Senin, 26 Maret 2012

Bunga Dalam Senjaku


Oleh: Ematul Hasanah
             Senja yang merangkak di bibir langit. Menutup sisa-sisa petang yang mulai memudar. Kedua bola mataku menatap susunan jingga yang kian berarak dengan jemari yang menggemgam segelas cappucino cincau, yang kupesan dari lelaki paroh baya di warung sederhana pinggiran jalan Pekanbaru. Aku menyukai senja karena ia membawa lukaku pergi. Dengan kehadiran perempuan yang wajahnya tak lagi menemaniku duduk di sampingku seperti biasa.
            “Bolehkah aku duduk disini?” Tanya perempuan berjilbab rapi itu untuk pertama kalinya ia membuka suara di depanku.
            Aku tak menjawab hanya menatap sekilas bola matanya yang tertutup oleh kaca bening yang melingkar  pada kedua bola matanya.
            “Masalah itu bukan untuk dipendam.” Ujarnya tiba-tiba seolah-olah telah lama mengenalku padahal hari itu untuk pertama kalinya ia menegurku. Walaupun aku sudah sering menemui wajahnya di warung sederhana ini saat senja mulai bertamu.
            “Kamu tahu apa tentangku?” Tanyaku dengan nada dingin.
            Ia tak bersuara, hanya menjawab dengan sebaris senyum persahabatan. Namun saat itu aku lebih memilih sepiku dengan deru angin yang kubiarkan menghempaskan rambut panjangku, namun tak ikut menghempas lukaku atas sesal terlahir dari rahim wanita yang harus kupanggil Mama. Yang benciku menumpuk untuknya kerena luka yang menjadikan aku kehilangan lelaki yang darahnya mengalir dalam tubuhku.

            “Maaf Pa, Mama harus melakukan ini untuk kita tetap bertahan hidup.” Sesal Mama setelah Papa menemui hubungan Mama dengan seorang lelaki pengusaha.
            Papa menatap Mama penuh benci, dengan sebait sesal yang singgah di bola matanya. Atas tak mampu memberi tanggung jawab. Sejak storke yang merubah Papa seperti mayat hidup diatas kursi rodanya. Namun pengkhiatan cinta Mama menjadikan hati Papa hancur menahan perih. Yang kemudian berakhir dengan kepergian Papa untuk selamamnya. Dan benciku kian menggunung kepada wanita  yang harus kupanggil Mama. Tapi perempuan berjilbab rapi itu meluluh lantakkan rasa benciku itu.
            “Namaku Bunga.” Ia mengulurkan tangannya kearahku ketika aku mulai menerimanya . Karena hanya dia yang ingin mengerti dengan sikap dinginku seolah ikut berperan dalam lukaku, yang merubahku menjadi pribadi penutup. Membangun duniaku yang masih saja basah. Karena tak ada harapan untuk ku jadikan atapnya.
            “Sil, tak seharusnya benci itu kau pupuk.” Nasehatnya saat kubagikan kisahku.
            “Dia adalah Ibumu Cil, selamanya.” Lanjutnya yang menjadikan benciku mulai melelah. Ah, dia adalah Bunga dalam senjaku. Bukan hanya merubah benciku. Tapi juga mengembalikan yakinku yang retak akan kasih sayang Tuhan. Setelah kutemui luka dalam keluargaku.
            “ karena Tuhan menyayangimu Cil, bukan karena tidak adil.” Ia kembali menesahatiku saat kukatakan aku tak lagi ingin mempercayai Tuhan.
            “Tuhan, ingin kau dekat dengannya dalam rintihan sujud panjangmu.”
            “Bukankah hidup memang seperti ini berpindah satu ujian ke ujian yang lain dan tentunya ada hikmah yang tersembunyi.” Lanjutnya perempuan yang berdarah sunda itu,  menjadikan senjaku kian berwarna.
            Namun kali ini, senjaku pudar setelah wajah Bunga tak lagi singgah diwarung sederhana ini. seperti biasanya dengan segelas cappucino cincau sebagai minuman favorit kami.
Meski telah kudatangi kampusnya, yang hanya berjarak beberapa kilo dari kampusku. Namun aku tak menemukan jawaban tentang Bunga. Sampai hp nya pun tak bisa kuhubungi. Aku kehilangannya, Bunga dalam senjaku.
***
            “Maaf Cil, aku harus pergi.” Ujar suara yang tak asing lagi berdengung di daun telingaku. Setelah hampir dua bulan ia menghilang.
            “Kenapa kau tak pernah memberitahuku tentang itu?” Tanyaku penuh sesal saat tak pernah menyadari sakit yang ia simpan rapat di sudut senyumnya. Yang membawanya harus kembali ke kota kelahirannya, untuk menyembuhkan sakit yang ia derita.
            “Karena aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku.” Jawabnya yang membuat air mata haru bergulir di pipiku.
            Namun sesal masih menggantung di hatiku atas ketidakpekaanku atas penyakit tumor otak yang ia simpan. Yang menjadikan perpisahan sebagai jawaban dari persahabatan kami.
            “Aku yakin Cil, kau adalah perempuan yang kuat.” Akhirnya.
            Senja masih jingga walaupun Bunga tak lagi duduk disampingku. Aku beranjak meninggalkan warung sederhana ini. Mengejar suara adzan magrib yang mengundang langkahku menetep sejenak di Mesjid seberang sana. Menitipkan doa untuk kesembuhan Bunga.
            “Andai kau masih menemani senjaku. Tentu aku akan melihat senyum bahagia tumbuh diwajahmu.” Harapku membiarkan angin menyentuh jilbab yang baru saja kuputuskan untuk menemani hariku.



Teruntuk sahabatku semoga Allah selalu menitipkan tegar di setiap sakit yang coba kau sembuhkan
Cerpen Ini Terbit di Xpresi Riau Pos
           

           

           

4 komentar:

outbound training di malang mengatakan...

kunjungan ..
salam sukses selalu ..:)

Ramlis dari Blog Kutuliskan Cerita ini mengatakan...

"Tuhan, ingin kau dekat dengan-Nya dalam rintihan sujud panjangmu."

Tuhan selalu punya cara untuk menyentuh, mengingatkan, menegur dan menguatkan kita. Hanya saja kita sering lupa bersyukur pada-Nya, rentan mengeluh dan tak pernah puas.
Sepertinya hati memang harus diperluas.

"Karena aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku."

Beginilah harusnya kita sebagai teman sahabat sejati, memberi senyum bahagia bukan meneteskan airmata. Menopang dikala condong, jadi sandaran ketika goyah.

Selamat ya Ukhti, Ematul Hasanah.
Rangkaian hasil jemari lentikmu sangat memotivasi dan menasehati.
Cerpen mu ini kubaca di Riau Pos, Minggu 1 April 2012 kemaren.

Teruskan berkarya ya Ukhti.
Gugahlah hati setiap insan yang membaca goresan penamu.

Salam ukhuwah,
Ramlis,
http://miaw.pun.bz

Ramlis dari Blog Kutuliskan Cerita ini mengatakan...

.
"Tuhan, ingin kau dekat dengan-Nya dalam rintihan sujud panjangmu."

Tuhan selalu punya cara untuk menyentuh, mengingatkan, menegur dan menguatkan kita. Hanya saja kita sering lupa bersyukur pada-Nya, rentan mengeluh dan tak pernah puas.
Sepertinya hati memang harus diperluas.

"Karena aku hanya ingin membagikan bahagiaku saja untukmu, bukan lukaku."

Beginilah harusnya kita sebagai teman sahabat sejati, memberi senyum bahagia bukan meneteskan airmata. Menopang dikala condong, jadi sandaran ketika goyah.

Selamat ya Ukhti, Ematul Hasanah.
Rangkaian hasil jemari lentikmu sangat memotivasi dan menasehati.
Cerpen mu ini kubaca di Riau Pos, Minggu 1 April 2012 kemaren.

Teruskan berkarya ya Ukhti.
Gugahlah hati setiap insan yang membaca goresan penamu.

Salam ukhuwah,
Ramlis,
http://miaw.pun.bz

ematul hasanah mengatakan...

Terima Kasih
:)