Kamis, 29 Maret 2012

Proposal



         Kursi yang kududuki seperti tak ingin menerima kehadiranku lagi. Karena hampir setiap hari aku menyinggahinya. Berjam-jam lamanya untuk menunggu kadatangan lelaki paroh baya dengan wajah wibawanya.
            Wajar saja kursi ini jenuh kepadaku. Karena memang tak seharusnya aku kembali ikut dalam antrian deretan  di luar ruang ketua jurusanku.
            “Ros, kapan seminar?” Suara itu memecah galauku.
            Aku  melirik kepada pemilik suara. Perempuan yang menggunakan baju hitam putih itu.
            “Selamat ya Nis.” Aku mencoba mengalihkan tanyanya.
            “Terima kasih.” Balasnya dengan senyum bahagia.
            “Kau kapan seminar?” Tanyanya lagi yang membuat aku kelu untuk menjawab.
            Seharusnya aku sudah seperti Anis telah menyelesikan seminar proposal. Bahkan lebih dulu darinya. Tapi apa yang hendak dikata toh hari ini aku kembali duduk diatas kursi ini. Setelah proposalku ditolak oleh Pembantu Dekan 1.
            Judul kurang relevan
            Tiga kata itu yang menghias di halaman awal proposalku. Yang membuat aku luruh untuk mendapatkan pembimbing. Setelah berbulan-bulan lamanya aku menunggu acc dari ketua jurusan yang super sibuk.
            “Sebaiknya kamu ganti judul saja, masalah yang kamu angkat terlalu kecil.” Ujar Pembantu Dekan 1 saat kutemui ia di dalam ruangannya memohon menerima judulku. Namun hanya tumpukan kecewa yang kudapatkan.
            “Aku mengulang dari awal Nis.” Jawabku dengan suara bergetar menahan bening yang hampir menitik di ujung bola mataku.
            “Kenapa bisa begitu.? Tanyanya heran.
            “Pak Agus memintaku untuk mencari judul yang lain.” Jelasku sambil menggemgam erat proposal yang terbungkus dalam map hijau.
            “Sabar ya Ros.” Anis mengusap punggungku ikut prihatin dengan kondisiku. Dan kali ini kubiarkan saja bening di ujung bola mataku berserakan.
***
            “Nak, kapan wisuda?” Masih terngiang di benakku suara terakhir Emak diujung telepon. Dan itu bukan lagi pertanyaan Emak untuk pertama kalinya. Tapi untuk angka yang tak mampu kuhitung berapa banyakknya sejak aku mulai memasuki semester 8.
            “InsyaAllah tahun ini juga Mak.” Jawabku getir. Walaupun aku tak tahu kapan toga itu akan membungkus kepalaku. Dan aku tahu keinginan terbesar Emak adalah wisudaku. Karena beban yang ditanggung Emak sebagai satu-satunya tulang punggu dikeluaragaku kian berat. Sejak adikku lulus di Universitas yang berbeda denganku. Yang membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dariku.
            Kembali kutatap layar laptopku. Membiarkan setengah nasi yang tak mampu kuhabiskan dengan tekanan batin yang sedang kuderita. Jari-jariku mulai menari-nari diatas tust-tust hitam laptopku. Kembali mengetik ulang proposalku.
            “Judul yang kamu teliti tidak ada masalah.” Ujar ketua jurusanku setelah hampir dua minggu aku menunggunya diatas kursi yang telah jenuh untuk kusinggahi. Yang membuat hampir semua dosen mengenal wajahku. Bukan dengan kesan yang baik. Tapi dengan kesan gadis yang menyedihkan.
            Mendengarkan sebaris kata yang berayun dari bibir ketua jurusanku. Membuat tangisku yang masih bisa kutahan, akhirnya pecah tak mampu untuk kubendung.
            “Jika kau yakin setiap kesulitan ada kemudahan. Maka kau akan selalu optimis menjalani hidup.” Sebaris nasehat oleh seorang senior yang dulunya juga memilki cerita yang hampir sama denganku. Kembali melintas dibenakku yang membuat semangatku mulai hidup. Mengetik kata per kata untuk proposal yang judulnya kuperoleh dari salah seorang dosen, yang begitu peduli dengan nasib-nasib Mahasiswa semester atas.
            “Coba kamu teliti tentang ini.” Ia memberikan selembar kertas untukku saat untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri memasuki ruangannya. Dan sungguh sambutannya begitu hangat.
            “Andai semua dosen seperti Buk Ratih, maka tak akan ada Mahasiswa yang mendapatkan gelar MA (Mahasiswa abadi). Kecuali Mahasiswa yang memang memilih untuk lebih lama menyangdang status Mahasiswa.” Harapku saat keluar dari ruang Buk Ratih.
            ***
            Gemetar tanganku membawa proposal yang baru saja kuterima dari Pembantu Dekan 1. Setalah kudapatkan acc dari ketua jurusan dan tiga minggu lamanya aku menunggu proposalku turun dari Pembantu Dekan satu.
            Aku kembali duduk diatas kursi ini yang tak ingin lagi menerima kehadiranku. Menguatkan hatiku untuk menerima apapun resiko yang akan segera kutemui. Aku hampir berteriak bahagia ketika proposalku di acc. Dan bahagiaku kian memerah setelah kudapati nama Buk Ratih sebagai pembimbingku.
            “Kesuksesan yang didapatkan dengan cara berdarah-darah jauh lebih indah.” Kata-kata Anis kembali kuingat saat kami dipertemukan kembali beberapa minggu yang lalu.
            Senyumku kian mengembang. Meresapi kebahagian yang menjalar ke hatiku. Dan membiarkan mata-mata menatapku aneh, diatas kursi ini yang mulai menghembuskan napas lega karena aku tak akan menyinggahinya lagi untuk waktu yang berjam-jam lamanya.

Teruntuk Sahabat-sahabatku semester atas yang sedang berjuang
Semangat!!!!!
Terbit Di Metro Riau

Tidak ada komentar: