Lebih
kurang delapan tahun
aku menitipkan cerita di sini, di
kota Serambi Mekah, begitu orang-orang mengenalnya sebuah kota yang berada di
Kabupatan Kampar. Setelah menghabiskan sepenggal cerita di Pulau Bengkalis aku
harus ikut bersama kedua orang tuaku berhijrah ke Bangkinang , tanah kelahiran
kedua orang tuaku. Saat itu seragam putih dongker masih membungkus tubuhku.
Berubah
status menjadi warga Bangkinang banyak kutemukan kesulitan dalam beradaptasi
terutama dalam berkomunikasi, karena rata-rata teman-teman seusiaku menggunakan bahasa ocu[1]
yang merupakan bahasa daerah daerah Bangkinang. Aku mengerti dengan apa
yang mereka ucapkan karena bahasa ocu juga sering digunakan oleh kedua orang
tuaku saat masih berada di Bengkalis, hanya saja aku kesulitan untuk mengungkapkannya. Aku yang
sudah terbiasa menggunakan nada e ketika berbicara harus belajar dengan keras menggantinya
dengan nada o karena bahasa ocu adalah
gabungan dari bahasa melayu dan minang
yang identik dengan nada o.
Di Bangkinang aku melanjutkan
kembali sekolahku yang sempat tertunda di sebuah SMP yang tidak terlalu jauh
dari rumahku. Sejak itulah untuk pertama kalinya aku menggunakan wajah baru ke
Sekolah dengan sehelai Jilbab, tetapi saat itu aku menggunakannya bukan dari
hati melainkan atas peraturan Sekolah yang mewajibkan para Siswi untuk
menggunakan jilbab. Karena rata-rata penduduk Bangkinang mayoritas beragama
islam. Dapat dilihat dari cara berbusana dan juga banyaknya Mesjid yang
terbangun ditambah lagi dengan sebuah Islamic Center yang baru dibangun beberapa tahun yang lalu.
Di setiap Desa juga aktif dengan acara keislaman salah satunya kaum Ibu yang melaksanakan
wirid yasin setiap rabu dari rumah ke rumah dan kajian keislaman setiap jum’at.
Dari segi pendidikan rata-rata setiap Desa memiliki MDA dan TPA. Mungkin karena banyakknya nuansa islami,
Bangkinang mendapat julukan Serambi Mekah.
Setelah melewati hari, bulan, bahkan
tahun cintaku mulai tumbuh di Bangkinang. Aku mulai mengenal adat isti adat
Bangkinang yang masih terasa kental. Diantaranya adat pernikahan. Di penghujung
2008, Abang sepupuku memutuskan untuk
menggenapkan separuh diennya dalam bingkai pernikahan. Tiga hari sebelum acara
resepsi, para tetangga sudah berdatangan ke rumah untuk membantu mempersiapkan makanan
di hari resepsi nanti. Biasanya di acara-acara resepsi pernikahan jarang sekali
menggunakan jasa catering karena rasa gotong royong penduduk Bangkinang masih
kuat. Di pagi hari resepsi pernikahan para Niniok
Mamak[2]
dan tokoh-tokoh adat melakukan budaya sakral yaitu badiqiu[3]
dengan menggunakan rabana sambil melafazakan shalawat. Tujuannya agar acara
pernikahan berlangsung dengan hikmat dan menjadi keluarga yang utuh hingga
akhir hayat. Dentuman sholawat yang mengalir di bibir para Niniok Mamak dan tokoh-tokoh adat juga menambah nilai budaya pada
pihak lelaki saat datang ke rumah pihak
perempuan. Acara pengantaran pihak lelaki biasanya dengan membawa jambau[4].
Acara resepsi pernikahan juga dimeriahkan oleh alat musik tradisional oguong,
tapi sudah sedikit direnovasi. Dulu hanya sekedar oguong yang mengalunkan nada
slow, namun sekarang oguong sudah dikombinasi dengan kayboad sehingga lagu-lagu
pop juga bisa dilantunkan.
“Oguong
kini ndak samo juo ogung awak dulu le, kini ntah apo-apo logunyo.”[5] Keluh
Ibuk-ibuk yang menghadiri resepsi pernikahan.
Di acara resepsi pernikahan juga
menyajikan makanan adat salah satunya dadioh[6],
susu sapi yang dimasukkan ke dalam buluh hingga membeku, kemudian dikeluarkan
dicampur dengan santan kelapa yang sudah diberi gula merah. Dan entah kenapa lidah
saya jatuh cinta dengan masakan ini.
Selain adat pernikahan. Penduduk Bangkinang
juga masih kental dengan adat balimau bakasa[7]i.
Tradisi ini adalah mandi membersihkan diri di sungai kampar dengan menggunakan jeruk nipis dan bunga-bunga rampai. Dulu aku
pernah melakukannya, tapi setelah bertukar seragam dari putih dongker ke putih
abu-abu aku tak pernah lagi melakukannya. Setiap tahun saat balimau kasai sungai kampar kebanjiran pengunjung dari berbagai daerah karena di sepanjang
sungai kampar akan ada pertunjukan sampan hias dari berbagai bentuk.
Bangunan-bangunan di Bangkianang
juga masih menampakkan ciri khas adat istiaadat. Diantaranya kantor Bupati yang
atapnya mennjukkan adat melayu, selain itu rumah-rumah penduduk Bangkinang
masih banyak menggunakan rumah panggung.
Dari sektor lapangan kerja rata-rata
penduduk Bangkinang adalah bertani terutama di daerahku Bangkinang Sebarang. Amak[8]
semenjak pindah ke Bangkinang mengerjakan beberapa petak sawah milik uwo[9].
Dalam bertani penduduk Bangkinang masih menggunakan nilai-nilai budaya yaitu batobo[10].
Kerja sama yang dilakukan secara bergotong royong dalam satu kelompok untuk menggarap sawah
orang lain yang nanti akan mendapatkan upah dari pemilik sawah. Tradisi batobo
ini dijadikan sebagai sebuah tarian di acara-acara perpisahan siswa SD, maupun
SMP. Dan aku pernah membawakannya saat masih berstatus pelajar SMP
Selain dari bidang pertanian
penduduk Bangkinang juga banyak di bidang perikanan budidaya ikan patin yang
dikembangkan melalui karamba[11],
di sepanjang sungai kampar, ini terlihat banyak keramba yang berjejaran.
Sedangkan
dari bidang pertanian, di bidang perkebunan ada yang memilki kebun sawit, kebun
karet, dan kebun sayur-syuran biasa. Amakku salah satunya yang memilki kebun
sayur-sayuran di belakang rumah kami. Yang nantinya akan di jual ke pasar
setiap hari rabu sebagai menambah perekonomian kami setalah Ayah meninggal tiga
tahun yang lalu.
Di Bangkinang memiliki dua pasar.
Pasar atas dan pasar bawah. Pasar bawah hanya terdidri dari ruko-ruko yang
berisikan pakaian, sepatu, makanan, barang-barang elektronik, dan obat-obatan
sebagai apotik. Sedangkan pasar bawah yang dikenal sebagai pasar inpres menjual
berbagai macam barang mulai dari barang elektronik, tektil, perabot rumah
tangga, pakian, sepatu, sampai sayur-sayuran yang berjejeran di sepanjang kaki
lima. Biasanya hari rabu pasar inpres
akan tenggelam oleh penjual dan pembeli, hari minggu juga begitu tapi tidak seramai
hari minggu. Dulu ketika masih SMP aku selalu ingin ke pasar mencari hal-hal
yang kusukai terutama majalah dan kaset selebritis yang menjadi idolaku saat
itu.
Di Bangkinang juga memiliki
tempat-tempat wisata diantaranya stanum kolom renang yang banyak dikunjungi
pelajar utuk belajar renang, terakhir aku kesana saat-saat masih SMP, berenang
untuk mengambil nilai mata pelajaran olahraga. Bukit candika juga merupakan
tempat wisata terutama bagi para pemuda/i
dari atas bukit candika kita bisa melihat pemandangan kota Bangkinang.
Di sana ada disediakan beberapa cafe, tetapi aku tak pernah melihat secara
langsung kedalamnya karena dari cerita yang kudengar disana banyak pemuda/i
marajut asmara. Palingan aku ke bukit candika hanya sekedar numpang lewat saja karena
dulu untuk menuju SMA ku memang harus melewati bukit candika. Selain itu ada
lagi namanya Bukit RCTI merupakan
pemandangan sawah yang menyerupai iklan di RCTI. Bukit RCTI terletak di desa
Salo tidak jauh dari rumahku, tapi sampai saat ini aku belum menginjakkan kaki
di sana. Di desa Salo juga memiliki jembatan gantung, jembatan yang terbuat
dari kayu dan berdindingkan tali untuk menyebrangi sungai kampar. Dulu ketika
masih SMP aku dan teman-teman sering ke sana, tatapi aku tidak berani untuk melewatinya, jangankan
untuk melewati naik satu tangga saja badanku sudah gemetaran, tidak seperti
penduduk Salo yang berani menggunakan sepeda diatas jembatan.
Untuk transportasi penduduk Bangkinang
ada menggunakan motor pribadi, mobil, angkot, rakit untuk menyeberangi sungai
kampar, dan juga becak bermotor. A lat transportasi yang paling banyak
digunakan adalah becak bermotor. Dan becak itulah yang selalu setia menemaniku
mencari sepotong cerita di Kota serambi Mekah karena sampai hari ini aku belum
berani menggunakan motor pribadi.
Antologi Catatan Cinta Dari Melayu
[1]
Penggilan saudara lelaki dalam bahasa daerah Bangkiang
[2]
Orang-orang yang dituakan di kampung
[3] Lafaz
sholawat yang menggunakan Rabana
[4] Hantaran
untuk pihak mempelai perempuan
[5] Lagu
ougong sekarang tidak sama lagi dengan ougong dulu
[6] Salah
satu makanan khas Bangkinang yang terbuat dari susu sapi
[7] Tradisi
mandi dengan menggunakan jeruk nipis dan bunga rampai satu hari sebelum
Ramadhon
[8]
Panggilan Ibu dalam Bahasa daerah Bangkinang
[9]
Panggilan Nenek dalam bahasa Bangkinang
[10]
Kerjasama dalam mengolah sawah milik orang lain
[11] Kolom
ikan berupa rakit
|
Jumat, 30 Desember 2011
Sepotong Cerita Dari Serambi Mekah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar