Minggu, 25 Desember 2011

Aku dan Wanita Bermata Teduh

Surau itu masih kuraskan kesejukannya mengalir ke uluh hatiku. Di surau inilah pertama kali aku mengenalnya, merangkai cerita demi cerita bersamanya walaupun hanya dalam puluhan hari, namun ia mampu menorah warna di lembar hiupku yang pudar dan kusut.
            “Anak-anak, ini Kak Cahaya yang akan mengajarkan kalian  untuk sementara.” Umi Aida guru mengaji kami mengenalkan wajah yang belum pernah kutemui di Desaku.
            Perempuan itu tersenyum. Dari kedua bola matanya menyuluhkan teduh. Nur Cahaya seseorang yang hanya kukenal dalam puluhan hari. Seorang Mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di Provinsiku. Keberadaannya di Desaku adalah untuk melaksnakan KKN.Kak Cahaya, begitu aku memanggilnya. Kehadirannya membawa segelas mimpi untuk mengisi ruang jiwaku yang hampa.

Aku Fatimah, gadis kecil yang menyeduh serapah dan melumat maki yang selalu keluar dari seorang lelaki paroh baya yang berstatus Ayah kandungku. Jika ada yang mengatakan ada Ayah yang membenci anak kandungnya sendiri, maka akulah salah satunya. Ayah membenciku,  aku bisa melihat kebencian itu dari tatapan ke dua bolo matanya. Ia begitu jijik denganku hanya karena aku gadis pincang yang tak pernah ia inginkan lahir ke dunia ini, sangat berbeda dengan kedua orang Kakakku yang hampir sempurna. Sebagai orang cukup terpandang di Desaku tentu Ayah sangat malu memilki anak sepertiku. Hanya peri yang kupanggil ibu yang mengepakkan sayapnya untuk melidungiku, namun peri itu terbang ke langit saat seragam putih dongker masih membungkus tubuhku. Dan aku tertimbun oleh pedih.
            “Kau itu anak tidak berguna.”
Kembali kuterima makian Ayah saat aku ingin melihatkan ulanganku yang mendapatkan 90 kepadanya, tapi baru sebaris kalimatku bergetar ia terlebih dahulu menyemburku dengan sumpah serapah seperti biasa yang ia lakukan kapadaku. Membuat perih di hatiku menggumpal. Namun aku ingat nasehat-nasehat Ibu.
            “Fatimah harus buat Ayah bangga memiliki anak seperti Fatimah, Ibu yakin ada ruang cinta dihati Ayah untuk Fatimah, hanya saja ruang itu masih kelam Nak.” Nasehat Ibu setiap kali aku mengurai air mata setelah menadapatkan makian dari Ayah. Dan nasehat yang sama juga kudapatkan dari wanita bermata teduh itu.
            “Kakak yakin adik pasti bisa! Ia menguatkanku saat aku hampir rapuh.
            Nur Cahaya ia menjelma  menjadi peri yang mengepakkan sayapnya untuk melidungiku sama seperti yang pernah Ibu lakukan untukku. Hanya dia lah satu-satunya orang yang menggap kehadiranku ada di dunia ini setelah Ibu pergi ke langit. Sedangkan Kakakku. Jannah dan Miftah entahlah tak pernah kutemukan cinta dimata mereka seperti aku yang melihat pancaran cinta di mata Kak cahaya.
            “Sukses itu milik semua orang dik.” Ia kembali menguatkanku saat aku mulai meragukan kemampuanku untuk meraih mimpiku karena aku hanya lah seorang gadis pincang.
            “kakak yakin suatu hari nanti Kakak akan melihat kesusksesan Fatimah.” Ia meyakinkanku dengan sorot mata teduh yang membuat aku nyaman berada di sampingnya.
            Dan nasehatnyalah yang kemudian yang membawa aku lulus di salah satu Universitas Negeri di Propinsiku dengan beasiswa dan aku mulai mampu menyentuh hati Ayah. Membuka kelam tempat ruang cintaku tersimpan saat kubawa selembar bahagia untuknya.
            “Maafkan Ayah Nak.” Ia merangkulku ke dalam pelukannya untuk pertama kalinya disepanjang napasku dengan isak sesal yang bergemuruh. Membuat sesak diujung mataku tak mampu kubendung. Setelah kurasakan cinta Ayah mengalir segera ku pencet no hp Kak cahaya, tak sabar rasanya aku membagikan sejuta bahagiaku untuknya dengan rindu yang membahana karena sudah hampir sebulan tidak ada komunikasi diantara kami karena aku takut menggagu konsentrasinya yang sedang menyusun skripsi.
            “Assalamu’alaikum.” Jawab suara di seberang sana.
            “Maaf Pak, bisa bicara dengan Kak Cahya?” Tanyaku saat mendengarkan suara laki-laki yang menjawab teleponku.
            Hening.
            “Maaf Pak, bisa bicara dengan Kak Cahaya?” Tanyaku lagi.
            “Cahaya telah pergi.” Jawab suara itu mendung.
            Aku diam seperti ada ribuan duri yang menusuk-nusuk hatiku saat mendengarkan uraian cerita tentang kecelakaan yang menimpa Kak Cahaya dua minggu yang lalu. Nyawanya tidak tertolong.
            Kulihat mentari yang mulai menyembunyikan wajah bulatnya di antara awan-awan jingga yang berserakan di kaki langit. Kak cahaya telah berada di langit sana menemani Ibu ketika belum sempat kulihatkan separuh mimpi telah kurangkul. Tak kan pernah kutemui lagi mata teduhnya yang membuat aku nyaman berada di sampingnya.
            “Kak, lihatlah aku bisa sukses.” Ujarku penuh sesak dengan linangan air mata luka.
            Allahu Akbar, Allahu Akbar...Allahu Akbar
            Adzan magrib berkumandang di surau ini. Surau pertemuan kami dalam puluhan hari. Aku melangkahkan kaki memasuki surau yang masih kurasakan sejuknya mengalir. Merangkai juta’an doa untuknya. Wanita bermata teduh.
            “Selamat jalan kak, semoga kau selalu bahagia disana.” Akhirku pilu.
           
            Terbit di Riau Pos

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Sungguh indah ukhuwah mereka berdua

aida mardiah mengatakan...

Suka dengan cerpen mu dik, sedih, tapi mengapa di akhirnya kak cahaya harus meninggal ya?
he..he tak apa lah, inilah ciri khasnya Ematul hasanah. Pertahankan dik.