Rabu, 28 September 2011

Gadis Kecil Itu Bernama Nur



Siang ini terik matahari seolah-olah sedang melihatkan kemarahanya. Panasnya menusuk sampai ke ubun-ubun, tapi gadis kecil itu tidak menghiraukannya sepertinya ia sudah terbiasa membakar diri di bawah panasnya matahari. Aku dapat melihat dari warna kulitnya yang melegam, ia terus menerobos jalan yang masih bertanah merah dengan membawa bakul yang berisi rambutan-rambutan yang telah memerah.
“Rambutan Kak!” Tawarnya saat berhenti di depanku.
“Berapa seikat Dik?” Tanyaku.
“Lima ribu dua ikat Kak.” Jawabnya sambil menyapu keringat yang mulai bercucuran di wajahnya.
Kuraih beberapa ikat rambutan miliknya kemudian kukeluarkan uang ribuan dari sakuku untuk kuserahkan kepadanya.
“Terima kasih Kak,” ucapnya dengan senyum yang merekah di wajahnya yang lesu dan menyusun kembali rambutan-rambutan yang masih terlihat banyak di dalam bakulnya.
“Saya permisi dulu Kak.” Lanjutnya kemudian berlalu dari pandanganku.
Sudah hampir dua minggu aku tinggal di Desa ini. Di sebuah desa yang terletak di sebuah pulau kecil di propinsi Riau yang di kelilingi oleh lautan. Dan sangat jauh dari hiruk pikuk kota. Aku berada di sini dengan beberapa teman untuk melaksanakan KKN salah satu SKS yang harus dilewati di bangku perkulihan. Selama aku berada di sini sosok gadis kecil itu menyorot perhatianku. Hari ini adalah pertemuan ke duaku dengannya, tapi aku belum juga mengetahui namanya kerena ia sepertinya terlalu sibuk dengan daganganya. Jika esok aku bertemu denganya lagi akan kutanya siapa namanya, ah bukan sekedar namanya saja, tapi aku ingin bercerita banyak denganya tentang kisah hidupnya yang membuat rasa penasaran berlari mengejarku.
***
“Selamat pagi anak-anak.” Sapaku saat memasuki sebuah kelas yang masih berlantaikan tanah.
“Selamat pagi Bu guru.” Jawab suara itu serempak.
Hari ini adalah hari pertamaku membantu menjadi tenaga pengajar di sebuah SD yang berada di Desa KKN ku. Kuperhatikan satu per satu wajah-wajah muridku namun tak kutemui wajah gadis kecil itu.
“Mungkin ia berada di kelas lain.” Pikirku karena dari postur tubuhnya aku sangat yakin ia masih menduduki bangku SD.
Saat jam istirahat kucari lagi wajah gadis kecil itu, tapi sama saja aku tak menjumpainya . Sampai berminggu-minggu aku juga tidak menemukan wajahnya. Bahkan saat siangpun ia tak pernah kulihat lagi lewat di depan poskoku membawa bakul yang berisi rambutan seperti siang-siang biasanya. Ah entah kenapa keinginan tahuku tentang gadis kecil itu kian memuncak. Senyum yang menghias wajah legamnya, tubuhnyanya yang ceking, dan sorot matanya yang teduh, terus melintas di benakku.
“Dimana kau gadis kecil?” Tanya hatiku.
***
Angin bertiup lembut ke arah barat seolah menunjukan jalan pulang pada mentari yang mulai menyembunyikan wajah bulatnya. Ombak menderu-derui di bibir pantai. Aku menatap setiap pemandangan yang berada di sekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terhenti saat kulihat dari kejahuan sosok gadis kecil itu menari di retinaku. Ia sedang membawa ikan di tangannya, di sampingnya ada seorang pemuda yang juga membawa beberapa ekor ikan.
“Dik…”Teriakku, tapi ia tak menoleh ke arahku.
“Dik…” Teriakku lagi sambil berlarian ke arahnya dengan napas seperti golombang yang pasang surut, tapi aku tak mampu mengejarnya. Ia telah menghilang dari pandanganku.
“Ah, aku gagal lagi bertemu denganya.” Sesalku.
Semenjak itu aku benar-benar tidak pernah menjumpainya lagi. Ia menghilang dengan rasa penasaran yang masih menari di pikaranku. Tapi hari ini di minggu terakhir aku menginjakkan kaki di desa ini. Aku tertegun saat mendapati wajah gadis kecil itu yang sedang berdiri di samping gedung sekolah dengan membawa bakul yang kali ini sepertinya bukan berisi rambutan lagi, tetapi sederet bakwan yang terlihat masih panas.
“Kok melamun.” Kejut Buk Reni salah satu guru yang dekat denganku.
“Eh, ada Buk Reni,” ucapku dengan pandangan yang masih tertuju pada gadis kecil itu.
“Ooo..kamu sedang memperhatikan gadis kecil itu?” Tabak Buk Reni.
“Memang Ibuk kenal? Tanyaku polos.
“Ya kenal lah, dulu kan dia murid Ibuk, tapi ketika baru memasuki kelas empat ia berhenti sekolah.” Jawab Buk Reni sendu.
“Kenapa ia berhenti Buk?” Tanyaku penasaran,
“ Setelah kedua orang tuanya meninggal saat mencari ikan di laut dan ia terpaksa berhenti sekolah kerana harus bekerja untuk mencari uang agar tetap bertahan hidup. Sekarang ia tinggal bersama seorang Abang dan dua orang adik-adiknya yang masih kecil, kalau hanya mengaharapkan penghasilan Abangnya yang hanya mencari ikan di laut tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
“Jadi pemuda yang pernah kulihat denganya itu adalah Abangnya.” Ingatanku kembali menembus pertemuan terakhir denganya.
“Ibuk sangat menyesalkan ia harus berhenti sekolah kerana ia termasuk salah anak yang pintar. Jika dulu ia ke sekolah menggunakan seragam sekolah dan membawa buku, tapi sekarang liahtlah!!” Lanjut Buk Reni dengan sorot mata yang menyisakan penyesalan.
Mendengarkan penjelasan Buk reni bening hangat di ujung mataku mengalir, terluah sudah rasa penasaranku yang memuncak. Perlahan kudekati gadis kecil itu.
“Bakwannya kak.” Tawarnya sambil memperlihatkan susunan bakwan yang berada di bakulnya.
“Kenapa tidak berjualan rambutan lagi Dik?” Tanyaku
“Buah rambutannya sudah habis kak.”
Kuambil beberapa potong bakwan miliknya, dan kuberikan ia tukar uang dua puluh ribua’an
“Kembaliannya di ambil aja Dik.”
“Terima kasih kak.”
“Oya, nama Adik siapa?”
“Nama saya Nur Kak.” Jawabnya dengan senyum yang membuat hatiku terasa ngilu.

Terbit di Xpresi Riau Pos

Selasa, 27 September 2011

Book Your Blog




Di zaman yang modern ini semuanya serba mudah dan canggih salah satu cara untuk berkominikasi adalah melewti dunia maya yang bernama internet, berbagai fasilitas telah di sediakan baik itu berupa Friendster, YM, facebook, blog. Dunia maya bukan hanya mempermudah komunikasi tetapi juga mempermudah menuangkan inspirasi dalam bentuk tulisan. Salah satunya adalah blog ruang untuk mencurahkan hati, mengexpresikan diri . Oleh karena itu bagi kamu yang memiliki blog Ayo ikutan ke lomba Book Your Blog . Bagi pemenang blog-nya akan dibukukan dan diterbitkan GRATIS oleh Leutika Prio Self Publishing, serta dipasarkan secara online. Ayo berbagi cerita serumu ke orang-orang dengan cara di bukukan.
Leutika Prio adalah lini self publishing dari Leutika Publisher yang menyediakan berbagai macam paket penerbitan dengan sistem mudah dan harga terjangkau (www.leutikaprio.com). Self Publishing merupakan alternatif baru menerbitkan buku dengan lebih praktis dan tanpa seleksi. Para penulis tidak perlu repot membuat cover, mengurus ISBN, dan teknis buku lainnya karena Leutika Prio menyediakan layanan edit aksara, cover, layout, ISBN dan konsultasi yang telah disusun pada paket-paket penerbitannya. Penulis juga tetap mendapatkan royalti sebesar 15% dari harga produksi. Misi dari penerbit ini adalah mengajak sebanyak mungkin orang untuk menulis dan berbagi inspirasi pada para pembaca.
Cara dan persyaratannya mudah banget!
Tulis “Book Your Blog” di judul e-mail.
Blog seperti apa yang bisa menang?
1. Inspiratif, berisi cerita-cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
2. Tidak mengandung SARA dan pornografi.
3. Berkarakter, konsisten berisi materi-materi yang terkonsep dan orisinil.
Apa Hadiahnya?
Dipilih 3 blog terbaik untuk mendapatkan:
1. Tulisan-tulisan di blog kamu akan diterbitkan GRATIS dalam bentuk buku oleh Leutika Prio
2. Royalti 15% dari harga produksi
3. Paket buku dari Leutika Publisher
Bagi yang belum terpilih tetap mendapatkan diskon paket penerbitan sebesar 20%.
Mudah kan!! Ayo buruan ikutan!!!
Deadline : 30 September 2011
Web: www.leutikaprio.com
Twitter: @leutikaprio
Fanpage Fb: www.facebook.com/leutikaprio

Senin, 26 September 2011

Ibuku Wanita Luar Biasa




Luar biasa hanya kata-kata itu yang pantas kuucapkan untuk wanita yang berstatus Ibu kandungku. Seinci demi seinci kuperhatikan tubuh milik Ibu yang semakin hari semakin kurus dengan kelopak bawah matanya yang menghitam tanda jarang tidur. Wajahnya yang mulai keriput dimakan usianya yang telah memasuki lima puluh tahun. Dan urat-urat tangan yang bertonjolan yang selalu ia gunakan untuk mengayunkan cangkul menggarap beberapa petak sawah peninggalan Nenek di bawah terik matahari yang membakar kulit. Semenjak empat tahun yang lalu setelah Ayah meninggal Ibu harus bekerja keras mengerjakan sawah dan juga berjualan sayur-sayuran di pasar untuk memenuhi kebutuhan kami dan juga untuk biaya sekolah aku dan adikku. Tak pernah kulihat raut lelah di wajahnya walaupun nayris setiap waktu Ibu gunakan untuk bekerja, mulai dari terbangun matahari sampai matahari terlelap kembali Ibu tidak pernah berhenti. Dari cerita yang pernah kudengar dari saudara-saudara Ibu, Ibu bekerja keras bukan hanya setelah Ayah meninggal, tapi sejak kecil Ibu sudah terbiasa bekerja keras. Dulu saat teman-teman seusia Ibu sibuk memetik ilmu di bangku Sekolah, sedangkan Ibu sibuk pula mengembala kerbau dan membantu Nenek dan Kakek di sawah. Pernah kutanya kenapa dulu Ibu tidak ingin Sekolah.
“Nak, jika dulu Ibu sekolah tentu hari ini saudara-saudara Ibu tidak ada yang berstatus PNS.” Jawab Ibu dengan sorot mata keikhlasan yang membuat rasa kagum berdecak dalam jiwaku.
Ibu adalah anak ketiga dari Sembilan bersaudara dan diantara saudara-saudara Ibu hanya Ibu sendirilah yang tidak berstatus PNS karena dulunya Ibu memilih berhenti sekolah saat masih menduduki bangku SD. Kemudian memutuskan untuk membantu perekonomian keluarga Ibu yang memang termasuk sulit saat itu. Ibu Mengorbankan masa depannya hanya untuk melihat senyum bahagia teukir di wajah Adik-adik dan Kakaknya dengan menjadi orang-orang yang berhasil di hari esok. Pengorbanan yang telah dilakukan Ibu membuahkan hasil semua saudara Ibu menjadi orang-orang sukses yang rata-rata memiliki perekonomian lebih. Dan pengorbanan itu juga tak diabaikan begitu saja. Saudara-saudara Ibu tidak pernah melupakan pengorbanan yang telah dilakukan Ibu. Walaupun kami hidup sangat sederhana, tapi kami tidak pernah merasa kekurangan. Ini semua adalah berkat dari bantuan keluarga Ibu .Mulai dari membantu kebutuhan hidup kami sampai biaya sekolah. Hingga hari ini aku dan adikku bisa mencicipi pendidikan sampai di bangku perkuliahan dengan fasilitas yang membuat kami tidak pernah merasa kekurangan. Dan tak pernah juga kulihat sorot sesal yang terpancar di bola mata Ibu atas keputusan yang telah ia pilih beberapa tahun yang lalu, melainkan aku selalu melihat senyum tulus yang merona di wajah Ibu yang tirus. Sungguh beruntungnya aku lahir dari rahim wanita seperti Ibu dengan milyaran pengorbanan yang jika dibayar dengan sehelai napaspun tak akan cukup. Dan betapa salut dan bangganya aku mempunyai Ibu yang luar biasa yang memiliki keindahan hati yang tak akan pernah kutemui di hati wanita lain. Siapapun itu.

Minggu, 25 September 2011

Jawaban September




Ini tentang kisahku yang telah kututup rapat di lembaran kenangan dan hari ini akan kubuka kembali untuk kutulis pada selembar diary hati agar aku selalu ingat bahwa aku pernah melewati episode terberat dalam hidupku.
Empat tahun yang lalu aku mengenalnya, lelaki yang pernah kuletakkan di tempat istimewa di hatiku. Ketika itu aku masih menggunakan seragam putih abu-abu. Aku mengenalnya dari salah seorang sahabatku yang dulunya pernah satu SMP dengannya.Perkenalan kami tidak terjadi secara langsung hanya melalui media komunikasi bernama Hp dulu aku belum mengenal Friendster, facebook, Blog, maupun media komunikasi maya lainnya. Awalnya hanya sekadar iseng aku mengirimkan sebuah pesan singkat ke no hp nya. Menanyakan identitas dan bertukar cerita tentang sekolah karena kami beda sekolah. Dia bersekolah di SMAN satu sedangkan aku bersekolah di salah satu SMA Swasta. Kemudian komunikasi kami terus berlanjut. Di mataku dia adalah sosok lelaki yang lembut dan bijaksana. Karena itulah persahabatan bisa terjalin di antara kami. Hanya sebatas sahabat yang awalnya hanya cerita tentang sekolah, agama, kemudian berlanjut ke curhat curhatan. Hubungan kami semakin dekat,aku tahu ini salah. Mungkin saat itu aku belum terlalu paham tentang hijab walaupun aku telah menggunakan jilbab besar. Hingga tanpa aku sadari ada rasa yang mulai tumbuh walaupun saat itu kami belum pernah berjumpa. Sebagai seorang akhwat aku mulai merasa bersalah dengan rasa yang kutanam yang belum pada saatnya. Dan rasa bersalah itu kian menghantuiku setelah aku tahu dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Namun dia tidak pernah menggoda ataupun merayuku untuk berpacaran dengannya karena walaupun ia bukan seorang ikhwan hanya seorang lelaki hanif yang sangat paham dengan prinsipku bahwa tidak ada pacaran sebelum pernikahan. Bahkan dia merasa sangat bersalah denganku. Di antara aku dan dia tidak pernah ada janji akan bertemu kembali di masa depan karena kami sama-sama tahu bahwa lelaki yang baik pasti untuk wanita yang baik pula. Kami sama-sama untuk memutuskan komunikasi. Perih itulah yang kurasakan saat itu dan akan semakin perih lagi jika aku terus melanjutkan komunikasi dengannya. Yang bisa kulakukan hanya memohon ampun kepada Allah dan meminta agar rasa itu segera redup di hatiku. Kubiarkan waktu yang menjawab kisah ini. Dan September telah menjawab kisah kami dengan sebuah luka yang hari ini darahnya telah mengering.
Hari itu ketika aku berkunjung di sekolahnya untuk mengambil STTB Allah mempertemukan kami. Sebelumnya kami juga sudah pernah bertemu beberapa kali, tapi tidak untuk berdua saja. Ada orang ketiga ataupun ke empat dan hanya beberapa menit saja untuk saling mengenal wajah. Hari itu entah kenapa dia terlalu ramah denganku seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Sedangkan aku begitu dingin dengannya. Acuh tak acuh sampai berpamitan pulangpun aku tidak memperdulikannya. Aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku ketika bertemu denganya. Setelah beberapa jam dari pertemuan kami itu aku mendapatkan sebuah pesan dari salah seorang sahabat dekatnya.
“Ema, Rio kecelakaan, kondisinya parah sekarang sudah berada Di UGD rumah sakit Pekanbaru.” Seketika air mataku mengalir begitu saja saat membaca sms itu. Berjuta gelisah berkecamuk di pikranku.
Keesokan harinya aku datang mengunjunginya. Aku kuatkan kakiku agar tidak jatuh saat kulihat kondisinya yang begitu menyedihkan. Kusimpan air mataku erat saat kutahu ia mengalami koma, tak terbayang olehku sakit yang ia tahan. Setiap malam kurimkan doa untuknya agar Allah sentiasa menjagamu. Dan memberi kesembuhan kepadanya. Tapi ketika tanggal lima September 2008 tepatnya masih di awal-awal Ramadhon , Allah berkehendak lain. Allah memanggilnya untuk selama-lamanya. Dan aku tersayat oleh luka yang kuraskan begitu perih. Berbulan-bulan aku tertatih untuk melupakan kisah yang pernah terukir dengannya. Dan menemukan kembali kepingan hatiku yang tercecer. Sampai suatu hari aku bertemu dengan peri itu, seorang senior yang mengajarkan aku tentang ikhlas mencintai karena Allah.
“Dik, dia yang Allah ambil adalah bukti cinta Allah kepada adik, cintai dia karena Allah dik dengan tidak harus memilikinya. Dia sudah bahagia di sana dik, ikhlaskanlah!!!”
Kata-kata seniorku itu seperti menyentak-nyentak hatiku. Apa yang dikatakannya benar. Jika saja hari ini masih hidup tidak tahu apa yang akan terjadi apa mungkin aku masih sanggup untuk mengurung rasa yang pernah kutanam. Luka September adalah jawaban kisah kami yang membuat aku semakin kuat. Lihatlah hari ini aku telah kembali dengan senyum yang merekah, semangat yang menyala, dan mimpi yang mulai bersinar. Terima kasih telah pernah hadir dalam episode hidupku. Semoga sakit yang kau rasakan selama hampir dua bulan menjadi penggugurmu dosa-dosamu. Dan ramdhon yang memilihmu menjadikanmu orang-orang yang terpilih di sisiNya. Sungguh aku hanya ingin mencintaimu karena Allah.

Sabtu, 10 September 2011

Spenggal Kisah Di Kepenuhan Jaya


Di luar mendung begitu pekat seolah ikut menyelusup ke dalam rasaku.
“Kita nggak jadi pulang!!!!” Teriakan Pendi salah satu teman satu posko denganku menambah gundah di hatiku.
“Hari ini harus pulang.” Tegasku dalam hati, dengan bayangan kampung halaman yang terus melintas di benakku.
Hampir dua bulan sudah aku berada di sini. Melaksanakan KKN. Di sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian, namun jaya seperti namanya Kepenuhan Jaya.
Ingatanku kembali saat pertama kali aku menginjakkan kaki di desa ini. Ingin nangis. Itu kesan pertamaku. Bagaimana tidak nangis hampir satu hariaan menempuh perjalan jauh dengan debu-debu yang sudah melumuri dari ujung kepala sampai ujung kaki karena jalan menuju desa Kepenuhan Jaya belum beraspal. Jika musim kemarau harus rela bermandikan debu. Bukan hanya masalah debu, tapi juga sulit air. Jangankan untuk mandi, air untuk wudhuk saja harus menempuh hutan sawit dulu. Masih ku ingat hari pertama kami di sini, aku dan empat orang teman cewek lainya berubah menjadi wanita tangguh nan berani, bayangkan saja jam 4.00 pagi kami mandi di sebuah sumur yang harus melewati sawit-sawit. Tidak ada lagi rasa takut yang kami pikirkan saat itu hanya air, air, dan air. Inilah namanya the power of kepepet.
Seminggu sudah hari yang kulewati di sana, tapi wajahku masih tetap murung, sedih, jenuh,dan yang kupikirkan hanya pulang,pulang, dan pulang. Opss ada satu hal yang terlupakan, di sana selain susah air, susah jalan, dan juga susah sinyal jadi lengkaplah penderitaanku. Aku harus berlarian dulu ke bawah pohon sawit untuk sekedar menelpon atau membalas sms.
Memasuki minggu ke dua, persaanku masih tetap sama tidak berubah. Malah aku yang biasanya jarang menitikkan air mata saat curhat, tapi kali ini aku menangis saat seperti anak kecil saat menelpon dengan senior-seniorku. Aku lupa kalau saat itu,aku sudah berumur 21 tahun.
Memasuki pertengahan minggu ke dua ada sedikit perubahan karena sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat sana yang sangat bersahabat karena rata-rata adalah orang jawa yang sudah sangat terkenal dengan keramahan dan kelembutan. Kami mulai ikut berpartisipasi dengan kegiatan masyarakat sana. Mulai dari yasinan, sholawat nabi, belajar rebbana sampai menjadi tenaga pengajar di beberapa Sekolah yang berada di sana. Aku yang awalnya tidak begitu suka dengan anak-anak, tapi entah kenapa di sana bisa menjadi keibu’an dadakan. Melihat tawa mereka,kepolosan mereka, dan juga mendengarkan celoteh tentang mimpi-mimpi mereka.
“Aku bisa, kamu bisa, dan kita luar biasa.” Kata-kata inilah yang selalu kami ucapkan bersama saat kami bercerita tentang mimpi. Kata-kata yang kudapatkan saat mengikuti training motivsi. Dan kuceritakan juga kepada mereka tentang laskar pelangi karena aku berharap suatu hari nanti diantara meraka ada yang mengikuti jejak Aray salah satu tokoh di laskar pelangi.
Semenjak mengenal mereka, pelangi kecilku (murid-muridku). Ada warna baru yang hadir dalam jiwaku ternyata aku bisa juga menjadi dewasa. Saat sabar mengadapi kebandelan mereka, meleraikan saat mereka berantem. Memberikan secercah harap untuk mereka berani bermimpi, meminjamkan pundakku dan menghapus air mata mereka saat mereka bersedih.
KKN, bukan hanya pelangi saja yang aku jumpai, tapi juga sebuah ukuwah yang terjalin di antara kami 10 Ng, Ngarim, Ngabdul, Ngelva, Ngema, Ngepen, Ngedeb, Ngeka, Ngedha, Ngeni,dan Ngemet.Nama pemberian kordes sebagai bukti bahwa kami adalah kelompok ngenge (Ketawa) yang menandakan kami selalu bahagia. Walaupun mengakibatkan kekeringan pada gigi. Awalnya di minggu pertama di posko, aku masih tampil kalem ( kayak lembu kali ya), minggu kedua masih ngirit bicara,tapi saat memasuki minggu ketiga mulai deh terlihat wujud asli (sedikit eror, sedikit lola, dan sedikit culun). Banyak hari yang kami lewati bersama. Mulai dari hal yang sangat menyedihkan,menyebalkan, bahagia sampai yang mememasak bubur kacang merah di campur bawah putih, ini mah masakan si koki selamat yang ujung-ujung aku yang jadi korban yang memang bermasalah dengan perut. Tapi diantara kami tidak ada yang terserang virus strawberry, virus yang selalu menyerang mahasiswa KKN, tetapi tidak untuk kelompok kami karena kami adalah saudara. Saudara saat mendapat omelan dari Ibu Pkk karena kami tidak bisa menghadiri undangnya di karnakan seharian kami belum mandi karena tidak menjumpai air. Saudara saat piket bersama dengan makan apa adanya walaupun kadang ada yang gosong, saudara saat pulang bersama dari kecamatan seperti pulang dari sawah bermandikan lumpur karena hujan, dan kami harus berguling dengan motor melewati jalan yang licin.Saudara saat kegiatan kami mendapat protes dari warga. Saudara saat kami setiap sore harus cek sumur dari satu rumah ke rumah yang lain untuk kami bisa mandi, saudara saat kami harus sama-sama menguatkan hati katika mendapatkan tekanan dari mantan pskibraka dalam melaksanakan upacara 17 Agustus. Dan Saudara saat kami di bulan romadhon bersama-sama keliling kampung. Menuju satu mesjid ke mesjid lain,menuju satu musolah ke musolah yang lain untuk memberikan santapan rohani.Diantara lima Desa yang berada di kecamatan kami, Desa kamilah yang paling ujung dan paling menyedihkan, tapi desa kami pula yang paling aktif dan paling kaya. Bagaimana tidak kaya saat teman-teman di Desa yang lain sibuk mepersiapkan kompor, kasur, tikar untuk di bawa ke tempat KKN sedangkan kami hanya membawa tas baju karena semua kebutuhan kami sudah di sediakan oleh Kades. Saat teman-teman di desa yang lain sibuk iuran untuk acara kegiatan. Sedangkan kami tidak perlu menguras uang dari kantong pribadi karena sudah di sediakan oleh Desa. Malah kas kami bisa untuk bagi-bagi THR. Biarkan saja susah air, susah jalan, susah sinyal yang penting desanya jaya dan kaya.
“Suasana seperti ini lebih terasa KKNnya.” Komentar salah seorang teman seposkoku saat kami mengeluhkan kondisi Desa kami yang sangat memperhatinkan. Ternyata benar,KKN nya lebih terasa. Banyak pengalaman, banyak inspirasi, dan banyak hikmah yang dapat aku bawa pulang. Salah satunya adalah syukur. Karena tinggal di tempat yang banyak air,tidak perlu keliling kampung dulu untuk mencari sumur.Jaringan bagus tidak perlu ke atas sawit dulu untuk mencari sinyal,Jalannya bagus tidak akan ada debu saat musim kemarau, tidak perlu menggunakan sepatu both ataupun bergulingan dengan motor saat musim hujan. Dan juga syukur karena mendapatkan pengalaman yang jika di ceritakan tujuh turunan tidak ada habis-habisnya.
***
“Ema nggak jadi pulang.” Ejek Pendi yang sepertinya senang melihat kegundahanku. Temanku yang satu memang sedikit usil.
Tapi beberapa menit kemudian sebuah mobil xenia parkir di depan posko kami.
“Kita jadi pulang.” Teriak Elva girang.teman yang selalu berbagi ngenge denganku.kadang tidak jelas alasan kami ketawa hanya karena salah mengucapkan kata, atau berbicara berulang kali. Apalagi jika di tambah dengan si Arim. Hmm…mungkin ada melipat jidad melihat kami (memang sedikit aneh).
Seulas senyum mengembang di wajahku, tapi senyumku tiba-tiba layu saat kudengar sebait kalimat dari Roza salah satu adik yang dekat denganku.
“Kakak, jadi pulang?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“InsyaAllah jadi dik.” Jawabku berusaha tersenyum ke arahnya.
Ia hanya menunduk.
Kuserahkan beberapa amplop untuknya yang berisi foto dan selembar surat cinta. Aku tahu kenang-kenangan dariku tak sebanding dangan kado-kado dan surat cinta yang telah ia dan teman-temannya berikan untukku.
“Kakak titip untuk teman-teman yang lain ya dik.” Ucapku kerana hanya dia dan beberapa temannya yang datang, karena hari hujan tidak banyak yang melihat kepergian kami. Coba saja tidak hujan mungkin akan terjadi banjir di musim kemarau. Banjir air mata melepaskan kepergiaan kami.
Sekitar jam 12.30 mobil xenia yang akan mengantarkan kami pulang ke kampung halaman meluncur di jalan.
“Selamat tinggal kepenuhan jaya. Aku pulang membawa kotak inspirasi dengan sejuta pengalaman yang sangat berharga.” Ujar batinku dengan hati yang terasa sedikit ngilu.

***
Kak Ema, kapan kesini?
Kak Ema, kalau kesini lagi jangan lupa bawa O2!
Kak Ema, aku kangen sama kakak
Kak Ema, cepat pulang ya kak!
Itulah beberapa kalimat yang selalu di ucapkan pelangi kecilku setiap kali menelpon, yang kadang menyebabkan sungai kecil di pelupuk mataku mengalir mengingat berjuta kenangan yang pernah kami ukir bersama.
Suatu hati nanti kakak akan kesana dek, membawa Oleh-oleh sebuah undangan berwarna merah hati seperti yang pernah kakak janjikan kepada kalian. ^_^

Jumat, 09 September 2011

Sebutir Rindu Untuk Kakak





Aku menatap setiap sudut ruang kostku, namun tak kujumpai lagi sosok lembut bermata teduh itu.Kak Ayu begitu aku memanggilnya. Hampir tiga tahun lebih aku mengenalnya, bagiku dia bukan hanya sekedar kakak, tapi seorang peri yang di utus tuhan untuk menemani hari-hariku yang perih. Walaupun usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Darinya aku mengenal kasih sayang dan darinya juga aku tidak merasa sendiri di dunia ini.
Sejak pertama kali aku membuka mata menatap dunia aku tidak pernah mengenal sosok wanita bernama Ibu karena Ibu meninggal saat melahirkanku. Sedangkan Ayah? Ah lelaki itu yang terus menorah pilu di ulu hatiku. Ayah yang seharusnya menjadi pahlawan untukku seperti yang selalu di ceritakan oleh teman-teman seusiaku. Tempat aku mengadu resah, tempat aku bermanja, dan tempat aku berbagi cerita. Tapi itu tak pernah kudapatkan dari sosok Ayah malah sebaliknya, aku hanya mendapatkan cacian dan makian dari Ayah. Ayah membenciku karena Ayah menyangka akulah penyebab kematian Ibu, wanita yang sangat ia cintai. Ketika aku berumur 11 tahun Ayah menikah lagi dan tidak pernah memperdulikanku lagi. Duniaku benar-benar sepi dan luka. Hanya dengan uang pensiun Ibulah aku mampu bertahan hidup. Sampai aku memasuki kelas dua SMP, aku di pertemukan dengan Kak Ayu, satu-satunya orang yang sangat peduli denganku, dia lah satu-satunya orang yang mengagap kehadiranku di dunia ini, yang melukiskan warna di lembaran hidupku yang kosong.
“Adik,wanita itu harus kuat.” Tegurnya saat mendapatiku sedang menangis sendirian di taman sekolah.
Kuhapus bulir-bulir bening yang mengalir ke pipiku sambil menoleh ke arahnya.
Seulas senyum mengembang di wajahnya.
“Siapa namanya dik?” Tanyanya.
“Yuyun.”Jawabku sambil menjabat uluran tangannya.
Itulah awal dari pertemuan kami. Pertemuan kami terus berlanjut karena ternyata dia adalah seniorku yang baru pindah sekolah. Seiring berjalan waktu persahabatan mulai tumbuh di antara kami hingga kami di pertemukan kembali di sebuah SMA yang sama. Aku mulai terbuka denganya. Kuceritakan tentang kisahku kepadanya.
“Adik, jangan pernah merasa sendiri, masih ada Allah yang menyayangi adik, dan masih ada kakak yang sangat menyayangi adik.” Nasehatnya sambil merangkulku erat seolah ikut meraskan lukaku yang menganga.
Kemudian ia mengajakku tinggal bersamanya di sebuah kost yang sederhana.Semenjak itu lah kami merangkai cerita bersama seindah pelangi. Aku mulai tahu bagaimana caranya untuk tersenyum. Sebaris warna yang ia tawarkan sungguh membuat aku mengenali arti bahagia.walaupun persahabatan kami hanya terjalin selama tiga tahun lebih.
“Kak, bisakah kakak tetap di sini?” Tanyaku dengan air mata yang menggenang.
“Adik, walaupun kakak jauh, tapi adik akan tetap selalu di sini,” Jawabnya sambil meletakkan jemarinya di atas dadanya.
Kak Ayu lulus di salah satu Universitas ternama di luar propinsiku. Dan aku harus melepaskan kepergian Kak Ayu demi sebuah cita-cita.
Kutatap kembali di setiap sudut ruang kostku. Ruang aku dan Kak Ayu pernah mengukir kenangan bersama. Rindu mulai mengoyak hatiku yang berakhir sungai kecil di pelupuk mataku. Tiba-tiba hpku bergetar.
Dik, wanita itu harus kuat
Sebuah pesan singkat dari Kak Ayu sama persis seperti kata-kata yang ia ucapakan saat pertama kali kami bertemu.
Kutitipkan sebutir rindu untukmu kak
Balasku dengan senyum yang kusunggingkan.

Minggu, 04 September 2011

Untukmu warna baru hidupku



Adikku bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kau selalu berada dalam keadaan yang luar biasa. Seperti mana yang selalu kita ucapkan setiap kali kita bertatap muka
Adikku saat adik membaca surat ini mungkin kakak sudah tidak di sini lagi. Dan entah kapan kita bisa bertemu lagi. Tapi yakinlah persahabatan yang terjalin karena Allah tidak akan pernah putus karena hati kita telah menyatu dalam sebuah ukuwah dan jika berpisah syurgalah nanti yang akan mempertemukan kita
Adikku bisa berkenalan dengan kalian adalah anugrah terindah untukku kakak. Ada sesuatu yang baru kakak temui dalam jiwa kakak. Dari kalian kakak belajar menyeyangi, dari kalian kakak belajar dewasa, dari kalian kakak belajar berbagi, dari kalian kakak belajar menjadi seorang ibu. Adikku kalian adalah seribu pelangi yang memberikan warna baru dalam hidup kakak.
Adikku tak ada lagi yang bisa kakak ucapkan selain rasa syukur dan ribuan terima kasih karena Allah mempertemukan kakak dengan kalian. Adikku kakak hanya ingin berpesan kepada kalian jika sudah dewasa nanti, jadilah seperti bunga mawar yang ada di tepi jurang. Indah, namun susah di jangkau. Dan hanya orang-orang tertentu aja yang bisa meraihnya. Jadilah adik-adik kakak yang sholeh. Menyejukkan hati orang tua dan menyenangkan hati sahabat-sahabatmu.karena adikku Rasullah pernah bersabda” dunia adalah perhiasan dan seindah-indahnya perhiasan adalah wanita sholehah” semoga engkaulah salah satu perhiasan teindah itu.
Adikku bermimpi dan bercita-citalah setinggi angkasa. Karena hidup tanpa mimpi dan cita-cita kita ibarat ruh yang berjalan tanpa jiwa. Jangan takut bermimpi ada Allah yang akan memeluk mimpi-mimpimu. Jika suatu nanti kakak berkunjung ke sini kakak ingin melihat kalian sudah menjadi orang luar biasa, orang hebat. Kakak tidak ingin mendengar ada yang putus sekolah.
Adikku terima kasih atas surat cinta yang telah kau tulis dengan tinta ketulusan. Terima kasih atas kado-kado yang telah kau bungkus dengan keikhlasan. Maaf , kakak hanya bisa memberikan selembar surat cinta ini untukmu sebagai kenang-kenangan agar kalian selalu ingat bahwa kakak pernah menjadi warna dalam hidupmu.
Adikku sekarang kakak akan pulang membawa kotak inspirasi dengan sejuta pengelaman yang akan membuat kakak semakin dewasa. Walau jarak memisahkan kita tapi hati kita akan tetap dekat karena adik-adik akan sentiasa hidup dalam cerita kakak. Tersenyum dalam doa-doa kakak.

Sabtu, 03 September 2011

Wanita Bening



Ayu Anggraini, wanita bening yang kukenal tiga tahun yang lalu masih tersusun rapi di ruang hatiku. Walaupun aku tidak pernah lagi bertemu dengannya . Sepenggal kisah tiga tahun yang lalu seolah menari kembali di pelupuk mataku.
“Mbak, aku menyukaimu.” Tiba-tiba saja ucapan itu terlontar dari bibirku.
“Mbak juga menyukaimu, karena kamu adalah anak yang baik.” Jawabnya sambil menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali menatap layar laptopnya.
“Mbak, aku menyukaimu bukan seperti aku menyukai seorang guru, tapi aku menyukaimu seperti seorang lelaki yang menyukai perempuan.” Lanjutku meluahkan rasa yang telah lama kupendam sejak pertama kali aku mengenalnya.
“Andis…” kulihat raut kaget dari wajahnya.
“Bolehkah aku mencintaimu Mbak?”
Hening
Ia hanya diam, kali ini tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
Hanya dalam hitungan menit, tiba-tiba ia pergi begitu saja dengan diam seribu bahasa.
Sejak itulah sikapnya mulai berubah. Dia selalu menghindar dariku sampai perpisahan itu hadir, dia masih tak ingin berbicara denganku, hanya sepucuk surat yang ia tinggalkan.
Dik Andis maafkan Mbak jika sikap Mbak tidak seramah dulu karena Mbak tidak ingin dik Andis mempunyai perasaan lebih kepada Mbak. Sampai kapanpun Mbak akan tetap menjadi Mbak untuk dik Andis, begitupun Andis akan tetap menjadi adik selamanya.
Sederet kalimat surat darinya seperti duri yang menusuk hatiku. Tidak ada sedikitpun cela harapan ia berikan untukku. Masih saja ia mengagapku sebagai seorang adik padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Ya umur kami hanya terpaut tiga tahun. Aku menyuakinya ketika aku baru memasuki umur 17 tahun sedangkan dia ketika itu masih berumur 20 tahun. Dia adalah wanita yang pertama kali kusukai karena hanya dia satu-satunya orang yang mengagapku ada.
“Banci…Banci…Banci…” teriakan itu sudah biasa kudengarkan sejak aku menduduki bangku SD. Semua teman-teman yang seumuran denganku mengagapku seorang banci, karena memang karekterku seperti seorang cewek. Sejak kecil aku tidak suka bermain bola, tidak suka berpergian jauh, tidak suka panas, dan tidak suka berantem seperti yang dilakukan oleh anak-anak lelaki seumuran denganku. Aku lebih suka bermain dengan perempuan. Bermain boneka, berlatih rebbana, bermain masak-masak, tapi itupun tidak lama kerena teman-teman peremuanku tidak ingin mengajak seorang lelaki bermain dengan mereka. Dan satu-satunya teman bermainku adalah Ibu. Wanita lembut yang sangat mengerti dengan kondisiku. Sedangkan Ayah tidak pernah peduli terhadapku karena aku adalah anak yang tak diinginkan Ayah.
Dulu saat Ibu mengandung, Ayah sangat berharap yang lahir adalah anak perempuan, tapi kenyataan berkata lain yang lahir adalah anak lelaki. Ayah sangat kecewa dengan kehadiranku. Hingga aku tidak bisa dekat dengan Ayah. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, yang kuraskan hanya kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi kasih sayang itu tak bisa kuraskan lagi ketika aku mendudki kelas 2 SMPN. Ibu meninggalkanku untuk selamanya. Hanya tinggal aku dengan duniaku yang sepi tanpa warna. Hingga kemudian wanita bening itu hadir menawarkan warna baru dalam hidupku.
“Assalamu’alaikum.” Sapanya lembut saat aku duduk sendirian di taman sekolah.
“Waalaikumsalam.” Jawabku menoleh ke arahnya
“Boleh duduk di sini?”
“Boleh.” Jawabku sambil mengahapus bulir-bulir hangat yang mengalir ke pipiku.
“Kenapa menangis?” Tanyanya lagi.
Aku tak menjawab.
“Lelaki itu harus kuat, tidak boleh cengeng,” tegurnya.
Seulas senyum mengembang di wajahku dengan hati yang mulai terasa hangat. Karena baru pertama kalinya wanita yang peduli denganku setelah kepergiaan Ibu.
“Nah, gitu donk! Siapa namanya dik?”
“Andis Kurniawan.” Jawabku sambil mengulurkan tanganku.
Ia hanya tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangannnya ke arahku. Mungkin tanganku kotor, makanya ia tidak menjabat tanganku, pikirku saat itu.
Itu lah pertemuan pertamaku dengannya. Kemudian pertemuan kami terus berlanjut setalah kutahu dia adalah guru sementaraku. Dia adalah mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN di desaku. Walaupun hanya sementara, tapi ia mampu merubah hidupku. Semakin lama aku mengenalnya semakin berdecak pula kekagumanku kepadanya. Dimataku dia sangat anggun dengan jilbab lebar yang selalu ia gunakan untuk menutupi rambutnya sehingga tak sehelai rambutpun pernah kulihat walaupun saat aku berkunjung ke poskonya. Bahkan telapak kakinya pun tak pernah kulihat karena selalu di tutupi dengan kaus kaki. Bukan hanya itu dia juga tidak pernah bersentuhan denganku, menatapku lama. Walaupun saat itu aku tidak tahu kenapa dia harus berpenampilan dan bersikap seperti itu, tapi aku semakin menyukainya. Dia berbeda dengan wanita-wanita lain.
“Mbak ingin suatu hari nanti Andis menjadi lelaki sejati.” Kata-kata itu yang selalu ia ucapkan setiap kali bertemu denganku.
Dan kata-kata itulah yang telah membawaku menjadi lelaki sejati. Tidak ada lagi kudengar teriakan yang mengatakan seorang Andis adalah banci. Tapi salam persahabatan dan pujian kekaguman yang selalu kudapatkan sebagai aktivis kampus yang sudah dua taun di amanhakan sebagai gubernur fakultas. Semenjak di bangku perkulihan aku melibatkan diri dengan organisasi keislaman hingga merubahku menjadi lelaki sejati, bukan lelaki, tapi seorang ikhwan. Aku mulai tahu kenapa dulu Mbak Ayu tidak ingin bersentuhan denganku, tidak ingin menatapku, menghindar dariku setalah ia tahu persaanku karena dia ingin menjaga kesuciaannya. Tidak salah jika aku memanggilnya wanita bening.
Ayu Anggraini, nama itu terus melintas di benakku. Aku tahu tidak seharusnya kubiarkan rindu ini berkembang, aku harus segera mengakhirinya. Besok aku akan menjumpainnya dan meminta ia mau menjadi istriku. Tabungan hasil dari usaha rental computer yang telah kubangun hampir dua tahun kurasa cukup untuk biaya pernikahanku dan juga kebutuhan kami nantinya. Masalah umur aku tidak peduli, bukankah Rasullah menikahi khadijah dengan jarak umur yang sangat jauh. Aku telah siap untuk membimbingnya.
***
Matahari masih terasa hangat. Kulirik jam yang ada di pergelangan tanganku telah menunjukkan jam 9.00. Aku rapikan lagi penampilanku dengan kaca mata minus yang membuatku terlihat semakin beribawa. Aku telah siap berangkat menuju alamat yang kudapat dari salah seorang sahabat. Untuk menjemputmu wanita bening.
“Assalmu’alaikum.” Sapa Bang Arman, senior sekaligus murobbi yang telah mengenalkanku pada Kaffahnya islam.
“Walaikumslam.”
“Mau kemana antum rapi-rapi begini?”
“Ada sedikit agenda Bang.” Jawabku dengan senyum yang merona.
“Ada apa Bang?”
“ini ana cuma mau kasih undangan,” ucapnya sambil mengeluarkan undangan berwarna merah hati.
“Wah, udah mau menikah ya Bang, siapa akhwatnya Bang?”
“Antum baca aja sendiri namanya,” jawabnya dengan senyum yang tak kalah merona dengan senyumku.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak saat kudapati nama Ayu Anggraini yang tertera di dalam undangan.
“Antum bisa datangkan?” Kejut Bang Arman.
“Ya insyaAllah.” Jawabku gugup.
“Bang, ana ke kamar mandi dulu ya?” Aku pergi meninggalkan Bang Arman yang terlihat bingung melihat perubahan sikapku.
Kubuka kembali undangan berwarna merah hati itu.
Arman Maulan ST dan Ayu Anggraini Spd
Hatiku kembali ditusuk seribu duri, kali ini lebih perih dibandingkan tiga tahun yang lalu.