Senja berarak di bibir langit membawa petang tenggelam di
ufuk barat. Aku masih disini, duduk bersila diatas pondok tanpa
dinding,membiarkan semilir menari diujung jilbabku. Dan aku melempar pandangan padangan pada hamparan
padi yang menguning yang mulai tersapu jingga. Sekali-kali sepasang mataku
menangakap sosok-sosok wanita paroh baya yang usianya tak jauh terpaut dari
usia Amak. Langkah-langkahnya tersusun rapi menelusuri tebing-tebing sawah
dengan cangkul yang tegenggam dalam jemarinya.
Di sini aku masih mencium aroma wangi kampungku sama seperti dulu, ketika rambutku
masih dikucir dua. Tapi kenapa aroma ini tak kutemukan lagi di setiap sudut
gang gang di kampungku. Yang kutemui hanya aroma yang kian membusuk setiap
harinya.
“Kau tahu Ris, Putri anak Etek Bungsu ketahuan hamil.”
Sebaris kalimat yang berayun di bibir Amak kembali menyinggahi benakku. Dan
kalimat itu bukan untuk angka pertama kalinya aku temui. Tapi untuk angka yang
tak mampu lagi kuhitung banyaknya. Sejak aku masih berstatuskan Santri di salah
satu Pondok Pesantren yang berada di Jawa. Dan kini ketika aku mulai
meninggalkan usia remajaku. Aku bukan hanya mendengarkan kalimat Amak. Tapi aku
melihatnya sendiri cerita-cerita miris yang menjadikan aroma religius kampungku
menghilang.
“Dila,
muo baliok wak le.” Suara Amak
membuyarkan lamunanku.
Kuikuti langkah perempuan yang bersatus Amak kandungku
itu. bersama dengan beberapa perempuan yang sebaya dengan Amak.
“Kau pasti sangat bangga memiliki anak seperti Dila.”
Bisik Tek Atun yang menyimpul senyum di wajah Amak.
“Andai saja Putri seperti Dila, tentu Amaknya tak akan
duduk diatas kursi Roda.” Sesal Tek Atun membuka cerita Putri yang masih
memiliki hubungan darah dengannya.
Diatas purnama mulai menggantung namun tak mampu
menjadikan hatiku hangat. Hanya ngilu yang mengiri langkah pulangku.
***
Surau
yang kutempati sudah banyak berubah. Dindingnya tak lagi lapuk seperti dulu
ketika aku masih mengeja alif bha tha disini. Tapi dinding-dinding surau yang
kokoh dengan keramik sebagai lantainya hanya mati dalam kebisuan. Tak ada lagi
lantunan sholawat, tak ada lagi pukulan rabbana, ataupun senandung al-qur’an.
Walaupun sudah hampir satu bulan aku menjadi tenaga pengajar di surau ini. Yang
kutemui semakin hari suaru ini semakin bisu dengan wajah-wajah itu itu saja.
“Lia,
kenapa tidak datang mengaji lagi Dina?” Tanyaku kepada gadis yang berumur dua
belas tahun itu. Setelah tak kutemui wajah Lia Sahabatnya hadir di Surau ini
seperti biasa.
“Katanya
dia mau menonton kayboard Umi.” Jawaban senada yang keluar dari bibir Dina,
yang menjadikan hatiku teriris. Gadis kecil seperti Lia yang baru saja memulai
usia remaja lebih memilih kayboard daripada mengaji.
***
“Sudahlah
Dila tak usah kau pikirkan lagi, beginilah kondisi kampung kita.” Jelas Amak
saat kuhempaskan keluh untuk kesekian kalinya.
“Anak-anak
di kampung ini sudah lupa dengan agama. Tak sama seperti kau dulu.”
“Baru
saja Amak dapat kabar tentang si Ina lari dengan pacarnya karena Amak sama
Ayahnya tak memperbolehkan ia pacaran diusianya baru lima belas tahun.” Amak
kembali mengurai cerita baru dan aku hanya mampu menahan perih di sudut bola
mataku. Karena aku sudah kehabisan kata untuk berucap.
Tapi masih ada satu tanya yang belum juga kutemukan jawabannya
dari Amak, tentang Nur sahabat kecilku yang selalu menjadikan aku iri
terhadapnya. Dengan peringkat pertama yang selalu ia raih. Namun rasa iri yang
kumiliki tak membuatku untuk membencinya. Malah aku dan Nur sangat dekat hingga
orang-orang mengira kami adalah saudara kembar. Padahal aku dan Nur sama sekali
tak memiliki hubungan darah. Namun ketika kuputuskan melanjutkan Sekolah ke
Jawa persahabatanku mulai memudar. Aku tak lagi menemukan balasan surat yang
selalu kukirimkan untuknya.
“Mak, Nur ada dimana?” Tanyaku lagi.
Hening
“Esok kau juga akan tahu Nur ada dimana.” Jawab Amak
dengan wajah berubah mendung. Dan aku hanya diam setiap kali mendengarkan
jawaban senada dari Amak setiap kali kutanyakan tentang Nur.
“Semoga kau baik-baik saja Nur .” Aku membatin menatap
purnama berharap kutemukan wajah Nur disana bukan. Di simpang jalan-jalan yang
kutemui perempuan yang menjelma menjadi bunga-bunga yang tak bernyawa.
***
Dua bulan sudah kutempati kampung kelahiranku. Dan esok
aku harus kembali, bukan kembali ke Jawa, tapi ke Ibu Kota Provinsiku sebagai
status Mahasiswa di Universitas Negeri. Namun sampai hari aku belum juga
menemukan wajah Nur, sahabatku.
“Dil, Nur sudah pulang, temui lah!” Ujar Amak memegang
pundakku.
“Benar Mak?”Tanyaku tak percaya.
Amak hanya mengaguk dengan wajah yang kian mendung.
Kupercepat langkahku ingin segera sampai ke rumah Nur.
Melepas rindu dengan sebuah pelukan. Namun langkahku terhenti ketika baru saja
kulihat bibir pintu rumah Nur. Perempuan itu menghentikan langkahku. Perempuan
yang tak lagi asing dipelupuk mataku. Tapi kali ini perempuan itu berbaju mini
yang memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan jelas. Bukan seperti Nur yang pernah kukenal beberapa
tahun yang lalu.
“Nur.” Sapaku dengan suara bergetar.
“Dila.” Balasnya dengan tatapan kaget yang kubaca pada
sepasang matanya yang tak lagi jernih.
“Lama tidak berjumpa, apa kabar? Tanyanya kikuk.
“Baik.” Jawabku tak melepas tatapan ke arah wajahnya yang
sudah dipenuhi warna. Tiba-tiba deringan
hp miliknya memcahkan kekauan diantara kami.
Kudengar ia menerima telpon itu dengan suara menggoda.
“Dil, maaf aku harus pergi sekarang.” Ujarnya saat
menyelesaikan telpon. Dan aku hanya menjawab dalam diam bersama rasa yang tak
mampu kubentuk.
***
“Maafkan Amak harus menyembunyikan tentang Nur kepadamu,
karena Amak tak ingin menjadikan kau luka.” Ujar Amak mengurai semua cerita tentang Nur yang memilih menjual
dirinya karena masa depannya sudah hancur oleh lelaki yang ia puja namun tidak
ingin bertanggung jawab setelah menanm janin dalam rahimnya. Dan Ayah yang
satu-satunya yang ia miliki menghabiskan napasnya karena tak sanggup menanggung
aib yang dibawa anaknya.
“Jika sudah besar nanti aku ingin sekali menjadi dokter.”
Mimpi yang pernah dikatakan Nur masih melintas-lintas di benakku. Namun kini mimpi itu tenggelam bersama aroma wangi
kampungku yang mulai hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar