Minggu, 18 Maret 2012

Biarkan Hujan Jatuh Pada Rintik Wajahku


Apakah kau tahu luka? Ya ini luka, luka yang masih tersusun rapi dikotak hatiku yang kusembunyikan perihnya pada sebaris senyum getir saat daunya kian rimbun ketika kedua bola mataku menatap berisan huruf yang membentuk dua nama terangkai indah pada sebuah undangan  berwarna merah hati yang baru saja kuterima tiga hari yang lalu.
            “Ahmad Irawan S.sos dan Siti Aisayah S.pd.” Bargetar bibirku mengeja nama itu. Ada perih yang menjalar-jalar keseluruh tubuhku bersama sungai kecil yang tak mampu lagi kubendung mengalir di ujung bola mataku.
            “Ahmad Irawan.” Nama itu tak terdengar asing lagi di daun telingaku bahkan nama itu pernah kutitipkan sepenggal bahagiaku kepadanya.Bang Ahmad, begitu aku memanggilnya karena dia adalah seniorku, disalah satu universitas Negeri di luar provinsiku tempat aku pernah menaungkan mimpi.
            “Suka menulis puisi?” Kejutnya tiba-tiba saat beberapa baris puisi baru saja kuselesaikan.
            Aku tak menjawab, kedua bola mataku beralih kepada pemilik suara.
            “Maaf mengganggu kosentrasimu.”
            “Kamu Inah kan?” Tanyanya.
            Aku mengaguk tanpa suara.

            “Aku suka membaca puisimu.” Lanjutnya kali ia duduk disampingku dengan jarak lebih kurang satu meter.
            “Terima kasih.” Aku mulai membuka suara.
            “Kenalkan aku Ahmad.” Itulah awal perkenalanku dengannya saat petang mulai tersapu oleh sumburat jingga yang menggantung di kaki langit. Dan petang itu bukan untuk terakhir aku bertemu dengannya karena pagi bahkan senja aku kembali dipertemukan denganya, aku dan dia  sama-sama berada di fakultas sastra, bukan hanya berada di fakultas yang sama tetapi juga berada di dalam komunitas menulis yang sama. Dia juga hoby menulis sama sepertiku. Waktu yang selalu mengahdirkan ia untuku hingga aku semakin dalam menyelami kepribadiaannya dan semakin kuat pula getar kagum itu bergemuruh di hatiku, aku tidak tahu darimana ia bermula. Dimataku dia hanya lelaki biasa yang tidak begitu di kenal di kampusku namun ia mampu menjadikanku sempurna dengan caranya yang sederhana walaupun  usianya hanya berjarak dua tahun lebih tua dariku namun dia jauh lebih dewasa.
            “Inah, selamat ya.” Pujinya saat aku memenangkan sebuah lomba puisi. Hanya sebuah pujian sederhana namun mampu membuat pipiku merona merah. Aku jatuh cinta kepadanya, ya jatuh cinta kepada lelaki berdarah melayu yang baru saja kukenal dalam hitungan hari kerena hanya dia lelaki pertama yang menggapkan kehadiranku ada.
            Aku Inah, berdarahkan Batak yang dilahirkan dari keluarga yang cukup mapan dari segi ekonomi. Namun keras dalam mendidik. Tak pernah sekalipun kudengarkan kata-kata lembut berayun dari bibir Amang. Selalu saja kata-kata yang membuat dadaku sesak bahkan kadang-kadang Amang tidak malu memukulku di usiaku yang tak remaja lagi. Aku hanya bisa merasakan kasih sayang Amang dari materi-materi yang ia berikan untukku, bukan kasih sayang yang mengalir dari hatinya. Mungkin karena aku penyebab kematian kekasihnya, wanita yang amat ia cintai itu. sehingga Amang tak pernah memperlakukan aku seperti darah dagingnya sendiri. Inang meninggal ketika melahirkanku. Namun didikan keras yang kuterima dari Amang tak membuat aku tumbuh menjadi gadis batu, aku tumbuh menjadi gadis kuntum merangkai jutaan puisi dalam setiap bait ceritaku. Sedangkan Bang Ahmad dialah satu-satunya lelaki yang mengagap kehadiranku ada dan wajar saja aku jatuh cinta dengannya. Dan rasa itu kian merona setelah aku tahu dia juga menitipkan sebait rasa untukku.
            Ahmad irawan bagiku dia seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjagaku selama hitungan hari, hitungan bulan, bahkan hitungan tahun aku mengisi cerita bersamanya  tak pernah sehelaipun ia menyentuhku, ia benar-benar menjagaku hingga hari istimewa itu hadir saat toga wisuda membungkus kepalaku Bang Ahmad menawarkan mimpi melayar impian bersama dalam bingkai pernikahan.
            “Inah, maukah menikah dengan Abang?” Tanyanya masih dengan logat melayu yang kental yang membuat degupan jantungku mengalir deras sampai bibirku kelu untuk mengatakan ia.
            “Jika Inah bersedia menjadi istri Abang, besok Abang akan datang ke rumah Inah.” Lanjutnya yang membuat rona wajahku kian memerah.
***
            Mentari dhuha masih berserakan di kaki langit bersama semilir angin yang berhembus lembut menuju uluh hatiku. Samar-samar aku mendengarkan percakapan Bang Ahmad dengan Amang. Ada harap yang kutitipkan dalam doa agar Tuhan menyentuh hati Amang untuk menerima kehadiran Bang Ahmad sebagai menantu di rumah ini.
            “Apa marga kau?” Tanya Amang tiba-tiba.
            “Saya tidak ada marga Pak, saya asli melayu.” Jawab Bang Ahmad jujur.
            Kulihat wajah Amang berubah saat mendengarkan jawaban Bang Ahmad. Galau mulai menyusup pada sebait harapku yang membisikkan ini pertanda buruk.
            Sepulangnya Bang Ahmad dari rumah, Amang langsung mendatangiku. Kulihat wajahnya merah menyimpan marah.
            “Aku tidak akan pernah mengizinkan kau menikah dengan lelaki itu.”  Nada suara Amang yang tinggi bergetar di telingaku.
            “Kenapa Inah tidak boleh menikah dengan Bang Ahmad Amang?” Tanyaku menahan isak.
            “Perempuan Batak harus menikah dengan lelaki batak, paham kau?” lanjut Amang yang membuat harapku jatuh berkeping-keping.
            Aku sampaikan jawaban Amang kepada Bang Ahmad. Kudengarkan nada kecewa di ujung suaranya, seperti kecawaku yang menggunung.
            “Bang kita kawin lari saja.” Tiba-tiba ucapan itu keluar dari bibirku.
            “Inah, Abang mencintaimu, tapi Abang tidak akan pernah memilih jalan itu.” Tegurnya kaget mendengarkan permintaanku.
            “Ingat Inah, ridho Allah itu terletak pada ridho orang tua.” Nasehatnya. Ia benar-benar lelaki biasa berhati malaikat, tapi kenapa Amang tak bisa merasakan itu. Amang bukan hanya tidak diizinkan menikah dengan Bang Ahmad, tapi  Amang juga tak mengizinkanku bertemu lagi dengan Bang Ahmad. Amang ingin mengahapus Bang Ahmad dari lembar-lembar hatiku dengan mengahdirkan lelaki lain untuk melamarku.
            Plak, tangan kekar Amang mendarat di pipiku saat aku menolak lamaran lelaki ketiga yang datang kerumahku.
            “Dasar anak tak berguna.” Maki Amang.
            Tamparan yang dihadiahkan Amang di pipiku tak sesakit tamparan yang Amang jatuhkan ke hatiku. Walaupun Amang mengahadirkan puluhan bahkan ratusan lelaki sekalipun aku tidak akan bisa menerima kerena aku telah menitipkan semua harapku kepada Bang Ahmad lelaki biasa berhati malaikat. Hingga akhirnya harap yang kukristalkan retak menyisahkan kepingan-kepingan luka.
            Inah, maafkan Abang, Abang harus menikah mungkin kita memang tidak berjodoh, Abang harap Inah bisa menerima takdir ini.
            Sebaris pesan yang kuterima tiga hari yang lalu setelah hampir setahun aku dan Bang Ahmad tidak pernah berjumpa lagi. Sebaris pesan yang membuat lukaku kian deras bermuara.
            “Jika Abang bahagia Inah juga akan bahagia.” Kembali kata-kata itu melintas di benakku, kata-kata yang pernah ku ucapkan beberapa tahun yang lalu saat cinta masih merekah di hati kami.
            Dengan tangan gemetar kubalas sms Bang Ahmad. Di hari ini, hari bahagianya.
            Semoga Abang bahagia
            Biar aku sendiri memendam luka ini tanpa harus menyisahkan untuknya. Dan biarkan hujan jatuh pada rintik wajahku asal bias pelangi masih bisa kusisihkan untuknya lelaki biasa berhati malaikat Ahmad Irawan.
Ematul Hasanah, Mahasiswi UIN Suska Riau
Bergiat di Flp Pekanbaru
Cerpen ini dipersembahkan untuk Kak Cahaya Buah hati
Terbit di Metro Riau edisi Minggu 4 Maret 2012


Tidak ada komentar: