Oleh: Ematul Hasanah
Cinta? Masihkah harus aku percaya,
setelah ia menyajikan luka untuk kuseduh setiap kali matahari menyembul di
wajah fajar hingga ia kembali hanyut di tepian senja.
“Mak, Abah bile balek?” Tanyaku saat
seragam putih dongker masih membungkus tubuhku.
“Suatu hari nanti Abah pasti balek.”
Masih saja jawaban itu yang berayun dari bibir Emak, jawaban yang kuterima
ketika rambutku masih dikepang dua.
Tiga tahun sudah Abah merantau ke
Malaysia untuk memperbaiki kondisi keluarga kami yang serba kekurangan dengan
perkerjaan Abah hanya sebagai penoreh getah itu pun bukan kebun getah milik
Atok Atan, salah satu orang terkaya di kampung kami. Abah tidak ingin melihat
keluarga kami dijadikan bahan olok-olokan penduduk kampung lagi karena hanya
kamilah satu-satunya yang masih tinggal di rumah panggung yang hampir roboh.
Dengan berat hati aku dan Emak melepaskan kepergian Abah. Di tahun pertama
keberengkatan Abah, Abah sudah mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak terlalu
banyak. Tetapi cukup memenuhi kebutuhan aku dan Emak. Ditahun kedua Abah
kembali mengirimkan uang dengan yang
lebih banyak, begitupuan dengan tahun ketiga hingga aku bisa melanjutkan
sekolahku ke bangku SMP. Sebenarnya bukan uang yang dikirim Abah yang mencipta
rona bahagia di wajahku dan Emak, tetapi isi hati Abah yang ia luahkan pada
lembaran-lembaran surat yang mengatakan ia sangat merindukan kami dan akan
segara kembali. Tetapi surat Abah terhenti ketika memasuki tahun ke empat
kepergiaan Abah.
“Mungkin Abahmu sibuk.” Begitu dugaan Emak saat itu karena pada surat
sebelumnya Abah bercerita tentang perkerjaannya yang hanya menyisahkan sedikit
waktu untuk Abah melelapkan mata.
Memasuki tahun selanjutnya Abah juga
tak mengirimkan surat hingga perlahan-lahan waktu meredupkan sosok Abah tanpa
alasan.
“Suadahlah Jah kau cari aja Laki
baru Bujang tu dah punya Bini baru di Malaysia.” Ujar Atouk Atan saat aku dan
Emak datang kerumahnya untuk meminjam uang karena Abah bukan hanya tak mengirim
surat lagi, tapi juga tak mengirimkan uang.
“Abah pasti balek.” Emak
meyakinkanku dan menepis isu-isu yang mulai naik daun di kampungku, yang
mengatakan Abah sudah memiliki istri baru.
***
“Mak, Abah bile balek? Tanyaku saat
itu aku tak lagi menggunakan seragam putih dongker dan tak juga seragam putih
abu-abu. Aku hanya menyelesaikan mimpiku sampai di kelas 2 SMA karena Emak
tidak mempunyai uang untuk membiayi sekolahku.
Kali ini tak kudengar bibir Emak
bergetar memberi jawaban, mungkin bibir Emak lelah menjawab nada yang sama.
Kedua bola mata Emak menatap jauh pada bintang-bintang yang bergantungan di
kaki langit. Rembulan menyinggahi wajah sendu Emak. Kulihat ada harap yang
menyala. Harap akan kepulangan Abah, lelaki yang amat Emak cintai. Hingga harap
itu benar-benar memeluk Emak. Abah pulang.
***
Petang mulai tersapu senja yang
berarak di kaki langit. Deru ombak saling berkejaran, aku bisa mendengarkannya
dari rumah panggung kami.
Tok-tok.
Tiba-tiba daun pintu rumah kami
diketuk. Emak bergegas membuka pintu.
Saiapa yang datang senja-senja begini?
Tanya Emak sambil menuju daun pintu rumah kami.
Siapa Mak? Tanyaku saat mendapati
hening setelah Emak membukakan pintu.
“Midah, Abah kau balek.” Panggil
Emak bergetar.
Mendengarkan nama Abah disebut Emak
membuat darahku mengalir deras seperti ombak yang mengalir di luar sana.
Bergegas kuayunkan langkah menuju Emak.
“Abah.” Panggilku dengan suara yang
tak kalah bergetar dengan suara Emak saat kudapati wajah lelaki yang rinduku
menggumpal kepadanya sedang berada di depanku.
Kulihat senyum yang di raut wajahnya
yang mulai senja. Ingin segera kujatuhkan rinduku kedalam pelukannya, tapi
tiba-tiba langkahku terhenti saat mendapati sosok wanita dengan perut besar
yang berdiri di sampingnya.
“Ini siapa Abah.?” Tanyaku sambil
menatap wanita itu seinci demi seinci.
Hening.
“Abah, ini siapa?” Tanyaku lagi
setelah kulihat Abah tertunduk tanpa memberi jawaban.
“Ini Azizah, istri baru Abah.”
Jawaban Abah seperti reruntuhan langit yang menimbunku. Sekilas kulihat Emak
yang mematung dengan linangan air mata perih yang mengalir.
***
Cinta? Masih haruskah aku
mempercayainya? Setelah lelaki itu, lelaki yang kupanggil Abah, yang pernah
kutitipkan semua kagumku hanya untuknya, menati kepulangannya dalam ribuan
hari, namun ia pulang membawa luka, luka yang telah mengikis tubuh emak menjadi
ceking karena Emak harus memakan hati yang dihidangkan oleh lelaki itu saat
bermesraan dengan istri mudanya di depan Emak. Dan luka itu yang telah
memudarkan tentang cinta dihatiku sehingga hari ini ketika umurku hampir
memasuki kepala tiga aku belum meletakkan hati ke lelaki manapun walaupun sadah
beberapa lelaki yang menanyakanku kepada Emak.
“Midah.” Panggil Emak pelan.
Aku mendekati Emak yang terbaring
lemah. Kutatap tubuh kurus itu, matanya yang cekung dengan tulang pipi yang
bertonjolan. Luka itu telah menyulap Emak menjadi lebih tua daripada umurnya.
“Kapan kau nikah Nak.? Tanya Emak
tiba-tiba.
Aku hanya diam. Bibirku kelu harus
memberikan jawaban apa. Ada perih yang mengalir di muara hatiku. Yang membuat luka
itu semakin menganga luka yang kudapatkan dari bingkisan yang di bawa Abah setelah
ribuan hari aku menanti kepulangannya.
Terbit Di Haluan Riau Edisi Minggu 26 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar