Selasa, 07 Februari 2012

Masih Ada Cinta Untukku


         
Oleh: Ematul Hasanah
            “Masih adakah cinta untuk ku Mak?” Tanyaku pilu  menatap luka yang masih menyisahkan darah di lenganku. Memaksa bulir-bulir hangat mengalir di ujung bola mataku. Namun luka yang membekas di hatiku jauh lebih perih.
            “Dasar kau anak tak berguna!” Maki Emak sambil memukulku bertubi-tubi dengan ranting rambutan.
            “Sakit Mak.” Rintihku.
            “Kau selalu saja menyusahkan aku, sama seperti Abahmu.” Tatap Emak tajam penuh benci.
            “Mak, bukan Nur yang salah.” Iskaku menguap.
            Namun Emak kembali memukulku tanpa ingin mendengarkan penejelasan dari bibirku.

            Sepulang Sekolah Emaknya Ayu mendatangi rumahku langsung menuduhku sebagai pencuri padahal itu tidak benar sama sekali. Ayu adalah teman sebangku  namun ia selalu saja menggapku sebagai saingan yang harus ia singkirkan dengan cara apapun dan mejatuhkanku di depan Emak adalah cara yang terbaik karena ia tahu Emak membenciku. Ya Emak membenciku. Emak memukulku bukan untuk angka yang pertama, tapi untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi. Sejak rambutku masih dikepang dua.
            Begitulah Emak yang kukenal, tak pernah kujumpai hangat kasihnya mengembun dihatiku. Hanya Nenek yang ada membelaku saat ribuan makian Emak kuterima. Mengobati luka-lukaku saat Emak memukulku. Dimata Emak sikapku tidak ada yang benar selalu saja salah hingga akhirnya aku mulai menemukan jawaban dari sikap-sikap Emak yang menandakan Emak sangat membenciku.
            “Abahmu, menikah dengan wanita lain  saat   merantau ke Malaysia dan tidak pernah pulang hanya sepucuk surat saja yang ia tinggalkan untuk Emakmu yang meminta Emakmu tidak lagi menunggu kepulangannya, ketika itu  kau masih enam bulan di rahim Emakmu.” Jelas Nenek saat kutanyakan keberadaan Abah.
            Dan kepergian Abah lah yang menyuburkan luka di hati Emak. Luka yang membuatnya menghabiskan sisa hidupnya di bawah terik mentari menggarap beberapa petak sawah untuk membesarkanku. Dan kepergian Abah lah yang memupuk  rasa benci tumbuh merekah untukku hanya Nenek satu-satunya yang mengagap kehadiranku ada, namun ketika baru saja aku melepas seragam merah putih. Nenek pergi selamanya meninggalkan aku dan Emak.
            “Nur, percayalah Emak sayang sama Nur karena Nur lahir dari rahimnya dan di dalam darah Nur juga mengalir darah Emak, hanya saja ruang itu masih tertutup, Nenek yakin Nur mampu menuju jalan untuk membuka hati Emak.” Nasehat terakhir Nenek  yang mampu membuat aku  bertahan tinggal bersama Emak.
Namun walaupun telah kuhadiahkan jutaan prestasi untuknya tetap saja aku tak menemukan jalan menuju hati Emak. Emak masih meracau, memarahi,bahkan memukulku jika kelakuaanku tidak seperti yang ia harapkan.
“Sini Mak Cik obati lukamu.” Suara lembut wanita paroh baya  itu memecahkan lamunanku, ia  meraih lenganku. Semenjak Emak memukulku beberapa hari yang lalu aku pergi meninggalkan rumah karena sudah   tidak ada alasan lagi untuk ku bertahan disana dengannya wanita yang tak pernah kutemukan cinta pada sepasang matanya.
            Kutatap wajah wanita yang berstatus Emak kandung sahabatku  itu seinci demi seinci.
            “Andai saja dia adalah Emakku.” Harapku pilu.
***
            Petang berataburan di kaki langit yang mulai jingga membawa semilir ke setiap sudut. Aku masih menghitung beberapa lembar uang sepuluh ribu  dari hasil jualan hari ini.  Semenjak  Ratna bersedia menampung kehadiranku di rumanya,  aku ikut membantu keluarganya yang memiliki usaha rumah makan kecil-kecilan. Uang dari hasil kerjaku kujadikan sebagai biaya hidupku.
            “Nur.” Suara itu menyapaku.
            Kedua bola mataku beralih kepada pemilik suara yang tak asing terdengar di daun telingaku.
            “Nek Atun,” ucapku kaget saat melihat wanita tua sebagai tetanggaku itu berada di depanku.
            “Kau disini?” Tanyanya.
            Aku mengaguk.
            “Kau tak pulang?” Tanyanya lagi.
            Hening.
            “Emak kau sakit.” Lanjutnya yang membuat bibirku kelu untuk menjawab.
***
            “Emak kau tak pernah membencimu Nur,” ucapan Nek Atun kembali melintas di benakku. Sebaris kata yang kuterima saat kukatakan kenapa aku mesti pulang bukankah Emak membenciku.
            “Kau tahu Nur? Mak kau selalu membanggakanmu di depan Nenek , menceritakan tentang prestasi-prestasimu bahkan Emakmu sudah menabung untuk biaya kau bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi, dia  sangat menyayangimu.” Tiba-tiba saja ada haru yang bergemuruh di hatiku saat mendengarkan penjelasan yang mengurai dari bibir Nek Atun.
            Kupercepat langkahku dengan rindu yang menyesak dada ingin segera bertemu Emak.
            “Emak...” Panggilku sesampai di daun pintu rumah kami, namun tak ada jawaban.
            Kucari disetiap sudut dan kutemukan tubuh bongsor Emak duduk di beranda rumah.
            “Kau dah pulang?” Tanyanya masih membelakangiku.
            “Udah Mak.” Jawabku ragu-ragu duduk di sampingnya.
            Hening
            Kutatap Emak dalam, wajahnya pucat dengan kedua bola matanya menatap senja yang mulai tenggelam, masih kulihat luka bergantung sesal di sana bersama bening yang menumpuk di matanya dengan kedua jemarinya menggegam sebuah kotak.
            “Ini untukmu!” ucapnya sambil menyerahkan kotak itu ke arahku.
            “Maaf, Emak tak bisa memberimu apa-apa. Jadi hanya ini yang mampu Emak berikan setelah bertahun-tahun kamu berulang tahun” Setangkai mawar tumbuh di wajahku saat mendengarkan ucapan Emak yang masih ingat dengan hari lahirku.
            Perlahan kubuka kotak pemberian Emak dan kulihat sepasang sepatu mungil yang pernah kulihat di sebuah toko saat aku menemani Emak ke pasar.
            “Mak lihat sepatu kau dah koyak.” Lanjut Emak menatapku yang membuat air mata haruku menitik.
            Tiba-tiba mata kami bertemu dan kulihat masih ada cinta pada sepasang  mata teduh miliknya.
           

                                                                                                        

Tidak ada komentar: