Senin, 12 Desember 2011

Seuntai Maaf Bunda


Esok 22 Desember. Tidak ada lagi yang istimewa bagiku seperti cerita-cerita yang dibanggakan teman-teman selokalku setiap tahunnya, setelah luka itu hadir tiga tahun yang lalu.
Rini pulanglah sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja
Sebait pesan singkat yang dikirmkan Tanta Ayu untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi dengan nada yang sama yang meminta kepulanganku demi wanita itu.
Aku berdiri di jandela sunyi dengan dua bola mata menatap jauh ke langit senja yang mulai berayun di kaki langit. Potongan-potongan masa lalu kembali kutembus.
“Uang segini mana cukup untuk makan Bang, apalagi harus disisihkan untuk uang sekolah Rini.” Urai Bunda kesal saat Ayah baru saja pulang menarik becak sehriaan, aku mendengarkannya dari ruang tamu yang tidak terlalu jauh dari kamar Bunda.
“Besok akan Abang usahakan lagi untuk mencari uang tambahan.” Jawab Ayah tenang.
Ayah selalu begitu, tenang dan mendamiakan. Tak pernah sekalipun kudengar kata-kata kasar mengalir dari bibirnya. Termasuk ketika Ayah di PHK di salah satu perusahaan tempat Ayah bekerja.
“Ada saatnya manusia itu berada diatas dan ada saatnya manusia itu berada di bawah,mungkin ketika berada diatas ada sombong yang menggunung di hati dan ini adalah salah satu cara Allah untuk menegur.” Ujar Ayah bijak.
Kebijaksaanya itulah yang membuat decak kagum tak berhenti bergemuruh di hatiku, tetapi segala kebaikan Ayah yang mengalir dihatiku tak ikut mengalir menuju hati Bunda.
Semanjak Ayah di PHK kondisi ekonomi keluarga kami berubah sembilan puluh sembilan persen. Tidak ada lagi rumah mewah, tidak ada lagi mobil yang mengkilat, dan tidak ada lagi perhiasan-perhiasan yang bergantungan di tubuh Bunda. Yang tersisa hanya rumah kontrakan sempit dan becak tua yang Ayah beli dari uang sisa tabungannya. Karena hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan telah merubah Bunda menjadi sosok yang tak pernah kukenal. Tak ada lagi tutur kata lembut yang mengalir dari bibir Bunda melainkan kata-kata yang membuat dadaku sesak setiap kali mendengarkannya. Mungkin perubahan Bunda dikarnakan Bunda tidak pernah hidup susah. Dulu sebelum Ayah melamar, Bunda sudah tebiasa hidup berlebih.
Hari berganti, bulan berganti, bahkan tahun berganti perubahan sikap Bunda semakin kental hingga luka itu hadir.

“Kenapa kau lakukan ini Rani?” Tanya Ayah dengan nada tinggi untuk pertama kalinya setelah Ayah mencium Bunda memiliki hubungan dengan lelaki lain.
“Aku lelah hidup seperti ini.” Jawab Bunda dangan nada yang tak kalah tinggi.
“Biarkan aku pergi.” Lanjut Bunda tanpa bersalah.
Esoknya tak kutemui lagi wajah Bunda. Bunda benar-benar pergi meninggalkan aku dan Ayah tanpa menyisahkan sebutir pesanpun.
“Rin, kok melamun?” Suara Lina menyadarkanku.
Kuhapus air mata yang mengkristal di pipiku agar Lina tidak tahu aku menangis lagi. Semenjak Bunda meninggalkan kami, aku hidup bersama Ayah dengan kondisi yang masih serba kekurangan. Tetapi kasih sayang Ayah tak pernah membuatku merasa kekurangan. Aku bahagia hidup bersama Ayah seorang saja. Tetapi kabahagiaan itu terhenti saat baru saja seragam putih dongker kulepas.Ayah kecelakaan tak menyisahkan napas padahal hari itu telah kubawa seikat bahagia untuknya atas prestasiku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Tetapi belum sempat bibirku bergetar ,binar cinta dari kedua bola mata Ayah telah dulu meredup untuk selama-lamanya.
Dan Lina adalah satu-satunya sahabat yang bersedia menampungku di rumahnya. Sedangkan Bunda semenjak luka yang ia hadirkan, aku tak pernah ingin untuk mencarinya karena luka itu perlahan mengkristal menjadi benci, tetapi beberapa bulan yang lalu aku selalu melihatnya menunggu di gerbang sekolahku dengan wajah yang tak lagi secantik dulu. Ia hadir kembali ingin mendekatiku, tapi aku selalu menghindar darinya tidak ada lagi ruang cinta yang kusediakan untuknya atas luka yang pernah ia hadiahkan. Hingga aku tak pernah lagi melihatnya menunggu digerbang sekolah, namun sebuah pesan dari Tante Ayu sahabat Bunda yang hadir sebagai ganti dirinya.
“Rin, surga itu dibawah telapak kaki Ibu.” Nasehat Lina saat tak mampu lagi kubendung air mata.
Hening.
Air mataku semakin deras mengalir.
“Masih adakah surga itu dibawah telapak kaki Ibu seperti Bundaku?” Tanyaku dengan suara bergetar dalam isak.
Lina yang sudah mengetahui semua kisah tentangku perlahan merengkuhku kedalam pelukannya seolah ikut merasakan lukaku.
***
“Rin, walau bagaimanapun dia adalah Bundamu kau pernah menumpang di rahimnya, didalam napasmu mengalir darahnya, Allah saja memaafkan kenapa kita tidak?” Nasehat Lina telah menghaluskan hatiku untuk menemui wanita itu, Bundaku.
Hari ini 22 Desember. Sudah lama hari ini tak lagi menjadi istimewa sejak kondisi ekonomi kami berubah. Dan saat ini kembali kulewati dengan sosok wanita yang terbaring lemah. Seinci demi seinci kutatap tubuhnya yang semakin ceking. Wajahnya yang mulai keriput dengan tulang pipi yang bertonjolan ditambah dengan bibir yang tak lagi sama rata.
“Bundamu storoke setelah mengetahui lelaki itu sudah memiliki istri dan dua orang anak. Bundamu sangat menyesal karena telah meninggalkanmu dan Ayahmu. Dan sesal Bundamu kian berakar setelah tahu Ayahmu meninggal. Ia putuskan mencarimu menyampaikan untaian maaf untuk menembus kesalahannya.” Ada miris mengiris hati saat kudengar Tante Ayu mengurai cerita.
Tiba-tiba air mataku menitik jatuh di jemari Bunda. Kulihat perlahan jari-jari itu bergerak.
“Rini.” Suara itu berdesah memanggilku.
Matanya mulai terbuka dan kulihat ada binar cinta yang menyala dari kedua bola matanya yang redup seperti binar cinta yang pernah kulihat saat rambutku masih dikepang dua.
“Maafkan Bunda.” Seuntai maaf yang ia ucapkan terbata-bata mampu menggugurkan luka-lukaku yang merekah.
Dengan air mata yang berlinang kurengkuh Bunda kedalam pelukan.
“Maafkan Rini juga Bunda.” Kurasakan cinta kami kembali menyatu.

Terbit Di Riau Pos

Tidak ada komentar: