Sabtu, 03 September 2011

Wanita Bening



Ayu Anggraini, wanita bening yang kukenal tiga tahun yang lalu masih tersusun rapi di ruang hatiku. Walaupun aku tidak pernah lagi bertemu dengannya . Sepenggal kisah tiga tahun yang lalu seolah menari kembali di pelupuk mataku.
“Mbak, aku menyukaimu.” Tiba-tiba saja ucapan itu terlontar dari bibirku.
“Mbak juga menyukaimu, karena kamu adalah anak yang baik.” Jawabnya sambil menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali menatap layar laptopnya.
“Mbak, aku menyukaimu bukan seperti aku menyukai seorang guru, tapi aku menyukaimu seperti seorang lelaki yang menyukai perempuan.” Lanjutku meluahkan rasa yang telah lama kupendam sejak pertama kali aku mengenalnya.
“Andis…” kulihat raut kaget dari wajahnya.
“Bolehkah aku mencintaimu Mbak?”
Hening
Ia hanya diam, kali ini tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
Hanya dalam hitungan menit, tiba-tiba ia pergi begitu saja dengan diam seribu bahasa.
Sejak itulah sikapnya mulai berubah. Dia selalu menghindar dariku sampai perpisahan itu hadir, dia masih tak ingin berbicara denganku, hanya sepucuk surat yang ia tinggalkan.
Dik Andis maafkan Mbak jika sikap Mbak tidak seramah dulu karena Mbak tidak ingin dik Andis mempunyai perasaan lebih kepada Mbak. Sampai kapanpun Mbak akan tetap menjadi Mbak untuk dik Andis, begitupun Andis akan tetap menjadi adik selamanya.
Sederet kalimat surat darinya seperti duri yang menusuk hatiku. Tidak ada sedikitpun cela harapan ia berikan untukku. Masih saja ia mengagapku sebagai seorang adik padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Ya umur kami hanya terpaut tiga tahun. Aku menyuakinya ketika aku baru memasuki umur 17 tahun sedangkan dia ketika itu masih berumur 20 tahun. Dia adalah wanita yang pertama kali kusukai karena hanya dia satu-satunya orang yang mengagapku ada.
“Banci…Banci…Banci…” teriakan itu sudah biasa kudengarkan sejak aku menduduki bangku SD. Semua teman-teman yang seumuran denganku mengagapku seorang banci, karena memang karekterku seperti seorang cewek. Sejak kecil aku tidak suka bermain bola, tidak suka berpergian jauh, tidak suka panas, dan tidak suka berantem seperti yang dilakukan oleh anak-anak lelaki seumuran denganku. Aku lebih suka bermain dengan perempuan. Bermain boneka, berlatih rebbana, bermain masak-masak, tapi itupun tidak lama kerena teman-teman peremuanku tidak ingin mengajak seorang lelaki bermain dengan mereka. Dan satu-satunya teman bermainku adalah Ibu. Wanita lembut yang sangat mengerti dengan kondisiku. Sedangkan Ayah tidak pernah peduli terhadapku karena aku adalah anak yang tak diinginkan Ayah.
Dulu saat Ibu mengandung, Ayah sangat berharap yang lahir adalah anak perempuan, tapi kenyataan berkata lain yang lahir adalah anak lelaki. Ayah sangat kecewa dengan kehadiranku. Hingga aku tidak bisa dekat dengan Ayah. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, yang kuraskan hanya kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi kasih sayang itu tak bisa kuraskan lagi ketika aku mendudki kelas 2 SMPN. Ibu meninggalkanku untuk selamanya. Hanya tinggal aku dengan duniaku yang sepi tanpa warna. Hingga kemudian wanita bening itu hadir menawarkan warna baru dalam hidupku.
“Assalamu’alaikum.” Sapanya lembut saat aku duduk sendirian di taman sekolah.
“Waalaikumsalam.” Jawabku menoleh ke arahnya
“Boleh duduk di sini?”
“Boleh.” Jawabku sambil mengahapus bulir-bulir hangat yang mengalir ke pipiku.
“Kenapa menangis?” Tanyanya lagi.
Aku tak menjawab.
“Lelaki itu harus kuat, tidak boleh cengeng,” tegurnya.
Seulas senyum mengembang di wajahku dengan hati yang mulai terasa hangat. Karena baru pertama kalinya wanita yang peduli denganku setelah kepergiaan Ibu.
“Nah, gitu donk! Siapa namanya dik?”
“Andis Kurniawan.” Jawabku sambil mengulurkan tanganku.
Ia hanya tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangannnya ke arahku. Mungkin tanganku kotor, makanya ia tidak menjabat tanganku, pikirku saat itu.
Itu lah pertemuan pertamaku dengannya. Kemudian pertemuan kami terus berlanjut setalah kutahu dia adalah guru sementaraku. Dia adalah mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN di desaku. Walaupun hanya sementara, tapi ia mampu merubah hidupku. Semakin lama aku mengenalnya semakin berdecak pula kekagumanku kepadanya. Dimataku dia sangat anggun dengan jilbab lebar yang selalu ia gunakan untuk menutupi rambutnya sehingga tak sehelai rambutpun pernah kulihat walaupun saat aku berkunjung ke poskonya. Bahkan telapak kakinya pun tak pernah kulihat karena selalu di tutupi dengan kaus kaki. Bukan hanya itu dia juga tidak pernah bersentuhan denganku, menatapku lama. Walaupun saat itu aku tidak tahu kenapa dia harus berpenampilan dan bersikap seperti itu, tapi aku semakin menyukainya. Dia berbeda dengan wanita-wanita lain.
“Mbak ingin suatu hari nanti Andis menjadi lelaki sejati.” Kata-kata itu yang selalu ia ucapkan setiap kali bertemu denganku.
Dan kata-kata itulah yang telah membawaku menjadi lelaki sejati. Tidak ada lagi kudengar teriakan yang mengatakan seorang Andis adalah banci. Tapi salam persahabatan dan pujian kekaguman yang selalu kudapatkan sebagai aktivis kampus yang sudah dua taun di amanhakan sebagai gubernur fakultas. Semenjak di bangku perkulihan aku melibatkan diri dengan organisasi keislaman hingga merubahku menjadi lelaki sejati, bukan lelaki, tapi seorang ikhwan. Aku mulai tahu kenapa dulu Mbak Ayu tidak ingin bersentuhan denganku, tidak ingin menatapku, menghindar dariku setalah ia tahu persaanku karena dia ingin menjaga kesuciaannya. Tidak salah jika aku memanggilnya wanita bening.
Ayu Anggraini, nama itu terus melintas di benakku. Aku tahu tidak seharusnya kubiarkan rindu ini berkembang, aku harus segera mengakhirinya. Besok aku akan menjumpainnya dan meminta ia mau menjadi istriku. Tabungan hasil dari usaha rental computer yang telah kubangun hampir dua tahun kurasa cukup untuk biaya pernikahanku dan juga kebutuhan kami nantinya. Masalah umur aku tidak peduli, bukankah Rasullah menikahi khadijah dengan jarak umur yang sangat jauh. Aku telah siap untuk membimbingnya.
***
Matahari masih terasa hangat. Kulirik jam yang ada di pergelangan tanganku telah menunjukkan jam 9.00. Aku rapikan lagi penampilanku dengan kaca mata minus yang membuatku terlihat semakin beribawa. Aku telah siap berangkat menuju alamat yang kudapat dari salah seorang sahabat. Untuk menjemputmu wanita bening.
“Assalmu’alaikum.” Sapa Bang Arman, senior sekaligus murobbi yang telah mengenalkanku pada Kaffahnya islam.
“Walaikumslam.”
“Mau kemana antum rapi-rapi begini?”
“Ada sedikit agenda Bang.” Jawabku dengan senyum yang merona.
“Ada apa Bang?”
“ini ana cuma mau kasih undangan,” ucapnya sambil mengeluarkan undangan berwarna merah hati.
“Wah, udah mau menikah ya Bang, siapa akhwatnya Bang?”
“Antum baca aja sendiri namanya,” jawabnya dengan senyum yang tak kalah merona dengan senyumku.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak saat kudapati nama Ayu Anggraini yang tertera di dalam undangan.
“Antum bisa datangkan?” Kejut Bang Arman.
“Ya insyaAllah.” Jawabku gugup.
“Bang, ana ke kamar mandi dulu ya?” Aku pergi meninggalkan Bang Arman yang terlihat bingung melihat perubahan sikapku.
Kubuka kembali undangan berwarna merah hati itu.
Arman Maulan ST dan Ayu Anggraini Spd
Hatiku kembali ditusuk seribu duri, kali ini lebih perih dibandingkan tiga tahun yang lalu.



Tidak ada komentar: