Jumat, 30 Desember 2011

Sepotong Cerita Dari Serambi Mekah

Lebih  kurang delapan  tahun  aku  menitipkan cerita di sini, di kota Serambi Mekah, begitu orang-orang mengenalnya sebuah kota yang berada di Kabupatan Kampar. Setelah menghabiskan sepenggal cerita di Pulau Bengkalis aku harus ikut bersama kedua orang tuaku berhijrah ke Bangkinang , tanah kelahiran kedua orang tuaku. Saat  itu seragam  putih dongker masih membungkus tubuhku.
Berubah status menjadi warga Bangkinang banyak kutemukan kesulitan dalam beradaptasi terutama dalam berkomunikasi, karena  rata-rata teman-teman seusiaku  menggunakan bahasa ocu[1] yang merupakan bahasa daerah daerah Bangkinang. Aku mengerti dengan apa yang mereka ucapkan karena bahasa ocu juga sering digunakan oleh kedua orang tuaku saat masih berada di Bengkalis, hanya saja aku  kesulitan untuk mengungkapkannya. Aku yang sudah terbiasa menggunakan nada e ketika berbicara harus belajar dengan keras menggantinya dengan nada o karena bahasa ocu  adalah gabungan dari bahasa melayu dan  minang yang identik dengan nada o.
            Di Bangkinang aku melanjutkan kembali sekolahku yang sempat tertunda di sebuah SMP yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Sejak itulah untuk pertama kalinya aku menggunakan wajah baru ke Sekolah dengan sehelai Jilbab, tetapi saat itu aku menggunakannya bukan dari hati melainkan atas peraturan Sekolah yang mewajibkan para Siswi untuk menggunakan jilbab. Karena rata-rata penduduk Bangkinang mayoritas beragama islam. Dapat dilihat dari cara berbusana dan juga banyaknya Mesjid yang terbangun ditambah lagi dengan sebuah  Islamic Center  yang baru dibangun beberapa tahun yang lalu. Di setiap Desa juga aktif dengan acara keislaman salah satunya kaum Ibu yang melaksanakan wirid yasin setiap rabu dari rumah ke rumah dan kajian keislaman setiap jum’at.  Dari segi pendidikan  rata-rata setiap Desa memiliki MDA dan TPA.  Mungkin karena banyakknya nuansa islami, Bangkinang mendapat julukan Serambi Mekah.

Minggu, 25 Desember 2011

Aku dan Wanita Bermata Teduh

Surau itu masih kuraskan kesejukannya mengalir ke uluh hatiku. Di surau inilah pertama kali aku mengenalnya, merangkai cerita demi cerita bersamanya walaupun hanya dalam puluhan hari, namun ia mampu menorah warna di lembar hiupku yang pudar dan kusut.
            “Anak-anak, ini Kak Cahaya yang akan mengajarkan kalian  untuk sementara.” Umi Aida guru mengaji kami mengenalkan wajah yang belum pernah kutemui di Desaku.
            Perempuan itu tersenyum. Dari kedua bola matanya menyuluhkan teduh. Nur Cahaya seseorang yang hanya kukenal dalam puluhan hari. Seorang Mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di Provinsiku. Keberadaannya di Desaku adalah untuk melaksnakan KKN.Kak Cahaya, begitu aku memanggilnya. Kehadirannya membawa segelas mimpi untuk mengisi ruang jiwaku yang hampa.

Sabtu, 24 Desember 2011

Kepadamu Peri Berhati Embun


Pekanbaru,12 Desember 2011
Kepadamu Peri Berhati Embun
Di kota Serambi Mekah
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam rindu kutitipakan dalam bait untaian kata sederhana pada secarik kertas ini
Kutulis surat ini dengan segenap rasa sayang, dengan segenap rasa cinta, dengan segenap rasa bangga, dengan segenap rasa kagum yang bergemuruh dan dengan segenap rasa yang tak mampu kuluahkan
Sejujurnya bibirku kelu, jemariku kaku entah dari mana harus kumulai merangkai  rasa yang menumpuk di hatiku. Mungkin rasa kaku itu dikarnakan kefrustasiaanku karena sampai hari ini aku belum bisa menjadi sosok yang berarti untukmu, belum ada yang dapat kau banggakan dariku.
Ibu….
Lewat sepucuk surat ini kukiramkan seuntai maaf untukmu atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. Membantah perkataanmu, tidak menghiraukan nasehatmu, bahkan meniggikan suaraku padamu dan itu kulakukan bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali hingga luka itu singgah dihatimu. Tapi masih saja kutemui binar cinta dari kedua bola matamu. Kadang ingin rasanya aku masuk kedalam hatimu melihat seberapa besar kesabaranmu dan sedalam apakah lautan kemaafan yang kau miliki.

Senin, 12 Desember 2011

Seuntai Maaf Bunda


Esok 22 Desember. Tidak ada lagi yang istimewa bagiku seperti cerita-cerita yang dibanggakan teman-teman selokalku setiap tahunnya, setelah luka itu hadir tiga tahun yang lalu.
Rini pulanglah sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja
Sebait pesan singkat yang dikirmkan Tanta Ayu untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi dengan nada yang sama yang meminta kepulanganku demi wanita itu.
Aku berdiri di jandela sunyi dengan dua bola mata menatap jauh ke langit senja yang mulai berayun di kaki langit. Potongan-potongan masa lalu kembali kutembus.
“Uang segini mana cukup untuk makan Bang, apalagi harus disisihkan untuk uang sekolah Rini.” Urai Bunda kesal saat Ayah baru saja pulang menarik becak sehriaan, aku mendengarkannya dari ruang tamu yang tidak terlalu jauh dari kamar Bunda.
“Besok akan Abang usahakan lagi untuk mencari uang tambahan.” Jawab Ayah tenang.
Ayah selalu begitu, tenang dan mendamiakan. Tak pernah sekalipun kudengar kata-kata kasar mengalir dari bibirnya. Termasuk ketika Ayah di PHK di salah satu perusahaan tempat Ayah bekerja.
“Ada saatnya manusia itu berada diatas dan ada saatnya manusia itu berada di bawah,mungkin ketika berada diatas ada sombong yang menggunung di hati dan ini adalah salah satu cara Allah untuk menegur.” Ujar Ayah bijak.
Kebijaksaanya itulah yang membuat decak kagum tak berhenti bergemuruh di hatiku, tetapi segala kebaikan Ayah yang mengalir dihatiku tak ikut mengalir menuju hati Bunda.
Semanjak Ayah di PHK kondisi ekonomi keluarga kami berubah sembilan puluh sembilan persen. Tidak ada lagi rumah mewah, tidak ada lagi mobil yang mengkilat, dan tidak ada lagi perhiasan-perhiasan yang bergantungan di tubuh Bunda. Yang tersisa hanya rumah kontrakan sempit dan becak tua yang Ayah beli dari uang sisa tabungannya. Karena hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan telah merubah Bunda menjadi sosok yang tak pernah kukenal. Tak ada lagi tutur kata lembut yang mengalir dari bibir Bunda melainkan kata-kata yang membuat dadaku sesak setiap kali mendengarkannya. Mungkin perubahan Bunda dikarnakan Bunda tidak pernah hidup susah. Dulu sebelum Ayah melamar, Bunda sudah tebiasa hidup berlebih.
Hari berganti, bulan berganti, bahkan tahun berganti perubahan sikap Bunda semakin kental hingga luka itu hadir.