Rabu, 04 April 2012

Sahabat Dalam Hujan


Aku suka hujan karena ia membawa lukaku pergi. Sama seperti perempuan yang berdiri di sampingku. Perempuan berdarah Aceh berwajah cantik  dengan jilbab lebar yang membungkus kepalanya. Aku mengenalinya  sejak kami sama-sama menjadi pemenang dalam lomba cerpen tingkat Provinsi.
            “Kau suka hujan?” Tanyanya saat kami berteduh dalam halte di depan gerbang Universitas.
            “Ya.” Jawabku membiarkan rintik hujan jatuh diatas telapak tangan yang kudengadahkan.
            “Aku juga.” Ujarnya.
            “Tak perlu kau katakan aku sudah tahu dari setiap tulisan-tulisan yang selalu berkisah tentang hujan.” Aku membatin.
            “Tapi aku tidak suka gerimis.” Lanjutku di sela-sela hujan yang kian deras
            “Kenapa?” Ia menatapku heran dengan senyum yang patah.
            Hening.
            “Gerimis adalah luka.” Jawabku membiarkan hujan mengiring hatiku yang basah.
***
            Senja tak lagi jingga, hanya barisan-barisan mendung mengikuti jejak yang mulai ia tapakai di kaki langit. Aku duduk di taman ini menatap jalan yang masih terasa sesak. Perlahan resah mulai merayap ke hatiku setiap kali mataku bertemu dengan angka-angka yang melingkar di pergelangan tanganku. Karena lelaki yang sangat ingin kutemui wajahnya tak kunjung datang.
            Lelaki itu bukan kekasihku. Tapi lebih dari seorang kekasih untukku. Yang darahnya menyatu dalam tubuhku. Hingga gunungan rindu hampir meledak di hatiku. Karena ribuan hari sudah tak pernah kutemui wajahnya dalam atap yang sama. Setelah Mama memilih luka sebagai akhir dari episode cinta yang ia bangan lima tahun lamanya.

            Dan taman ini adalah tempat aku  pernah menghabiskan hari bersamanya. Lelaki yang kupanggil Ayah. Saat rambutku masih dikucir dua dan susunan gigiku yang masih ompong.
            Aku kembali menatap jalan yang masih saja sesak seperti biasa di kota kelahiranku ini. Tiba-tiba wajah teduh itu berayun di pelupuk mataku. Kutatap lagi selembar foto lusuh yang masih tergenggam erat dalam jemariku.
            “Ayah.” Lirihku menumbuhkan sekuntum senyum pada wajahku.
            Kulihat ia melembaikan tangan mlemparkan senyum yang menjadikan rinduku bersambut. Namun tiba-tiba tubuhnya menghilang di balik Mobil saat langkahnya baru saja ingin menjengukku.
            “Ayah.” Teriakku dengan butiran air mata yang mulai meleleh.
            Secepat kilat kuhampiri tubuh Ayah yang berlumur darah. Kutatap matanya yang redup menyisahkan bait-bait rindu yang tak sampai. Hingga mata itu tertutup rapat.
            “Ayah...” Teriak Ayah bersama senja yang menjatuhkan gerimis diatas tubuh Ayah yang tak lagi bernapas.
            “Tak ada alasan untukmu membenci gerimis Han!” Kembali kata-kata Cut menyinggahi benakku. Yang menjadikan sedikit dongkol menumpuk dihatiku atas ketidakpekaannya ia mengartikan lukaku.
            “Kenapa?” Tanyaku dingin.
            “Kerena hujan juga luka untukku. Tapi aku tak pernah membencinya.” Jawabnya menatap guguran hujan  membiarkan hujan menyapa telapak tangannya. Dan aku hanya menatapnya kosong dengan rasa perih dari jawabannya yang baru saja kutemukan setelah berbulan-bulan aku mengenalinya.

***
            Aku menatap guguran gerimis di bibir halte ini. Seperti membuka kembali lembaran yang pernah kuisi bersama Cut saat kami masih berstatuskan Mahasiswa.
            Kuperhatikan rinai gerimis itu untuk mengundang rasa yang baru saja kucoba untuk menyukainya. Seperti Cut yang tak pernah membenci hujan meski hujan telah memberinya luka.
            “Hujan tak bisa kujadikan alasan atas kehilangan Han.” Ujarnya saat kami dipertemukan kembali dalam hujan beberapa tahun yang lalu. Ah, hujan selalu menjadikan hati kami dekat.
            Aku menatap matanya yang basah. Menutup binar bintang yang selalu menggantung pada sepasang mata teduhnya.
            “Meski hujan telah membawa semua orang-orang yang kucintai.” Ia mulai berkisah tentang hujan yang mengundang para pembrontak bertamu di rumahnya. Yang kemudian membunuh satu persatu keluarganya. Dan hanya ia yang berhasil berlari dalam hujan. Hingga sebuah truk melindas tubuhnya. Yang menjadikan ia harus kehilangan sepotong kaki kirinya. Merubah ia sebagai gadis cacat di sepanjang usianya.
            Tapi Tuhan selalu punya cara yang indah sebagai pengganti lukanya. Dengan menghadirkan perempuan berhati malaikat mengangkatnya sebagai anak. Membawa ia pergi dari tanah kelahirannya yang menyisahkan trauma.
            Perempuan itu yang menawarkan mimpi-mimpi indah untuknya. Dan hari ini mimpi itu terus mewangi dengan deretan karyanya yang selalu kutemui di setiap toko buku besar. Ya, dia sudah menjadi penulis ternama. Seperti mimpinya.
            “Gerimis tak pernah membuatmu luka Han, Tapi gerimis ingin mengajarimu tentang cinta.”
            Nasehat Cut masih membayang di benakku. Sebaris nasehat yang mulai kupahami maksudnya.
Ah, aku ingin  Seperti Cut  yang tak pernah membenci hujan, meski hujan telah memberinya luka. Bahkan lebih perih dari luka yang kutemui.
            “Kau benar Cut, gerimis tak ada alasan untukku jadikan benci.” Lirihku menatap gerimis yang mulai mengundang hujan. Dan seperti kutemukan wajah Cut mengulam senyum bersama rintik yang berguguran

           

Tidak ada komentar: