhi Kursiyun.” Kau mencoba menirukan gaya Pak Haris dengan menggoyangkan tubuhmu yang membuatku tak mampu menyembunyikan tawa.
            Kemudian aku menjadi terbawa dengan tingkahmu menirukan gaya Pak Haris dan kita tertawa bersama hingga sejak itu kita mulai merajut persahabatan yang semakin hari semakin dekat karena kau dan aku banyak memiliki persamaan. Ada-ada saja bahan yang bisa kita jadikan cerita bahkan berjam-jam lamanya kita menghabiskan cerita apalagi kietika kita berbagi cerita tentang cinta monyet ketika seragam putih dongker masih membungkus tubuh kita. Hingga pernah suatu hari kita sama-sama di marahi guru saat kau memulai mengajak bercerita dan anehnya kau malah tidak tahu guru sedang mencerahami kita. Kau kadang memang aneh tapi selalu membuat ku tertawa kerena aku melihat ada aku dalam dirimu. Kadang kedekatan kita mengundang iri teman-teman kita yang lain. Namun kita seolah tuli dengan cibiran-cibiran kita tetap saja dekat dan bersahabat.
            Aku bukan hanya dekat denganmu, tapi kau juga mendekatkanku dengan keluargamu. Bahkan kedua orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Hingga pernah kau dan aku sama-sama menyukai lelaki yang sama padahal kau yang mengenalkan aku dengan lelaki itu. Kau selalu menepis saat kutanyakan apakah kau menyukai lelaki itu. Hingga lelaki itu bercerita kepadamu dia menyukaiku dan aku bisa melihat raut kehilangan di wajahmu walaupun tak ingin juga ingin mengakuinya. Namun diantara kau dan aku tak ada yang mampu menempati hati lelaki itu karena dia sudah duluan berangkat ke syurga.
Sejak kepergian lelaki itu persahabatan kita tetap terjalin indah. Ketika fitnah bertubi-tubi menjatuhimu aku tetap percaya kepadamu dan tak menghiraukan apa yang orang lain katakan. Karena hanya percaya yang bisa kuberikan kepadamu saat itu agar kau kuat
Dimataku kau adalah gadis yang baik, sedikit manis, lucu, dan cerdas hingga hari ini kau mampu menembus pendidikan di fakultas kedokteran. Tapi kenapa persahabatan yang telah kita bangun dalam ratusan hari tak lagi ditumbuhi mawar-mawar seindah dulu setalah kukatakan kepadamu aku memilih jalan lain untuk hidupku.
“Ema ngaji?” Kau menanyakan tentang pengajian yang pernah kita ikuti sejak SMA.
“Ngaji.” Jawabku.
“Ngaji dimana? Kok tidak pernah kelihatan?” Kau mulai menyelidikiku.
“Di kampus.”
“Kenapa ngaji di kampus? Pengajian kita tidak sama dengan pengajian kampus.” Kau mulai membantah karena tarbiyah yang kujadikan pilihan dunia baru yang begitu damai kutemukan sejak kutinggalkan seragam putih abu-abu.
“ Tujuan kita sama hanya saja jalan menuju tujuan kita sedikit berbeda.” Jelasku namun kau seolah tak ingin tahu dengan alasanku dan terus memaksaku meninggalkan pilihanku tentu saja kali ini aku tidak bisa mengikuti keinginanmu dan itu lah awal dari renggangnya persahabatan kita kemudian melenyap sampai hari ini hanya beberapa kali saja kita ber “Say hallo” itu pun terasa kaku. Namun sampai detik ini kau masih tetap sahabatku dan aku masih menyayangimu sama seperti dulu, tak ada yang berubah kerana hatimu dan hatiku terlanjur menyatu dalam ukuwah


           

Tidak ada komentar: