Aku suka hujan karena ia membawa lukaku pergi. Sama
seperti perempuan yang berdiri di sampingku. Perempuan berdarah Aceh berwajah
cantik dengan jilbab lebar yang
membungkus kepalanya. Aku mengenalinya sejak kami sama-sama menjadi pemenang dalam
lomba cerpen tingkat Provinsi.
“Kau
suka hujan?” Tanyanya saat kami berteduh dalam halte di depan gerbang
Universitas.
“Ya.”
Jawabku membiarkan rintik hujan jatuh diatas telapak tangan yang kudengadahkan.
“Aku
juga.” Ujarnya.
“Tak
perlu kau katakan aku sudah tahu dari setiap tulisan-tulisan yang selalu
berkisah tentang hujan.” Aku membatin.
“Tapi
aku tidak suka gerimis.” Lanjutku di sela-sela hujan yang kian deras
“Kenapa?”
Ia menatapku heran dengan senyum yang patah.
Hening.
“Gerimis
adalah luka.” Jawabku membiarkan hujan mengiring hatiku yang basah.
***
Senja
tak lagi jingga, hanya barisan-barisan mendung mengikuti jejak yang mulai ia
tapakai di kaki langit. Aku duduk di taman ini menatap jalan yang masih terasa
sesak. Perlahan resah mulai merayap ke hatiku setiap kali mataku bertemu dengan
angka-angka yang melingkar di pergelangan tanganku. Karena lelaki yang sangat
ingin kutemui wajahnya tak kunjung datang.
Lelaki
itu bukan kekasihku. Tapi lebih dari seorang kekasih untukku. Yang darahnya
menyatu dalam tubuhku. Hingga gunungan rindu hampir meledak di hatiku. Karena
ribuan hari sudah tak pernah kutemui wajahnya dalam atap yang sama. Setelah
Mama memilih luka sebagai akhir dari episode cinta yang ia bangan lima tahun
lamanya.
Dan
taman ini adalah tempat aku pernah
menghabiskan hari bersamanya. Lelaki yang kupanggil Ayah. Saat rambutku masih
dikucir dua dan susunan gigiku yang masih ompong.
Aku
kembali menatap jalan yang masih saja sesak seperti biasa di kota kelahiranku
ini. Tiba-tiba wajah teduh itu berayun di pelupuk mataku. Kutatap lagi selembar
foto lusuh yang masih tergenggam erat dalam jemariku.
“Ayah.”
Lirihku menumbuhkan sekuntum senyum pada wajahku.
Kulihat
ia melembaikan tangan mlemparkan senyum yang menjadikan rinduku bersambut.
Namun tiba-tiba tubuhnya menghilang di balik Mobil saat langkahnya baru saja
ingin menjengukku.
“Ayah.”
Teriakku dengan butiran air mata yang mulai meleleh.
Secepat
kilat kuhampiri tubuh Ayah yang berlumur darah. Kutatap matanya yang redup
menyisahkan bait-bait rindu yang tak sampai. Hingga mata itu tertutup rapat.
“Ayah...”
Teriak Ayah bersama senja yang menjatuhkan gerimis diatas tubuh Ayah yang tak
lagi bernapas.
“Tak ada
alasan untukmu membenci gerimis Han!” Kembali kata-kata Cut menyinggahi
benakku. Yang menjadikan sedikit dongkol menumpuk dihatiku atas
ketidakpekaannya ia mengartikan lukaku.
“Kenapa?”
Tanyaku dingin.
“Kerena
hujan juga luka untukku. Tapi aku tak pernah membencinya.” Jawabnya menatap
guguran hujan membiarkan hujan menyapa
telapak tangannya. Dan aku hanya menatapnya kosong dengan rasa perih dari
jawabannya yang baru saja kutemukan setelah berbulan-bulan aku mengenalinya.
***
Aku menatap
guguran gerimis di bibir halte ini. Seperti membuka kembali lembaran yang
pernah kuisi bersama Cut saat kami masih berstatuskan Mahasiswa.
Kuperhatikan
rinai gerimis itu untuk mengundang rasa yang baru saja kucoba untuk
menyukainya. Seperti Cut yang tak pernah membenci hujan meski hujan telah
memberinya luka.
“Hujan
tak bisa kujadikan alasan atas kehilangan Han.” Ujarnya saat kami dipertemukan
kembali dalam hujan beberapa tahun yang lalu. Ah, hujan selalu menjadikan hati
kami dekat.
Aku
menatap matanya yang basah. Menutup binar bintang yang selalu menggantung pada
sepasang mata teduhnya.
“Meski
hujan telah membawa semua orang-orang yang kucintai.” Ia mulai berkisah tentang
hujan yang mengundang para pembrontak bertamu di rumahnya. Yang kemudian membunuh
satu persatu keluarganya. Dan hanya ia yang berhasil berlari dalam hujan.
Hingga sebuah truk melindas tubuhnya. Yang menjadikan ia harus kehilangan
sepotong kaki kirinya. Merubah ia sebagai gadis cacat di sepanjang usianya.
Tapi
Tuhan selalu punya cara yang indah sebagai pengganti lukanya. Dengan
menghadirkan perempuan berhati malaikat mengangkatnya sebagai anak. Membawa ia
pergi dari tanah kelahirannya yang menyisahkan trauma.
Perempuan
itu yang menawarkan mimpi-mimpi indah untuknya. Dan hari ini mimpi itu terus
mewangi dengan deretan karyanya yang selalu kutemui di setiap toko buku besar.
Ya, dia sudah menjadi penulis ternama. Seperti mimpinya.
“Gerimis
tak pernah membuatmu luka Han, Tapi gerimis ingin mengajarimu tentang cinta.”
Nasehat
Cut masih membayang di benakku. Sebaris nasehat yang mulai kupahami maksudnya.
Ah, aku ingin Seperti Cut
yang tak pernah membenci hujan, meski hujan telah memberinya luka.
Bahkan lebih perih dari luka yang kutemui.
“Kau
benar Cut, gerimis tak ada alasan untukku jadikan benci.” Lirihku menatap
gerimis yang mulai mengundang hujan. Dan seperti kutemukan wajah Cut mengulam
senyum bersama rintik yang berguguran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar