Apakah
kau tahu luka? Ya ini luka, luka yang masih tersusun rapi dikotak hatiku yang
kusembunyikan perihnya pada sebaris senyum getir saat daunya kian rimbun ketika
kedua bola mataku menatap berisan huruf yang membentuk dua nama terangkai indah
pada sebuah undangan berwarna merah hati
yang baru saja kuterima tiga hari yang lalu.
“Ahmad Irawan S.sos dan Siti Aisayah
S.pd.” Bargetar bibirku mengeja nama itu. Ada perih yang menjalar-jalar keseluruh
tubuhku bersama sungai kecil yang tak mampu lagi kubendung mengalir di ujung
bola mataku.
“Ahmad Irawan.” Nama itu tak
terdengar asing lagi di daun telingaku bahkan nama itu pernah kutitipkan
sepenggal bahagiaku kepadanya.Bang Ahmad, begitu aku memanggilnya karena dia
adalah seniorku, disalah satu universitas Negeri di luar provinsiku tempat aku
pernah menaungkan mimpi.
“Suka menulis puisi?” Kejutnya
tiba-tiba saat beberapa baris puisi baru saja kuselesaikan.
Aku tak menjawab, kedua bola mataku
beralih kepada pemilik suara.
“Maaf mengganggu kosentrasimu.”
“Kamu Inah kan?” Tanyanya.
Aku mengaguk tanpa suara.
“Aku suka membaca puisimu.”
Lanjutnya kali ia duduk disampingku dengan jarak lebih kurang satu meter.
“Terima kasih.” Aku mulai membuka
suara.
“Kenalkan aku Ahmad.” Itulah awal
perkenalanku dengannya saat petang mulai tersapu oleh sumburat jingga yang
menggantung di kaki langit. Dan petang itu bukan untuk terakhir aku bertemu
dengannya karena pagi bahkan senja aku kembali dipertemukan denganya, aku dan
dia sama-sama berada di fakultas sastra,
bukan hanya berada di fakultas yang sama tetapi juga berada di dalam komunitas
menulis yang sama. Dia juga hoby menulis sama sepertiku. Waktu yang selalu
mengahdirkan ia untuku hingga aku semakin dalam menyelami kepribadiaannya dan
semakin kuat pula getar kagum itu bergemuruh di hatiku, aku tidak tahu darimana
ia bermula. Dimataku dia hanya lelaki biasa yang tidak begitu di kenal di
kampusku namun ia mampu menjadikanku sempurna dengan caranya yang sederhana
walaupun usianya hanya berjarak dua
tahun lebih tua dariku namun dia jauh lebih dewasa.
“Inah, selamat ya.” Pujinya saat aku
memenangkan sebuah lomba puisi. Hanya sebuah pujian sederhana namun mampu
membuat pipiku merona merah. Aku jatuh cinta kepadanya, ya jatuh cinta kepada
lelaki berdarah melayu yang baru saja kukenal dalam hitungan hari kerena hanya
dia lelaki pertama yang menggapkan kehadiranku ada.
Aku Inah, berdarahkan Batak yang
dilahirkan dari keluarga yang cukup mapan dari segi ekonomi. Namun keras dalam
mendidik. Tak pernah sekalipun kudengarkan kata-kata lembut berayun dari bibir
Amang. Selalu saja kata-kata yang membuat dadaku sesak bahkan kadang-kadang
Amang tidak malu memukulku di usiaku yang tak remaja lagi. Aku hanya bisa
merasakan kasih sayang Amang dari materi-materi yang ia berikan untukku, bukan
kasih sayang yang mengalir dari hatinya. Mungkin karena aku penyebab kematian
kekasihnya, wanita yang amat ia cintai itu. sehingga Amang tak pernah
memperlakukan aku seperti darah dagingnya sendiri. Inang meninggal ketika
melahirkanku. Namun didikan keras yang kuterima dari Amang tak membuat aku
tumbuh menjadi gadis batu, aku tumbuh menjadi gadis kuntum merangkai jutaan
puisi dalam setiap bait ceritaku. Sedangkan Bang Ahmad dialah satu-satunya
lelaki yang mengagap kehadiranku ada dan wajar saja aku jatuh cinta dengannya.
Dan rasa itu kian merona setelah aku tahu dia juga menitipkan sebait rasa
untukku.
Ahmad irawan bagiku dia seperti
malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjagaku selama hitungan hari, hitungan
bulan, bahkan hitungan tahun aku mengisi cerita bersamanya tak pernah sehelaipun ia menyentuhku, ia
benar-benar menjagaku hingga hari istimewa itu hadir saat toga wisuda
membungkus kepalaku Bang Ahmad menawarkan mimpi melayar impian bersama dalam
bingkai pernikahan.
“Inah, maukah menikah dengan Abang?”
Tanyanya masih dengan logat melayu yang kental yang membuat degupan jantungku
mengalir deras sampai bibirku kelu untuk mengatakan ia.
“Jika Inah bersedia menjadi istri
Abang, besok Abang akan datang ke rumah Inah.” Lanjutnya yang membuat rona
wajahku kian memerah.
***
Mentari dhuha masih berserakan di
kaki langit bersama semilir angin yang berhembus lembut menuju uluh hatiku.
Samar-samar aku mendengarkan percakapan Bang Ahmad dengan Amang. Ada harap yang
kutitipkan dalam doa agar Tuhan menyentuh hati Amang untuk menerima kehadiran
Bang Ahmad sebagai menantu di rumah ini.
“Apa marga kau?” Tanya Amang
tiba-tiba.
“Saya tidak ada marga Pak, saya asli
melayu.” Jawab Bang Ahmad jujur.
Kulihat wajah Amang berubah saat
mendengarkan jawaban Bang Ahmad. Galau mulai menyusup pada sebait harapku yang
membisikkan ini pertanda buruk.
Sepulangnya Bang Ahmad dari rumah,
Amang langsung mendatangiku. Kulihat wajahnya merah menyimpan marah.
“Aku tidak akan pernah mengizinkan
kau menikah dengan lelaki itu.” Nada
suara Amang yang tinggi bergetar di telingaku.
“Kenapa Inah tidak boleh menikah
dengan Bang Ahmad Amang?” Tanyaku menahan isak.
“Perempuan Batak harus menikah
dengan lelaki batak, paham kau?” lanjut Amang yang membuat harapku jatuh
berkeping-keping.
Aku sampaikan jawaban Amang kepada
Bang Ahmad. Kudengarkan nada kecewa di ujung suaranya, seperti kecawaku yang
menggunung.
“Bang kita kawin lari saja.”
Tiba-tiba ucapan itu keluar dari bibirku.
“Inah, Abang mencintaimu, tapi Abang
tidak akan pernah memilih jalan itu.” Tegurnya kaget mendengarkan permintaanku.
“Ingat Inah, ridho Allah itu
terletak pada ridho orang tua.” Nasehatnya. Ia benar-benar lelaki biasa berhati
malaikat, tapi kenapa Amang tak bisa merasakan itu. Amang bukan hanya tidak
diizinkan menikah dengan Bang Ahmad, tapi Amang juga tak mengizinkanku bertemu lagi
dengan Bang Ahmad. Amang ingin mengahapus Bang Ahmad dari lembar-lembar hatiku
dengan mengahdirkan lelaki lain untuk melamarku.
Plak,
tangan kekar Amang mendarat di pipiku saat aku menolak lamaran lelaki ketiga
yang datang kerumahku.
“Dasar anak tak berguna.” Maki
Amang.
Tamparan yang dihadiahkan Amang di
pipiku tak sesakit tamparan yang Amang jatuhkan ke hatiku. Walaupun Amang
mengahadirkan puluhan bahkan ratusan lelaki sekalipun aku tidak akan bisa
menerima kerena aku telah menitipkan semua harapku kepada Bang Ahmad lelaki
biasa berhati malaikat. Hingga akhirnya harap yang kukristalkan retak
menyisahkan kepingan-kepingan luka.
Inah,
maafkan Abang, Abang harus menikah mungkin kita memang tidak berjodoh, Abang
harap Inah bisa menerima takdir ini.
Sebaris pesan yang kuterima tiga
hari yang lalu setelah hampir setahun aku dan Bang Ahmad tidak pernah berjumpa
lagi. Sebaris pesan yang membuat lukaku kian deras bermuara.
“Jika Abang bahagia Inah juga akan
bahagia.” Kembali kata-kata itu melintas di benakku, kata-kata yang pernah ku ucapkan
beberapa tahun yang lalu saat cinta masih merekah di hati kami.
Dengan tangan gemetar kubalas sms
Bang Ahmad. Di hari ini, hari bahagianya.
Semoga
Abang bahagia
Biar aku sendiri memendam luka ini
tanpa harus menyisahkan untuknya. Dan biarkan hujan jatuh pada rintik wajahku
asal bias pelangi masih bisa kusisihkan untuknya lelaki biasa berhati malaikat
Ahmad Irawan.
Ematul Hasanah, Mahasiswi UIN Suska Riau
Bergiat di Flp Pekanbaru
Cerpen ini dipersembahkan untuk Kak Cahaya Buah hati
Terbit di Metro Riau edisi Minggu 4 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar