Oleh:Ematul Hasanah
“Bodoh.”
Sesalku memukul kepalaku pelan saat aku ketahuan mengupil ketika sedang membaca
buku di perpustakaan sekolah.
Masih ingat
dibenakku tatapan aneh lelaki itu saat mata kami bertemu sedangkan sebelah jari
telunjukku masih tertinggal di bawah lubang hidung. Dengan jurus seribu segera
kutarik telunjukku dan berpura-pura merapikan penampilanku seolah-olah ia tak
melihat apa yang baru saja kulakukan. Kulihat sebaris senyum mengembang di
wajahnya yang memperlihatkan giginya yang putih tersusun rapi dan aku membalas
dengan senyum asam-asam manis kemudian mangajak langkahku meninggalkan ruangan
secepat kilat.
“Bodoh.”
Sesalku lagi.
kenapa aku
mengulangi kembali sikap yang sudah hampir tiga bulan berusaha kutinggalkan
sejak aku mengenal lelaki yang menjadi idola di sekolahku.Bukan hanya dari
golongan shabatku tapi juga golongan para guru-guru yang sangat menyukai lelaki
berdarah korea itu yang wajahnya mirip dengan Teacyoen salah satu aktor korea
yang pernah membintangi drama korea dream high hanya saja Pak Kim Affan begitu
kami memanggilnya berwajah lebih teduh dengan kaca mata yang melingkari kedua
bola matanya dan jenggot tipis yang menghiasi dagunya. Sebenarnya aku lebih
suka memanggil Pak Kim dengan panggilan Oppa karena selain wajah Pak Kim belum
pantas di panggil Bapak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru sekitar 25
seumuran dengan Mbak Ayu, Kakak tertuaku.
Tapi mengingat aturan sekolah dan juga biar tidak ada
yang curiga diam-diam aku juga menggagumi Pak Kim sejak pandangan pertama
ketika ia masuk di kelasku sebagai pengganti guru matematika.Dan aku juga tidak
ingin Pak Kim tahu aku menggaguminya seperti teman-temanku yang lain karena
firasatku mengatakan aku bukanlah wanita yang menjadi impian Pak Kim hingga
sekuat tenaga aku mulai berubah. Aku dulunya yang cuek tidak terlalu peduli dengan
penampilan mulai memperhatikan penampilanku. Menyisir rambutku dengan rapi,
menyetrika bajuku selicin mungkin, menyukai pelajaran metematika yang dari dulu
tak pernah ingin kusentuh, termasuk meninggalkan kebiasaan ngupilku. Tapi kejadian
di pustaka tadi benar-benar membuatku malu.
***
Aku tatap wajah kudalam di depan cermin.wajah putih
dengan alis hitam teratur, hidung mancung yang kuwarisi dari Ayah, dan rambut
hitam panjang terurai yang tak kusut lagi seperti beberapa bulan yang lalu.
“Teranyata aku manis juga ya?” Lirihku dengan senyum tak
henti menatap wajahku.
“Pasti akan lebih manis lagi jika rambut hitammu ini
ditutupi jilbab.” Potong Mbak Ayu, Kakak tertuaku.
“Bukan hanya manis, tapi cantik dan anggun.” Suara Kak
Wulan menyusul.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua Kakak
ku Jilbaber dan mereka sangat menyayangiku. Melihatku berubah menjadi seperti
sekarang saja mereka sangat bahgaia apalagi jika aku menggunakan jilbab yang
sudah lama mereka tawarkan ketika aku masih menggunakan seragam putih dongker.
“Na, belum mau pakai jilbab sekarang Kak.”
“Nanti saja Na pakai Jilbab Kak, kalau sudah menikah.” Selalu
saja ribuan alasan kugunakan untuk menolak pemintaan kedua orang Mbakku itu.
“Mbak mau kemana?” Tanyaku saat melihat kedua orang Mbak
ku berjilbab rapi.
“Mau pergi kajian,Ikut?” Tawar Mbak Wulan.
Ajakan Mbak Wulan bukan untuk angka yang pertama, tapi
untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi banyakknya dan sebanyak angka itu pula
aku selalu menolak.
“Ya sudah kalau Adik belum mau ikut.” Lagi-lagi Mbak Ayu
tak pernah memaksaku. Ah Mbak Ayu memang selalu seperti ini, lembut dan
sderhana. Mungkin di mata orang Mbak Ayu bukanlah perempuan sempurna karena
Mbak Ayu tidak bisa berjalan normal. Kecelakaan beberapa tahun yang lalu telah
merubah Mbak Ayu menjadi gadis pincang. Tapi dimataku Mbak Ayu lah yang paling
sempurna diantara perempuan-perempuan yang pernah kukenal. Selain memiliki
wajah yang paling cantik diantara kami. Mbak Ayu juga lulusan UI terbaik di
jurusan sastra Inggris. Mbak Ayu memiliki hati yang tak akan pernah kutemui
pada perempuan mana pun dan hanya lelaki hati pula yang pantas untuk bersanding
dengan Mbak Ayu di umur Mbak Ayu yang seharusnya sudah menikah.
“Mbak aku ikut.” Tiba-tiba saja ucapan itu keluar dari
bibirku untuk pertama kalinya yang membuat senyum berseri di pipi kedua Mbak
ku.
***
Kutarik-tarik baju kausku untuk menutupi pinggangku yang
terbuka karena baju yang kugunakan kependekan. Kutatap disekililingku tenggalam
dalam kibaran jilbab hanya aku sendiri menggunakan baju kaus anak SD, celana
jeans, dan jilbab standar transparan. Tiba-tiba saja pandanganku terhenti saat
mendapati wajah Pak Kim duduk di depan menyampikan kajian. Terlintas kembali
pertemuan-pertemuanku dengan Pak Kim. Saat Pak Kim tidak pernah berjabat
tangan, mengindar dari tatapan lama, atau pun menolak aku dan beberapa temanku
ingin belajar les di rumahnya. Ternyata Pak Kim seorang Ikhwan lelaki yang
selalu di ceritakan oleh ke dua Mbakku.
“Kenapa aku tak pernah menyadarinya.” Aku membantin.
***
Satu semester sudah berlalu. Aku meraih jilbab putih
untuk kugunakan menutupi rambut panjangku. Seminggu setelah pengajian itu
kuputuskan untuk berjilbab. Bukan hanya berjilbab tapi juga ikut bergabung dalam
organisasi rohani sekolahku karena aku tahu Pak Kim yang jadi pembinanya. Setelah
aku tahu pak Kim seorang Ikhwan rasa kagumku kian memuncak hingga aku
benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bukan lagi cinta seorang fans kepada idola
atau pun cinta seorang murid kepada guru. Tapi cinta seorang perempuan kepada
lelaki yang kemudian cinta itu yang membawa cahaya menembus ruang-ruang
gelapku.
***
“Mbak Ayu akan menikah.” Bisik Mbak Wulan ke telingaku.
“Benar Mbak?” Tanyaku dengan bola mata yang membulat.
Mbak Ayu hanya menjawab dengan senyum tersipu malu.
“Alhamdulilah.” Ujarku ikut bahagia karena sudah beberapa
lelaki menolak Mbak Ayu setelah tahu kondisi fisik Mbak Ayu.
“Kamu tidak penasaran siapa lelaki beruntung itu?” Tanya
Mbak Wulan membuatku penasaran.
“Siapa Mbak?
“Kamu masih ingatkan dengan lelaki yang mengisi kajian
saat kau pertama kali ikut kajian bersama kami.”
Aku mencoba meresapi ucapan Mbak Wulan sambil memutar
ulang memoriku dan lelaki itu menari indah di pelupuk retinaku. Lelaki yang
telah merubahku sejauh ini.
“Masih.” Jawabku breharap Mbak Wulan tidak mengatakan
lelaki itu lah yang menjadi calon suami Mbak Ayu, Namun
“Lelaki itu lah calon Kakak Ipar kita nanti.”
Seperti ada ribuan duri menusuk-nusuk hatiku saat
mendengar jawaban yang berayun di bibir Mbak Wulan.
Perlahan kurengkuh tubuh Mbak Ayu kedalam pelukanku.
“Selamat Mbak.” Suaraku bergetar dengan air mata yang
tiba-tiba mengalir bahagia kah atau luka kah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar