Sabtu, 18 Februari 2012

Bukan Lelaki Romantis


Oleh: Ematul Hasanah
            Aku menyembunyikan wajahku yang merona saat membaca biodata Ikhwan yang di bawakan oleh Mbak Ayu. Perempuan yang hampir sembilan tahun aku mengenalnya sejak ia menjadi seniorku saat aku masih di bangku SMA hingga kami dipertemukan kembali di Universitas yang sama dan Mbak Ayu lah perempuan pertama yang mengenalkan aku pada Tarbiyah.
            “Gimana Dee?Tanya Mbak Ayu.
            “InsyaAllah dia lelaki yang sholeh.” Lanjut Mbak Ayu ketika mendapatiku belum bersuara.
            “Orangnya gimana Mbak? Tanyaku membuka suara.
            “Yang Mbak dengar dia adalah Ikhwan pekerja karas, amanah, public speakingnya oke   dia selalu memegang jabatan terpenting di organisasi keisalaman, tapi...”
            “Tapi apa Mbak? Apakah dia suka nulis puisi? Dia seorang penyair ya Mbak? Potongku dengan pertanyaan bertubi-tubi berharap jawaban yang meluncur dari bibir Mbak Ayu adalah ya. Namun bukan jawaban yang kuterima tetapi kedua bola mata Mbak Ayu yang menatapku dalam.
            “Mbak.” Desiku mulai salah tingkah dengan tatapan Mbak Ayu.

            “Kalau ia kenapa? Kalau nggak kenapa?” Mbak Ayu kembali bertanya dengan tatapan menggoda.
            “Hmm kalau dia jago nulis puisi kan romantis Mbak nanti kami bisa saling balas puisi bahkan kami bisa nulis buku bersama.” Jawabku kali ini membenamkan wajahku yang kian merah.
            “Mungkin suka, tapi belum pernah terbit.”
            Aku meraih kembali biodata yang dibawakan Mbak Ayu.
            “Muhamad Irfan,” ucapku sambil menatap foto ikhwan berkaca mata itu  yang berbeda Universitas denganku. Dan hanya berjarak dua tahun lebih tua dariku.
            “Kamu istikarah dulu Dee.” Nasehat Mbak Ayu melihat keraguan di wajahku.
            Biodata yang dibawakan Mbak Ayu kali ini bukan untuk yang pertama, tapi untuk yang ketiga kalinya setelah beberapa kali aku menolak biodata Ikhwan yang ditawarakan Mbak Ayu sebelumnya  kepadaku karena saat itu selain aku belum siap untuk menikah di umurku yang masih 22 Tahun, aku juga berharap lelaki yang menjadi pendampingku itu adalah penyair sama sepertiku.sejak seragam putih abu-abu membungkus tubuhku aku sangat menyukai puisi hingga berlanjut di dunia perkulihan yang kemudian membawaku menjadi penyair muda yang beberapa kali mendapatkan penghargaan. Tapi sekarang ketika umurku hampir memasuki 25 tahun tidak ada lagi alasanku untuk menolak walaupun seandainya lelaki yang akan menjadi pendampingku itu bukanlah penyair seperti yang kuharapkan.
            “InsyaAllah Mbak secepatnya Dee akan memberikan jawaban.”
            ***
            Satu tahun sudah berlalu sejak Mbak Ayu menawarkan biodata Ikhwan yang sekarang sudah menjadi suamiku. Namun sumiku bukan sama sekali lelaki romantis seperti yang kuharapkan. Jangankan untuk membuat puisi ataupun membawa sekuntum mawar untukku. Untuk mengeluarkan kata-kata saja dia sangat irit. Jika kutanya a maka akan di jawab a, itupun selalu aku yang memulai cerita dengannya. Suamiku cendrung cuek dan pendiam.Bahkan ketika kuminta ia bercerita sesuatu yang lucu dia akan terlihat garing yang membuat tawaku pecah bukan karena cerita lucunya, tapi kerena dirinya sendiri. Mas Irfan lebih suka menghabiskan hari-harinya dengan tumpukan buku-bukunya dan juga menatap komputernya  dibandingkan berduan denganku. Dan itu membuat aku cemburu, memang itu tidak masuk akal aku harus cemburu dengan benda mati seperti itu. Namun dibalik sikap cuek dan pendiamnya Mas Irfan adalah imam yang baik untukku. Setiap hari inbox hp ku tak pernah absen dari sms taujih darinya padahal setiap kali selesai sholat berjamaah dia juga selalu memberiku nasehat-nasehat ataupun saling tadabur al-qur’an. Dan juga mengingatkan aku ketika aku lupa.
            “Umi, kaus kakinya mana?” Tegurnya saat aku ingin ke warung yang berada di samping rumah.
            “Umi lebih anggun jika jilbabnya lebih di panjangkan.” Tegurnya lagi ketika jilbab yang kugunakan kependekan.
            Dan aku yakin dari sikapnya dia sangat mencintaiku. Hanya saja sikap cueknya itu yang selalu membuatku uring-uringan padahal aku ingin seperti orang pacaran dengannya ngobrol-ngobrol gitu. Eh malah Mas Irfan lebih senang ngobrol dengan komputernya mentang-mentang seorang programer.
            “Mbak, aku jadi kangen denganmu.” Lirihku mengenang wajah Mbak Ayu. Setelah hari pernikhanku Mbak Ayu pindah ikut bersama suaminya ke Sumatra yang mebutuhkan perjuangan mereka utuk mengembangkan dakwah.
            ***
            Tahun ini memasuki tahun kedua usia pernikahanku dengan Mas Irfan. Kali ini tak lagi berdua. Ada kehadiran Tiara kecil buah cinta kami yang baru berumur enam bulan. Namun sikap Mas Irfan tak berubah tetap pendiam dan cuek ketika kumengajarinya menjadi lelaki romantis.
            “Jika suamimu tidak romantis kamu seharusnya yang mengajarinya.” Nasehat Ria teman yang satu mengajar denganku saat kukeluhkan sikap cuek Mas Irfan, tapi sudah beberapa kali kucoba tetap saja Mas Irfan tidak respon.
            “Mas, sibuk? Tanyaku saat melihat Mas Irfan merenung di beranda rumah.
            “Nggak.” Jawabnya singkat menatapku sekilas.
            Seulas senyum mengembang di wajahku.
            “Mungkin ini adalah waktu yang tepat.” Aku membatin dengan senyum yang masih tersisa.
            “Ada apa?” Tanyanya mentapku heran.
            “Mas tunggu di sini sebentar ya.? Pintaku sambil berlari ke kamar mengambil selmembar kertas yang berisi puisi paling romantis yang pernah kutulis.
            “Dee ada puisi untuk Mas, dengar ya?”
            Mas Irfan hanya mengaguk.
            Kulihat seulas senyum terbit diwajah Mas Irfan setelah aku selesai membacakan puisi untuknya.
            “Gimana mas?” Tanyaku dengan hati yang berbunga-bunga karena aku mengira kali ini aku berhasil.
            “Bagus.” Jawabnya kemudian melangkah meninggalkanku dengan senyum yang masih mengembang.
            “Mas mau kemana?”
            “Mas sudah menemukan ide bagaimana memperbaiki program yang rusak.” Jawabnya cuek tanpa bersalah.
            “Hah jadi Mas Irfan tersenyum bukan karena puisiku.” Aku membatin menahan geram.
            “Dee Allah menciptakan manusia itu unik dengan kelebihan dan kekurangan. Seperti itu pun jodoh ibarat langit dan bumi berbeda namun saling melengkapi. Kamu romantis suamimu tidak” Kembali kuresapi kata-kata Mbak Ayu saat kami dipertemukan kembali di salah satu jejaring sosial.
            “Perbedaan itu yang akan menjadi indah jika kamu menerima suamimu dengan sempurna.” Lanjut Mbak Ayu yang membuat sesuatu yang lembut semakin hangat di hatiku
            “Mas Irfan memang bukan lelaki romantis, tapi entah kenapa aku merasa dengan tidak romantisnya itu membuat aku semakin jatuh cinta kepadanya.” Lirihku dengan senyum merona kemudian mengejar langkah Mas Irfan.

Tidak ada komentar: