Oleh: Ematul
Hasanah
Aku
menyembunyikan wajahku yang merona saat membaca biodata Ikhwan yang di bawakan
oleh Mbak Ayu. Perempuan yang hampir sembilan tahun aku mengenalnya sejak ia
menjadi seniorku saat aku masih di bangku SMA hingga kami dipertemukan kembali
di Universitas yang sama dan Mbak Ayu lah perempuan pertama yang mengenalkan
aku pada Tarbiyah.
“Gimana
Dee?Tanya Mbak Ayu.
“InsyaAllah
dia lelaki yang sholeh.” Lanjut Mbak Ayu ketika mendapatiku belum bersuara.
“Orangnya
gimana Mbak? Tanyaku membuka suara.
“Yang
Mbak dengar dia adalah Ikhwan pekerja karas, amanah, public speakingnya oke dia selalu memegang jabatan terpenting di
organisasi keisalaman, tapi...”
“Tapi
apa Mbak? Apakah dia suka nulis puisi? Dia seorang penyair ya Mbak? Potongku
dengan pertanyaan bertubi-tubi berharap jawaban yang meluncur dari bibir Mbak
Ayu adalah ya. Namun bukan jawaban yang kuterima tetapi kedua bola mata Mbak
Ayu yang menatapku dalam.
“Mbak.”
Desiku mulai salah tingkah dengan tatapan Mbak Ayu.
“Kalau
ia kenapa? Kalau nggak kenapa?” Mbak Ayu kembali bertanya dengan tatapan
menggoda.
“Hmm
kalau dia jago nulis puisi kan romantis Mbak nanti kami bisa saling balas puisi
bahkan kami bisa nulis buku bersama.” Jawabku kali ini membenamkan wajahku yang
kian merah.
“Mungkin
suka, tapi belum pernah terbit.”
Aku
meraih kembali biodata yang dibawakan Mbak Ayu.
“Muhamad
Irfan,” ucapku sambil menatap foto ikhwan berkaca mata itu yang berbeda Universitas denganku. Dan hanya
berjarak dua tahun lebih tua dariku.
“Kamu
istikarah dulu Dee.” Nasehat Mbak Ayu melihat keraguan di wajahku.
Biodata
yang dibawakan Mbak Ayu kali ini bukan untuk yang pertama, tapi untuk yang
ketiga kalinya setelah beberapa kali aku menolak biodata Ikhwan yang
ditawarakan Mbak Ayu sebelumnya kepadaku
karena saat itu selain aku belum siap untuk menikah di umurku yang masih 22
Tahun, aku juga berharap lelaki yang menjadi pendampingku itu adalah penyair
sama sepertiku.sejak seragam putih abu-abu membungkus tubuhku aku sangat
menyukai puisi hingga berlanjut di dunia perkulihan yang kemudian membawaku
menjadi penyair muda yang beberapa kali mendapatkan penghargaan. Tapi sekarang
ketika umurku hampir memasuki 25 tahun tidak ada lagi alasanku untuk menolak
walaupun seandainya lelaki yang akan menjadi pendampingku itu bukanlah penyair
seperti yang kuharapkan.
“InsyaAllah
Mbak secepatnya Dee akan memberikan jawaban.”
***
Satu
tahun sudah berlalu sejak Mbak Ayu menawarkan biodata Ikhwan yang sekarang sudah
menjadi suamiku. Namun sumiku bukan sama sekali lelaki romantis seperti yang
kuharapkan. Jangankan untuk membuat puisi ataupun membawa sekuntum mawar
untukku. Untuk mengeluarkan kata-kata saja dia sangat irit. Jika kutanya a maka
akan di jawab a, itupun selalu aku yang memulai cerita dengannya. Suamiku
cendrung cuek dan pendiam.Bahkan ketika kuminta ia bercerita sesuatu yang lucu
dia akan terlihat garing yang membuat tawaku pecah bukan karena cerita lucunya,
tapi kerena dirinya sendiri. Mas Irfan lebih suka menghabiskan hari-harinya
dengan tumpukan buku-bukunya dan juga menatap komputernya dibandingkan berduan denganku. Dan itu membuat
aku cemburu, memang itu tidak masuk akal aku harus cemburu dengan benda mati
seperti itu. Namun dibalik sikap cuek dan pendiamnya Mas Irfan adalah imam yang
baik untukku. Setiap hari inbox hp ku tak pernah absen dari sms taujih darinya
padahal setiap kali selesai sholat berjamaah dia juga selalu memberiku
nasehat-nasehat ataupun saling tadabur al-qur’an. Dan juga mengingatkan aku
ketika aku lupa.
“Umi,
kaus kakinya mana?” Tegurnya saat aku ingin ke warung yang berada di samping
rumah.
“Umi
lebih anggun jika jilbabnya lebih di panjangkan.” Tegurnya lagi ketika jilbab
yang kugunakan kependekan.
Dan aku
yakin dari sikapnya dia sangat mencintaiku. Hanya saja sikap cueknya itu yang
selalu membuatku uring-uringan padahal aku ingin seperti orang pacaran
dengannya ngobrol-ngobrol gitu. Eh malah Mas Irfan lebih senang ngobrol dengan
komputernya mentang-mentang seorang programer.
“Mbak,
aku jadi kangen denganmu.” Lirihku mengenang wajah Mbak Ayu. Setelah hari
pernikhanku Mbak Ayu pindah ikut bersama suaminya ke Sumatra yang mebutuhkan
perjuangan mereka utuk mengembangkan dakwah.
***
Tahun
ini memasuki tahun kedua usia pernikahanku dengan Mas Irfan. Kali ini tak lagi
berdua. Ada kehadiran Tiara kecil buah cinta kami yang baru berumur enam bulan.
Namun sikap Mas Irfan tak berubah tetap pendiam dan cuek ketika kumengajarinya
menjadi lelaki romantis.
“Jika
suamimu tidak romantis kamu seharusnya yang mengajarinya.” Nasehat Ria teman
yang satu mengajar denganku saat kukeluhkan sikap cuek Mas Irfan, tapi sudah
beberapa kali kucoba tetap saja Mas Irfan tidak respon.
“Mas,
sibuk? Tanyaku saat melihat Mas Irfan merenung di beranda rumah.
“Nggak.”
Jawabnya singkat menatapku sekilas.
Seulas
senyum mengembang di wajahku.
“Mungkin
ini adalah waktu yang tepat.” Aku membatin dengan senyum yang masih tersisa.
“Ada
apa?” Tanyanya mentapku heran.
“Mas
tunggu di sini sebentar ya.? Pintaku sambil berlari ke kamar mengambil
selmembar kertas yang berisi puisi paling romantis yang pernah kutulis.
“Dee ada
puisi untuk Mas, dengar ya?”
Mas
Irfan hanya mengaguk.
Kulihat
seulas senyum terbit diwajah Mas Irfan setelah aku selesai membacakan puisi
untuknya.
“Gimana
mas?” Tanyaku dengan hati yang berbunga-bunga karena aku mengira kali ini aku
berhasil.
“Bagus.”
Jawabnya kemudian melangkah meninggalkanku dengan senyum yang masih mengembang.
“Mas mau
kemana?”
“Mas
sudah menemukan ide bagaimana memperbaiki program yang rusak.” Jawabnya cuek
tanpa bersalah.
“Hah
jadi Mas Irfan tersenyum bukan karena puisiku.” Aku membatin menahan geram.
“Dee
Allah menciptakan manusia itu unik dengan kelebihan dan kekurangan. Seperti itu
pun jodoh ibarat langit dan bumi berbeda namun saling melengkapi. Kamu romantis
suamimu tidak” Kembali kuresapi kata-kata Mbak Ayu saat kami dipertemukan
kembali di salah satu jejaring sosial.
“Perbedaan
itu yang akan menjadi indah jika kamu menerima suamimu dengan sempurna.” Lanjut
Mbak Ayu yang membuat sesuatu yang lembut semakin hangat di hatiku
“Mas
Irfan memang bukan lelaki romantis, tapi entah kenapa aku merasa dengan tidak
romantisnya itu membuat aku semakin jatuh cinta kepadanya.” Lirihku dengan
senyum merona kemudian mengejar langkah Mas Irfan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar