Minggu, 08 April 2012

Kampung Yang Hilang


Senja berarak di bibir langit membawa petang tenggelam di ufuk barat. Aku masih disini, duduk bersila diatas pondok tanpa dinding,membiarkan semilir menari diujung jilbabku. Dan aku  melempar pandangan padangan pada hamparan padi yang menguning yang mulai tersapu jingga. Sekali-kali sepasang mataku menangakap sosok-sosok wanita paroh baya yang usianya tak jauh terpaut dari usia Amak. Langkah-langkahnya tersusun rapi menelusuri tebing-tebing sawah dengan cangkul yang tegenggam dalam jemarinya.
Di sini aku masih mencium aroma wangi  kampungku sama seperti dulu, ketika rambutku masih dikucir dua. Tapi kenapa aroma ini tak kutemukan lagi di setiap sudut gang gang di kampungku. Yang kutemui hanya aroma yang kian membusuk setiap harinya.

“Kau tahu Ris, Putri anak Etek Bungsu ketahuan hamil.” Sebaris kalimat yang berayun di bibir Amak kembali menyinggahi benakku. Dan kalimat itu bukan untuk angka pertama kalinya aku temui. Tapi untuk angka yang tak mampu lagi kuhitung banyaknya. Sejak aku masih berstatuskan Santri di salah satu Pondok Pesantren yang berada di Jawa. Dan kini ketika aku mulai meninggalkan usia remajaku. Aku bukan hanya mendengarkan kalimat Amak. Tapi aku melihatnya sendiri cerita-cerita miris yang menjadikan aroma religius kampungku menghilang.
“Dila, muo baliok wak le.” Suara Amak membuyarkan lamunanku.
Kuikuti langkah perempuan yang bersatus Amak kandungku itu. bersama dengan beberapa perempuan yang sebaya dengan Amak.
“Kau pasti sangat bangga memiliki anak seperti Dila.” Bisik Tek Atun yang menyimpul senyum di wajah Amak.
“Andai saja Putri seperti Dila, tentu Amaknya tak akan duduk diatas kursi Roda.” Sesal Tek Atun membuka cerita Putri yang masih memiliki hubungan darah dengannya.
Diatas purnama mulai menggantung namun tak mampu menjadikan hatiku hangat. Hanya ngilu yang mengiri langkah pulangku.
***
            Surau yang kutempati sudah banyak berubah. Dindingnya tak lagi lapuk seperti dulu ketika aku masih mengeja alif bha tha disini. Tapi dinding-dinding surau yang kokoh dengan keramik sebagai lantainya hanya mati dalam kebisuan. Tak ada lagi lantunan sholawat, tak ada lagi pukulan rabbana, ataupun senandung al-qur’an. Walaupun sudah hampir satu bulan aku menjadi tenaga pengajar di surau ini. Yang kutemui semakin hari suaru ini semakin bisu dengan wajah-wajah itu itu saja.
            “Lia, kenapa tidak datang mengaji lagi Dina?” Tanyaku kepada gadis yang berumur dua belas tahun itu. Setelah tak kutemui wajah Lia Sahabatnya hadir di Surau ini seperti biasa.
            “Katanya dia mau menonton kayboard Umi.” Jawaban senada yang keluar dari bibir Dina, yang menjadikan hatiku teriris. Gadis kecil seperti Lia yang baru saja memulai usia remaja lebih memilih kayboard daripada mengaji.
            ***
            “Sudahlah Dila tak usah kau pikirkan lagi, beginilah kondisi kampung kita.” Jelas Amak saat kuhempaskan keluh untuk kesekian kalinya.
            “Anak-anak di kampung ini sudah lupa dengan agama. Tak sama seperti kau dulu.”
            “Baru saja Amak dapat kabar tentang si Ina lari dengan pacarnya karena Amak sama Ayahnya tak memperbolehkan ia pacaran diusianya baru lima belas tahun.” Amak kembali mengurai cerita baru dan aku hanya mampu menahan perih di sudut bola mataku. Karena aku sudah kehabisan kata untuk berucap.
Tapi masih ada satu tanya yang belum juga kutemukan jawabannya dari Amak, tentang Nur sahabat kecilku yang selalu menjadikan aku iri terhadapnya. Dengan peringkat pertama yang selalu ia raih. Namun rasa iri yang kumiliki tak membuatku untuk membencinya. Malah aku dan Nur sangat dekat hingga orang-orang mengira kami adalah saudara kembar. Padahal aku dan Nur sama sekali tak memiliki hubungan darah. Namun ketika kuputuskan melanjutkan Sekolah ke Jawa persahabatanku mulai memudar. Aku tak lagi menemukan balasan surat yang selalu kukirimkan untuknya.
“Mak, Nur ada dimana?” Tanyaku lagi.
Hening
“Esok kau juga akan tahu Nur ada dimana.” Jawab Amak dengan wajah berubah mendung. Dan aku hanya diam setiap kali mendengarkan jawaban senada dari Amak setiap kali kutanyakan tentang Nur.
“Semoga kau baik-baik saja Nur .” Aku membatin menatap purnama berharap kutemukan wajah Nur disana bukan. Di simpang jalan-jalan yang kutemui perempuan yang menjelma menjadi bunga-bunga yang tak bernyawa.
***
Dua bulan sudah kutempati kampung kelahiranku. Dan esok aku harus kembali, bukan kembali ke Jawa, tapi ke Ibu Kota Provinsiku sebagai status Mahasiswa di Universitas Negeri. Namun sampai hari aku belum juga menemukan wajah Nur, sahabatku.
“Dil, Nur sudah pulang, temui lah!” Ujar Amak memegang pundakku.
“Benar Mak?”Tanyaku tak percaya.
Amak hanya mengaguk dengan wajah yang kian mendung.
Kupercepat langkahku ingin segera sampai ke rumah Nur. Melepas rindu dengan sebuah pelukan. Namun langkahku terhenti ketika baru saja kulihat bibir pintu rumah Nur. Perempuan itu menghentikan langkahku. Perempuan yang tak lagi asing dipelupuk mataku. Tapi kali ini perempuan itu berbaju mini yang memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan jelas. Bukan  seperti Nur yang pernah kukenal beberapa tahun yang lalu.
“Nur.” Sapaku dengan suara bergetar.
“Dila.” Balasnya dengan tatapan kaget yang kubaca pada sepasang matanya yang tak lagi jernih.
“Lama tidak berjumpa, apa kabar? Tanyanya kikuk.
“Baik.” Jawabku tak melepas tatapan ke arah wajahnya yang sudah dipenuhi warna.  Tiba-tiba deringan hp miliknya memcahkan kekauan diantara kami.  Kudengar ia menerima telpon itu dengan suara menggoda.
“Dil, maaf aku harus pergi sekarang.” Ujarnya saat menyelesaikan telpon. Dan aku hanya menjawab dalam diam bersama rasa yang tak mampu kubentuk.
***
“Maafkan Amak harus menyembunyikan tentang Nur kepadamu, karena Amak tak ingin menjadikan kau luka.” Ujar Amak mengurai  semua cerita tentang Nur yang memilih menjual dirinya karena masa depannya sudah hancur oleh lelaki yang ia puja namun tidak ingin bertanggung jawab setelah menanm janin dalam rahimnya. Dan Ayah yang satu-satunya yang ia miliki menghabiskan napasnya karena tak sanggup menanggung aib yang dibawa anaknya.
“Jika sudah besar nanti aku ingin sekali menjadi dokter.” Mimpi yang pernah dikatakan Nur masih melintas-lintas di benakku. Namun  kini mimpi itu tenggelam bersama aroma wangi kampungku yang mulai hilang.


Tidak ada komentar: