Oleh: Ematul
Hasanah
Senja yang merangkak di bibir langit. Menutup
sisa-sisa petang yang mulai memudar. Kedua bola mataku menatap susunan jingga
yang kian berarak dengan jemari yang menggemgam segelas cappucino cincau, yang
kupesan dari lelaki paroh baya di warung sederhana pinggiran jalan Pekanbaru.
Aku menyukai senja karena ia membawa lukaku pergi. Dengan kehadiran perempuan
yang wajahnya tak lagi menemaniku duduk di sampingku seperti biasa.
“Bolehkah
aku duduk disini?” Tanya perempuan berjilbab rapi itu untuk pertama kalinya ia
membuka suara di depanku.
Aku tak
menjawab hanya menatap sekilas bola matanya yang tertutup oleh kaca bening yang
melingkar pada kedua bola matanya.
“Masalah
itu bukan untuk dipendam.” Ujarnya tiba-tiba seolah-olah telah lama mengenalku
padahal hari itu untuk pertama kalinya ia menegurku. Walaupun aku sudah sering
menemui wajahnya di warung sederhana ini saat senja mulai bertamu.
“Kamu
tahu apa tentangku?” Tanyaku dengan nada dingin.
Ia tak
bersuara, hanya menjawab dengan sebaris senyum persahabatan. Namun saat itu aku
lebih memilih sepiku dengan deru angin yang kubiarkan menghempaskan rambut
panjangku, namun tak ikut menghempas lukaku atas sesal terlahir dari rahim
wanita yang harus kupanggil Mama. Yang benciku menumpuk untuknya kerena luka
yang menjadikan aku kehilangan lelaki yang darahnya mengalir dalam tubuhku.
“Maaf
Pa, Mama harus melakukan ini untuk kita tetap bertahan hidup.” Sesal Mama
setelah Papa menemui hubungan Mama dengan seorang lelaki pengusaha.
Papa
menatap Mama penuh benci, dengan sebait sesal yang singgah di bola matanya.
Atas tak mampu memberi tanggung jawab. Sejak storke yang merubah Papa seperti
mayat hidup diatas kursi rodanya. Namun pengkhiatan cinta Mama menjadikan hati
Papa hancur menahan perih. Yang kemudian berakhir dengan kepergian Papa untuk
selamamnya. Dan benciku kian menggunung kepada wanita yang harus kupanggil Mama. Tapi perempuan
berjilbab rapi itu meluluh lantakkan rasa benciku itu.
“Namaku
Bunga.” Ia mengulurkan tangannya kearahku ketika aku mulai menerimanya . Karena
hanya dia yang ingin mengerti dengan sikap dinginku seolah ikut berperan dalam
lukaku, yang merubahku menjadi pribadi penutup. Membangun duniaku yang masih
saja basah. Karena tak ada harapan untuk ku jadikan atapnya.
“Sil,
tak seharusnya benci itu kau pupuk.” Nasehatnya saat kubagikan kisahku.
“Dia
adalah Ibumu Cil, selamanya.” Lanjutnya yang menjadikan benciku mulai melelah.
Ah, dia adalah Bunga dalam senjaku. Bukan hanya merubah benciku. Tapi juga
mengembalikan yakinku yang retak akan kasih sayang Tuhan. Setelah kutemui luka
dalam keluargaku.
“ karena
Tuhan menyayangimu Cil, bukan karena tidak adil.” Ia kembali menesahatiku saat kukatakan
aku tak lagi ingin mempercayai Tuhan.
“Tuhan,
ingin kau dekat dengannya dalam rintihan sujud panjangmu.”
“Bukankah
hidup memang seperti ini berpindah satu ujian ke ujian yang lain dan tentunya
ada hikmah yang tersembunyi.” Lanjutnya perempuan yang berdarah sunda itu, menjadikan senjaku kian berwarna.
Namun
kali ini, senjaku pudar setelah wajah Bunga tak lagi singgah diwarung sederhana
ini. seperti biasanya dengan segelas cappucino cincau sebagai minuman favorit
kami.
Meski telah kudatangi kampusnya, yang hanya berjarak
beberapa kilo dari kampusku. Namun aku tak menemukan jawaban tentang Bunga.
Sampai hp nya pun tak bisa kuhubungi. Aku kehilangannya, Bunga dalam senjaku.
***
“Maaf
Cil, aku harus pergi.” Ujar suara yang tak asing lagi berdengung di daun
telingaku. Setelah hampir dua bulan ia menghilang.
“Kenapa
kau tak pernah memberitahuku tentang itu?” Tanyaku penuh sesal saat tak pernah
menyadari sakit yang ia simpan rapat di sudut senyumnya. Yang membawanya harus
kembali ke kota kelahirannya, untuk menyembuhkan sakit yang ia derita.
“Karena
aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku.” Jawabnya yang
membuat air mata haru bergulir di pipiku.
Namun
sesal masih menggantung di hatiku atas ketidakpekaanku atas penyakit tumor otak
yang ia simpan. Yang menjadikan perpisahan sebagai jawaban dari persahabatan
kami.
“Aku
yakin Cil, kau adalah perempuan yang kuat.” Akhirnya.
Senja
masih jingga walaupun Bunga tak lagi duduk disampingku. Aku beranjak
meninggalkan warung sederhana ini. Mengejar suara adzan magrib yang mengundang
langkahku menetep sejenak di Mesjid seberang sana. Menitipkan doa untuk
kesembuhan Bunga.
“Andai
kau masih menemani senjaku. Tentu aku akan melihat senyum bahagia tumbuh
diwajahmu.” Harapku membiarkan angin menyentuh jilbab yang baru saja kuputuskan
untuk menemani hariku.
Teruntuk sahabatku semoga Allah selalu menitipkan tegar di setiap sakit
yang coba kau sembuhkan
Cerpen Ini Terbit di Xpresi Riau Pos
4 komentar:
kunjungan ..
salam sukses selalu ..:)
"Tuhan, ingin kau dekat dengan-Nya dalam rintihan sujud panjangmu."
Tuhan selalu punya cara untuk menyentuh, mengingatkan, menegur dan menguatkan kita. Hanya saja kita sering lupa bersyukur pada-Nya, rentan mengeluh dan tak pernah puas.
Sepertinya hati memang harus diperluas.
"Karena aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku."
Beginilah harusnya kita sebagai teman sahabat sejati, memberi senyum bahagia bukan meneteskan airmata. Menopang dikala condong, jadi sandaran ketika goyah.
Selamat ya Ukhti, Ematul Hasanah.
Rangkaian hasil jemari lentikmu sangat memotivasi dan menasehati.
Cerpen mu ini kubaca di Riau Pos, Minggu 1 April 2012 kemaren.
Teruskan berkarya ya Ukhti.
Gugahlah hati setiap insan yang membaca goresan penamu.
Salam ukhuwah,
Ramlis,
http://miaw.pun.bz
.
"Tuhan, ingin kau dekat dengan-Nya dalam rintihan sujud panjangmu."
Tuhan selalu punya cara untuk menyentuh, mengingatkan, menegur dan menguatkan kita. Hanya saja kita sering lupa bersyukur pada-Nya, rentan mengeluh dan tak pernah puas.
Sepertinya hati memang harus diperluas.
"Karena aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku."
Beginilah harusnya kita sebagai teman sahabat sejati, memberi senyum bahagia bukan meneteskan airmata. Menopang dikala condong, jadi sandaran ketika goyah.
Selamat ya Ukhti, Ematul Hasanah.
Rangkaian hasil jemari lentikmu sangat memotivasi dan menasehati.
Cerpen mu ini kubaca di Riau Pos, Minggu 1 April 2012 kemaren.
Teruskan berkarya ya Ukhti.
Gugahlah hati setiap insan yang membaca goresan penamu.
Salam ukhuwah,
Ramlis,
http://miaw.pun.bz
Terima Kasih
:)
Posting Komentar