Oleh: Ematul Hasanah
“ Baik menurutmu belum tentu itu baik menurut Allah
Baik menurut Allah itu lah yang terbaik untukmu”
Kutatap halaman koran yang berada dalam gemgaman jemariku dengan debaran
jantung yang kian berpacu berharap namaku tertulis diantara ratusan nama yang
lulus seleksi SNMPTN setelah kecewa menimbunku karena tidak berhasil lulus di
jalur mahasiswa undangan. Namun tiba-tiba dadaku kembali sesak saat kedua bola
mataku mendapati namaku tertulis di deretan jurusan yang sama sekali yang tak
kuharapkan lulus karena ketika pengisian formulir aku hanya menuruti permintaan
panitia untuk tidak mengosongkan pilihan jurusan, dan Ekonomi Islam adalah
pilihan terpaksaku saat itu. Kelulusanku di jurusan lain menguburkan mimpiku
menjadi seorang guru Bahasa Inggris bersama perih yang kubawa pulang atas
kegagalanku untuk kesekian kalinya, berharap kan kutemukan sebaris kata
motivasi dari bibir keluargaku. Namun bukan
motivasi yang kutemui.
“Bodoh,
itu saja tidak lulus.” Sebaris kalimat yang berayun di bibir saudaraku satu
persatu mengenalkan aku pada luka. Dan kata-kata itu seperti magnet yang tak
ingin lepas dari benak ku. Semuanya menghujat dan mengucilkanku atas
kegagalanku termasuk sahabat-sahabatku yang seolah tak ingin peduli denganku
karena hanya aku sendiri yang tak mampu menapaki mimpiku saat itu. Sikap-sikap
yang kuterima dari keluargaku maupun sahabatku membuat perubahan
kepribadiaanku. Jika biasanya aku pribadi terbuka yang mudah mengundang tawa
mulai menutup diri dan tak kumiliki lagi kepercayaan yang utuh baik itu kepada
orang lain apalagi kepada diriku yang terus menyalahkan diri sendiri. walaupun aku
tetap menjalankan kuliah di jurusan yang tak kusukai karena jika aku harus
menunggu setahun lagi, usiaku terus bertambah, ilmuku kian menurun dan itu tak
menjamin aku lulus seleksi pada tahun selanjutnya.
Di
semester awal perkulihan belum sembuh rasanya luka yang baru kutemui. Luka baru
hadir menyinggahi hatiku setelah aku harus kehilangan satu per satu orang-orang
yang memiliki arti dalam hidupku. Aku semakin terpuruk tertimbun dalam luka
yang merubahku menjadi perempuan cengeng dengan kepribadiaan yang semakin
tertutup.Aku mulai membangun duniaku sendiri pada tumpukan kertas-kertas putih
bercerita semua tentang kesedihanku yang mengalir dari hati yang paling dalam.
Hingga tanpa sengaja tulisanku di baca oleh salah seorang teman sebangku ku.
“Coba
kamu kirimkan tulisanmu ke koran, kalau terbit ada honornya.” Tawarnya namun
aku tak peduli kerena aku menulis bukan untuk mencari uang tapi untuk
menyembuhkan luka ku. Aku terus saja menulis hingga aku benar-benar jatuh cinta
pada kata dan memutuskan untuk bergabung dengan salah satu komunitas penulis.
Dengan menulis kurasakan perlahan luka ku sembuh dan aku mulai mencoba diri
mengirimkan tulisanku yang kemudian terbit di salah satu media cetak Riau. Ada
kebahagiaan yang menyinggahiku setelah sekian lama terkurung dalam tangis.
Dan
sejak itu aku semakin semangat belajar menulis berawal dari puisi kemudian
beralih ke cerpen yang selalu bernadakan luka walaupun sebenarnya refrensinya
bukanlah dari kisahku seutuhnya tapi entah mengapa setiap kali aku menulis
tentang luka ada rasa yang bisa kuhadirkan. Dan aku mulai mengikuti lomba-lomba menulis
walaupun jarang sekali menang. Tapi tak
membuat hatiku patah kerena dengan menulis ada yang ingin kubuktikan kepada
keluargaku bahwa aku bukanlah yang seperti mereka pikirkan. Aku masih bisa
membuat mereka bangga kepadaku hingga hari ini aku mampu mewujudakannya
bercerita tentang prestasi kecilku kapada mereka. Dan kuliah yang kujalani di
jurusan yang tak dengan hati. Aku mulai belajar menyukainya hingga belum pernah
kutemui IPK ku dibawah tiga pada setiap semesternya.
Jiwaku
yang sempat hilang dalam keterpurukan kurasakan mulai kembali karena pada luka
telah kutemukan mimpi yang lebih indah. Ternyata masih ada ribuan bintang yang
mampu kusematkan menjadi jutaan harap. Terima kasih Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar