Kursi yang kududuki seperti tak ingin menerima
kehadiranku lagi. Karena hampir setiap hari aku menyinggahinya. Berjam-jam
lamanya untuk menunggu kadatangan lelaki paroh baya dengan wajah wibawanya.
Wajar
saja kursi ini jenuh kepadaku. Karena memang tak seharusnya aku kembali ikut
dalam antrian deretan di luar ruang
ketua jurusanku.
“Ros,
kapan seminar?” Suara itu memecah galauku.
Aku melirik kepada pemilik suara. Perempuan yang
menggunakan baju hitam putih itu.
“Selamat
ya Nis.” Aku mencoba mengalihkan tanyanya.
“Terima
kasih.” Balasnya dengan senyum bahagia.
“Kau
kapan seminar?” Tanyanya lagi yang membuat aku kelu untuk menjawab.
Seharusnya
aku sudah seperti Anis telah menyelesikan seminar proposal. Bahkan lebih dulu
darinya. Tapi apa yang hendak dikata toh hari ini aku kembali duduk diatas
kursi ini. Setelah proposalku ditolak oleh Pembantu Dekan 1.
Judul kurang relevan
Tiga
kata itu yang menghias di halaman awal proposalku. Yang membuat aku luruh untuk
mendapatkan pembimbing. Setelah berbulan-bulan lamanya aku menunggu acc dari
ketua jurusan yang super sibuk.
“Sebaiknya
kamu ganti judul saja, masalah yang kamu angkat terlalu kecil.” Ujar Pembantu
Dekan 1 saat kutemui ia di dalam ruangannya memohon menerima judulku. Namun
hanya tumpukan kecewa yang kudapatkan.
“Aku
mengulang dari awal Nis.” Jawabku dengan suara bergetar menahan bening yang
hampir menitik di ujung bola mataku.
“Kenapa
bisa begitu.? Tanyanya heran.
“Pak
Agus memintaku untuk mencari judul yang lain.” Jelasku sambil menggemgam erat
proposal yang terbungkus dalam map hijau.
“Sabar
ya Ros.” Anis mengusap punggungku ikut prihatin dengan kondisiku. Dan kali ini
kubiarkan saja bening di ujung bola mataku berserakan.
***
“Nak,
kapan wisuda?” Masih terngiang di benakku suara terakhir Emak diujung telepon.
Dan itu bukan lagi pertanyaan Emak untuk pertama kalinya. Tapi untuk angka yang
tak mampu kuhitung berapa banyakknya sejak aku mulai memasuki semester 8.
“InsyaAllah
tahun ini juga Mak.” Jawabku getir. Walaupun aku tak tahu kapan toga itu akan
membungkus kepalaku. Dan aku tahu keinginan terbesar Emak adalah wisudaku.
Karena beban yang ditanggung Emak sebagai satu-satunya tulang punggu
dikeluaragaku kian berat. Sejak adikku lulus di Universitas yang berbeda
denganku. Yang membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dariku.
Kembali
kutatap layar laptopku. Membiarkan setengah nasi yang tak mampu kuhabiskan
dengan tekanan batin yang sedang kuderita. Jari-jariku mulai menari-nari diatas
tust-tust hitam laptopku. Kembali mengetik ulang proposalku.
“Judul
yang kamu teliti tidak ada masalah.” Ujar ketua jurusanku setelah hampir dua
minggu aku menunggunya diatas kursi yang telah jenuh untuk kusinggahi. Yang
membuat hampir semua dosen mengenal wajahku. Bukan dengan kesan yang baik. Tapi
dengan kesan gadis yang menyedihkan.
Mendengarkan
sebaris kata yang berayun dari bibir ketua jurusanku. Membuat tangisku yang
masih bisa kutahan, akhirnya pecah tak mampu untuk kubendung.
“Jika
kau yakin setiap kesulitan ada kemudahan. Maka kau akan selalu optimis
menjalani hidup.” Sebaris nasehat oleh seorang senior yang dulunya juga memilki
cerita yang hampir sama denganku. Kembali melintas dibenakku yang membuat
semangatku mulai hidup. Mengetik kata per kata untuk proposal yang judulnya
kuperoleh dari salah seorang dosen, yang begitu peduli dengan nasib-nasib
Mahasiswa semester atas.
“Coba
kamu teliti tentang ini.” Ia memberikan selembar kertas untukku saat untuk
pertama kalinya, aku memberanikan diri memasuki ruangannya. Dan sungguh
sambutannya begitu hangat.
“Andai
semua dosen seperti Buk Ratih, maka tak akan ada Mahasiswa yang mendapatkan
gelar MA (Mahasiswa abadi). Kecuali Mahasiswa yang memang memilih untuk lebih
lama menyangdang status Mahasiswa.” Harapku saat keluar dari ruang Buk Ratih.
***
Gemetar tanganku
membawa proposal yang baru saja kuterima dari Pembantu Dekan 1. Setalah
kudapatkan acc dari ketua jurusan dan tiga minggu lamanya aku menunggu proposalku
turun dari Pembantu Dekan satu.
Aku
kembali duduk diatas kursi ini yang tak ingin lagi menerima kehadiranku.
Menguatkan hatiku untuk menerima apapun resiko yang akan segera kutemui. Aku
hampir berteriak bahagia ketika proposalku di acc. Dan bahagiaku kian memerah
setelah kudapati nama Buk Ratih sebagai pembimbingku.
“Kesuksesan
yang didapatkan dengan cara berdarah-darah jauh lebih indah.” Kata-kata Anis
kembali kuingat saat kami dipertemukan kembali beberapa minggu yang lalu.
Senyumku
kian mengembang. Meresapi kebahagian yang menjalar ke hatiku. Dan membiarkan
mata-mata menatapku aneh, diatas kursi ini yang mulai menghembuskan napas lega
karena aku tak akan menyinggahinya lagi untuk waktu yang berjam-jam lamanya.
Teruntuk Sahabat-sahabatku
semester atas yang sedang berjuang
Semangat!!!!!
Terbit Di Metro Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar