Oleh: Ematul
Hasanah
“Masih adakah cinta untuk ku Mak?”
Tanyaku pilu menatap luka yang masih
menyisahkan darah di lenganku. Memaksa bulir-bulir hangat mengalir di ujung
bola mataku. Namun luka yang membekas di hatiku jauh lebih perih.
“Dasar kau anak tak berguna!” Maki
Emak sambil memukulku bertubi-tubi dengan ranting rambutan.
“Sakit Mak.” Rintihku.
“Kau selalu saja menyusahkan aku,
sama seperti Abahmu.” Tatap Emak tajam penuh benci.
“Mak, bukan Nur yang salah.” Iskaku menguap.
Namun Emak kembali memukulku tanpa
ingin mendengarkan penejelasan dari bibirku.
Sepulang Sekolah Emaknya Ayu
mendatangi rumahku langsung menuduhku sebagai pencuri padahal itu tidak benar
sama sekali. Ayu adalah teman sebangku namun ia selalu saja menggapku sebagai saingan
yang harus ia singkirkan dengan cara apapun dan mejatuhkanku di depan Emak
adalah cara yang terbaik karena ia tahu Emak membenciku. Ya Emak membenciku.
Emak memukulku bukan untuk angka yang pertama, tapi untuk angka yang tak mampu
kuhitung lagi. Sejak rambutku masih dikepang dua.
Begitulah Emak yang kukenal, tak
pernah kujumpai hangat kasihnya mengembun dihatiku. Hanya Nenek yang ada
membelaku saat ribuan makian Emak kuterima. Mengobati luka-lukaku saat Emak
memukulku. Dimata Emak sikapku tidak ada yang benar selalu saja salah hingga akhirnya
aku mulai menemukan jawaban dari sikap-sikap Emak yang menandakan Emak sangat
membenciku.
“Abahmu,
menikah dengan wanita lain saat merantau ke Malaysia dan tidak pernah pulang
hanya sepucuk surat saja yang ia tinggalkan untuk Emakmu yang meminta Emakmu
tidak lagi menunggu kepulangannya, ketika itu
kau masih enam bulan di rahim Emakmu.” Jelas Nenek saat kutanyakan
keberadaan Abah.
Dan
kepergian Abah lah yang menyuburkan luka di hati Emak. Luka yang membuatnya
menghabiskan sisa hidupnya di bawah terik mentari menggarap beberapa petak
sawah untuk membesarkanku. Dan kepergian Abah lah yang memupuk rasa benci tumbuh merekah untukku hanya Nenek
satu-satunya yang mengagap kehadiranku ada, namun ketika baru saja aku melepas
seragam merah putih. Nenek pergi selamanya meninggalkan aku dan Emak.
“Nur,
percayalah Emak sayang sama Nur karena Nur lahir dari rahimnya dan di dalam
darah Nur juga mengalir darah Emak, hanya saja ruang itu masih tertutup, Nenek
yakin Nur mampu menuju jalan untuk membuka hati Emak.” Nasehat terakhir
Nenek yang mampu membuat aku bertahan tinggal bersama Emak.
Namun walaupun telah kuhadiahkan jutaan prestasi untuknya
tetap saja aku tak menemukan jalan menuju hati Emak. Emak masih meracau,
memarahi,bahkan memukulku jika kelakuaanku tidak seperti yang ia harapkan.
“Sini Mak Cik obati lukamu.” Suara lembut wanita paroh
baya itu memecahkan lamunanku, ia meraih lenganku. Semenjak Emak memukulku
beberapa hari yang lalu aku pergi meninggalkan rumah karena sudah tidak
ada alasan lagi untuk ku bertahan disana dengannya wanita yang tak pernah
kutemukan cinta pada sepasang matanya.
Kutatap wajah wanita yang berstatus
Emak kandung sahabatku itu seinci demi
seinci.
“Andai saja dia adalah Emakku.”
Harapku pilu.
***
Petang berataburan di kaki langit
yang mulai jingga membawa semilir ke setiap sudut. Aku masih menghitung
beberapa lembar uang sepuluh ribu dari
hasil jualan hari ini. Semenjak Ratna bersedia menampung kehadiranku di
rumanya, aku ikut membantu keluarganya
yang memiliki usaha rumah makan kecil-kecilan. Uang dari hasil kerjaku
kujadikan sebagai biaya hidupku.
“Nur.” Suara itu menyapaku.
Kedua bola mataku beralih kepada
pemilik suara yang tak asing terdengar di daun telingaku.
“Nek Atun,” ucapku kaget saat
melihat wanita tua sebagai tetanggaku itu berada di depanku.
“Kau disini?” Tanyanya.
Aku mengaguk.
“Kau tak pulang?” Tanyanya lagi.
Hening.
“Emak kau sakit.” Lanjutnya yang
membuat bibirku kelu untuk menjawab.
***
“Emak kau tak pernah membencimu Nur,”
ucapan Nek Atun kembali melintas di benakku. Sebaris kata yang kuterima saat
kukatakan kenapa aku mesti pulang bukankah Emak membenciku.
“Kau tahu Nur? Mak kau selalu membanggakanmu
di depan Nenek , menceritakan tentang prestasi-prestasimu bahkan Emakmu sudah
menabung untuk biaya kau bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi, dia sangat menyayangimu.” Tiba-tiba saja ada haru
yang bergemuruh di hatiku saat mendengarkan penjelasan yang mengurai dari bibir
Nek Atun.
Kupercepat langkahku dengan rindu
yang menyesak dada ingin segera bertemu Emak.
“Emak...” Panggilku sesampai di daun
pintu rumah kami, namun tak ada jawaban.
Kucari disetiap sudut dan kutemukan
tubuh bongsor Emak duduk di beranda rumah.
“Kau dah pulang?” Tanyanya masih
membelakangiku.
“Udah Mak.” Jawabku ragu-ragu duduk
di sampingnya.
Hening
Kutatap Emak dalam, wajahnya pucat
dengan kedua bola matanya menatap senja yang mulai tenggelam, masih kulihat
luka bergantung sesal di sana bersama bening yang menumpuk di matanya dengan
kedua jemarinya menggegam sebuah kotak.
“Ini untukmu!” ucapnya sambil
menyerahkan kotak itu ke arahku.
“Maaf, Emak tak bisa memberimu
apa-apa. Jadi hanya ini yang mampu Emak berikan setelah bertahun-tahun kamu
berulang tahun” Setangkai mawar tumbuh di wajahku saat mendengarkan ucapan Emak
yang masih ingat dengan hari lahirku.
Perlahan kubuka kotak pemberian Emak
dan kulihat sepasang sepatu mungil yang pernah kulihat di sebuah toko saat aku
menemani Emak ke pasar.
“Mak lihat sepatu kau dah koyak.”
Lanjut Emak menatapku yang membuat air mata haruku menitik.
Tiba-tiba mata kami bertemu dan
kulihat masih ada cinta pada sepasang mata teduh miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar