Sabtu, 18 Februari 2012

Janji Hanif


Oleh: Ematul Hasanah
            “Aku akan menikahimu Ris.” Sebaris janji yang pernah menumbuhkan ribuan mawar di wajahku kembali melintas di benakku. Namun kini janji itu menjadi duri yang menusuk-nusuk mimpiku hingga menyisahkan luka yang amat dalam. Janji yang pernah terucap dari bibir lelaki yang meluluh lantakkan prinsipku dengan meletakkan rasa yang tak seharusnya kuhadirkan sebelum lafaz ijab qabul itu terucap.
            ***
            Di balik jendela aku manatap jalanan yang masih sepi walaupun mantari telah merangkak di kaki langit. Dan jalanan yang masih bertanahkan merah di depan mataku akan tetap sepi hingga senja menyapu langit karena di Desa ini hanya di huni oleh beberapa penduduk. Hampir dua bulan aku dan beberapa temanku berada di Desa ini, Desa terpencil yang berada di Provinsiku untuk melaksanakan KKN sebagai salah satu mata kuliah yang harus di selesaikan.

            Kulihat beberapa sahabatku masih terlelap setelah sholat shubuh mereka kembali merajut mimpi yang tak terselesai, sedangkan aku sejak dulu tidak terbiasa untuk tidur kembali setelah shubuh.
Aku melangkah menuju pohon-pohon sawit yang berada di depan poskoku mencari sinyal karena kondisi di Desa ini sangat menyedihkan kesulitan air, kesulitan listrik, dan termasuk kesulitan sinyal. Kutekan nomor salah satu senior yang paling dekat denganku untuk meminta nasehat tentang rasa yang membuat aku semakin merasa bersalah. Tapi tiba-tiba jemariku terhenti saat kedua bola mataku melihat sosok lelaki jangkung berkulit putih  dan berjenggot tipis itu  yang menawarkan rasa itu untukku.
Hanif, begitu aku memanggilnya kerena selain kami satu angkatan umurku dengannya juga tidak terlalu terpaut jauh hanya berjarak beberapa bulan dia lebih tua dariku. Selama aku meniti hari di Desa ini dia lah lelaki yang mengerti denganku karena kami sama-sama aktivis dakwah kampus hanya saja aku dan dia berbeda fakultas, sebelumnya aku juga pernah satu kepenatian dengannya dalam sebuah acara seminar. Dan di Desa ini lah aku mengenalnya lebih dekat lagi. Ya dekat, yang kemudian kedekatan itu  mengundang debaran halus menyusup ke hatiku tanpa pernah ku undang. Mungkin bagi gadis seumurku wajar saja aku memiliki rasa seperti itu, tapi bagiku seorang aktivis dakwah  tak seharusnya kubiarakan ini berkembang yang akan membuat Tuhan ku cemburu. apalagi setelah kutahu rasaku tak hanya bertepuk sebelah tangan
“Ris, jaga hati ya ingat Allah maha cemburu.” Nasehat salah seorang seniorku sebelum aku berangkat KKN karena tahu ada ikhwan dalam satu kelompok denganku.
  Dan nasehat itu seperti semilir angin yang berlalu begitu saja tanpa meninggalkan sisa. Aku telah mencoba menepis rasa itu semampuku . Tapi perhatian dan pesona yang Hanif miliki membuat setan kian bertengger di ujung hatiku menaburkan mawar-mawar  yang menjadikanku lena hingga aku merapuh dan membiarkan hubungan itu berbunga. Walaupun selama di Desa ini tak pernah sekali pun aku dan dia berdua-dua an, hanya saja perhatian-perhatian yang ia tawarkan membawaku merajut  angan masa depan bersamanya.
Kembali bola mataku menatapnya berharap ia tak menemukan mataku, tapi tiba-tiba pandangan kami bertemu yang membuat desiran halus di hatiku semakin mangalir deras.
***
  Hari ini  aku akan meninggalkan Desa merah jambu ini, begitu aku menamai Desa yang menghadirkan kembali rasa yang telah lama jeda sejak aku memilih Tarbiyah sebagai pilihan hidupku.
Dan di Desa ini juga yang akan menjadi saksi ketika aku mulai menduakan cinta Rabbku dengan menghadirkan lelaki yang belum halal untuk ku cintai.
***
Hubungan aku dan Hanif tak hanya tertinggal di Desa itu, tapi  terus berlanjut di dunia perkulihan yang  membuat aku malu berkumpul dengan teman-teman seperjuanganku kerena hati yang kumiliki tak lagi utuh seperti yang pernah kumiliki dulu ketika aku belum mengenali Hanif lebih dekat.. Kadang aku berontak dengan jiwaku ingin segera mengakhiri hubungan ini. Tapi keseriusan Hanif terhadapku membuatku tetap mempertahankan hubungan ini.
Sejak  menapak langkah kembali di dunia perkulihan hubunganku dengan Hanif semakin dekat bahkan kami pernah pergi berdua-duaan tanpa ada  satu pun yang tahu walaupun itu tidak sering seperti pacaran yang dilakukan gadis seusiaku.Hubungan kami juga telah menyatu dengan keluarga. Hanif datang ke rumahku menemui keluargaku dan semua keluargaku menyukai hanif.
“Ris, Mbak suka dengan Hanif dan sangat berharap dia lah yang akan menjadi suamimu nanti.” Komentar Mbak Anggi Kakak tertuaku yang membuat  rasa itu  semakin dalam dan tak ingin melepaskan ia menjauh.
***
Sepintar apa pun manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium
Begitulah pepatah yang pantas untukku ketika aku duduk di sidang di depan senior dan beberapa sahabat yang satu perjuangan denganku karena hubunganku dengan Hanif telah menyebar dari mulut ke mulut.
“Benar Anti ada hubungan dengan Akhi Hanif?” Selidik salah seorang seniorku.
Aku hanya menunduk. Bibirku kelu untuk memberikan jawaban.
“Sejak kapan Ukhti?” Kali ini Dewi sahabatku yang angkat bicara.
Hening.
Aku masih tertunduk dengan mata yang mulai memerah.
“Kakak yakin Riris sudah sangat paham bagaimana islam nengajarkan bergaul dengan non muhrim.”
“Allah tak pernah tidur ukhti, Dia maha melihat setiap apa yang kita lakukan.”
“Ingat Allah maha cemburu.”
Nasehat yang bertubi-tubi yang dijatuhkan kepadaku membuat bulir-bulir hangat berjatuhan di pipiku.
“Maafkan Riris.” Ucapku bergetar.
Perlahan dewi dan beberapa seniorku mendekatiku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Kurasakan sejuk itu kembali menyinggahi ruang-ruang jiwaku yang kosong.
***
Petang berarak di kaki langit membawa semilir  sejuk  tertinggal di hatiku. Aku melangkahkan kaki seusai melaksanakan sholat berjama’ah di mesjid kampus.
“Riris.” suara itu memanggil namaku, suara yang tak asing lagi terdengar di daun telingaku.
Kuhentikan langkahku tanpa menoleh ke pemilik suara.
“Ris, kita putuskan saja hubungan ini,” ucapnya sendu tanpa basa basi
Dan entah kenapa ada perih yang menjalar ke hatiku.
Hening
“ Tapi aku janji Ris jika sudah tiba waktunya nanti aku akan menikahimu.” Lanjutnya yang membuat rona wajahku memerah.
 Dan janji yang di ucapkan Hanif yang membuatku tak mampu mengikis perasaanku terhadapnya walaupun Sejak petang itu aku dan dia tak pernah lagi pergi berdua-dua’an ataupun ia tak pernah lagi berkunjung ke rumahku, hanya lewat telpon ataupun jejaring sosial kami menjalin komunikasi tanpa ada yang tahu kami membiarkan setan merenggut imanku dengan pesan-pesan pink.
 Hingga  hari berganti, bulan berganti bahkan tahun berganti. Komunikasi dengan Hanif mulai terjeda karena aku bukan lagi mahisiswa. Gelar Spd sudah kuperoleh dan bekerja sebagai tenaga pengajar di Sekolah yang berada di sekitar rumahku. Begitu pun dengan Hanif,  ia telah berhasil menjadi programer. Namun ia tak kunjung datang memenuhi janji yang pernah ia ucap ketika aku telah siap menggenapkan seperuh Dienku.
Dan kemudian janji Hanif membawa luka dengan undangan merah hati itu bertamu ke rumahku.
“Muhamad hanif, ST dan Diah Anggraini, Sos” Bergetar bibir mengeja nama yang terukir dalam undangan merah hati itu.
Awalnya aku tidak yakin nama itu adalah Hanif yang kukenal namun keyakinanku meluntur saat menerima pesan yang dikirimkan Hanif.
“Maafkan aku Ris tidak bisa menepati janjiku.” Air mataku mengalir deras saat membaca sebaris kalimat yang dikirimkan Hanif dengan nada tanpa bersalah.
“Diah Anggraini.” Aku mengenalnya. Dia adalah juniorku, akhwat yang lebih cantik dariku, lebih cerdas dan wajar saja Hanif memilihnya.
“Ris, Aku akan menikahimu.” Janji itu seperti sembilu yang menusuk-nusuk penantian hampaku.
Seharusnya sejak petang itu aku telah mengikis rasa yang pernah kupupuk dan membutakan telingaku untuk tidak mendengarkan janji Hanif, tapi saat itu setan sungguh telah menari indah di kelopak hatiku hingga harap itu menggumpal yang membawaku meninggalkan sang Maha  cinta yang tak pernah lelah untuk sentiasa mencintaiku selama ini.
Dan kehadiran undangan ini, bagaimana harus kujelaskan  kepada Ayah, Ibu, dan Kakak ku yang sangat berharap Hanif lah yang akan menjadi menantu di rumah kami. Lelaki yang sentiasa kubanggakan kepada keluargaku akan menikah dengan wanita lain bukan aku.
“Semoga kau bahagia Nif.” lirihku dengan membawa sebongkah luka menuju jalan pulang.
“Tuhan sudikah Kau menerima cinta ku kembali.” Akhirku dengan sesal memburu kemudian melangkah meninggalkan jejak-jejak merah jambu yang pernah kutapak.






2 komentar:

Eftriani Putri mengatakan...

ya Rabb jagalah hatiku hingga aku mendengar kata SYAH setelah akad suci itu :)

semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua...

Baysifa mengatakan...

aku ingin menikahinya dengan sempurna