Minggu, 19 Februari 2012

Lelaki Hati


Oleh:Ematul Hasanah
            “Bodoh.” Sesalku memukul kepalaku pelan saat aku ketahuan mengupil ketika sedang membaca buku di perpustakaan sekolah.
            Masih ingat dibenakku tatapan aneh lelaki itu saat mata kami bertemu sedangkan sebelah jari telunjukku masih tertinggal di bawah lubang hidung. Dengan jurus seribu segera kutarik telunjukku dan berpura-pura merapikan penampilanku seolah-olah ia tak melihat apa yang baru saja kulakukan. Kulihat sebaris senyum mengembang di wajahnya yang memperlihatkan giginya yang putih tersusun rapi dan aku membalas dengan senyum asam-asam manis kemudian mangajak langkahku meninggalkan ruangan secepat kilat.

            “Bodoh.” Sesalku lagi.
 kenapa aku mengulangi kembali sikap yang sudah hampir tiga bulan berusaha kutinggalkan sejak aku mengenal lelaki yang menjadi idola di sekolahku.Bukan hanya dari golongan shabatku tapi juga golongan para guru-guru yang sangat menyukai lelaki berdarah korea itu yang wajahnya mirip dengan Teacyoen salah satu aktor korea yang pernah membintangi drama korea dream high hanya saja Pak Kim Affan begitu kami memanggilnya berwajah lebih teduh dengan kaca mata yang melingkari kedua bola matanya dan jenggot tipis yang menghiasi dagunya. Sebenarnya aku lebih suka memanggil Pak Kim dengan panggilan Oppa karena selain wajah Pak Kim belum pantas di panggil Bapak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru sekitar 25 seumuran dengan Mbak Ayu, Kakak tertuaku.  
Tapi mengingat aturan sekolah dan juga biar tidak ada yang curiga diam-diam aku juga menggagumi Pak Kim sejak pandangan pertama ketika ia masuk di kelasku sebagai pengganti guru matematika.Dan aku juga tidak ingin Pak Kim tahu aku menggaguminya seperti teman-temanku yang lain karena firasatku mengatakan aku bukanlah wanita yang menjadi impian Pak Kim hingga sekuat tenaga aku mulai berubah. Aku dulunya yang cuek tidak terlalu peduli dengan penampilan mulai memperhatikan penampilanku. Menyisir rambutku dengan rapi, menyetrika bajuku selicin mungkin, menyukai pelajaran metematika yang dari dulu tak pernah ingin kusentuh, termasuk meninggalkan kebiasaan ngupilku. Tapi kejadian di pustaka tadi benar-benar membuatku malu.
***
Aku tatap wajah kudalam di depan cermin.wajah putih dengan alis hitam teratur, hidung mancung yang kuwarisi dari Ayah, dan rambut hitam panjang terurai yang tak kusut lagi seperti beberapa bulan yang lalu.
“Teranyata aku manis juga ya?” Lirihku dengan senyum tak henti menatap wajahku.
“Pasti akan lebih manis lagi jika rambut hitammu ini ditutupi jilbab.” Potong Mbak Ayu, Kakak tertuaku.
“Bukan hanya manis, tapi cantik dan anggun.” Suara Kak Wulan menyusul.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua Kakak ku Jilbaber dan mereka sangat menyayangiku. Melihatku berubah menjadi seperti sekarang saja mereka sangat bahgaia apalagi jika aku menggunakan jilbab yang sudah lama mereka tawarkan ketika aku masih menggunakan seragam putih dongker.
“Na, belum mau pakai jilbab sekarang Kak.”
“Nanti saja Na pakai Jilbab Kak, kalau sudah menikah.” Selalu saja ribuan alasan kugunakan untuk menolak pemintaan kedua orang Mbakku itu.
“Mbak mau kemana?” Tanyaku saat melihat kedua orang Mbak ku berjilbab rapi.
“Mau pergi kajian,Ikut?” Tawar Mbak Wulan.
Ajakan Mbak Wulan bukan untuk angka yang pertama, tapi untuk angka yang tak mampu kuhitung lagi banyakknya dan sebanyak angka itu pula aku selalu menolak.
“Ya sudah kalau Adik belum mau ikut.” Lagi-lagi Mbak Ayu tak pernah memaksaku. Ah Mbak Ayu memang selalu seperti ini, lembut dan sderhana. Mungkin di mata orang Mbak Ayu bukanlah perempuan sempurna karena Mbak Ayu tidak bisa berjalan normal. Kecelakaan beberapa tahun yang lalu telah merubah Mbak Ayu menjadi gadis pincang. Tapi dimataku Mbak Ayu lah yang paling sempurna diantara perempuan-perempuan yang pernah kukenal. Selain memiliki wajah yang paling cantik diantara kami. Mbak Ayu juga lulusan UI terbaik di jurusan sastra Inggris. Mbak Ayu memiliki hati yang tak akan pernah kutemui pada perempuan mana pun dan hanya lelaki hati pula yang pantas untuk bersanding dengan Mbak Ayu di umur Mbak Ayu yang seharusnya sudah menikah.
“Mbak aku ikut.” Tiba-tiba saja ucapan itu keluar dari bibirku untuk pertama kalinya yang membuat senyum berseri di pipi kedua Mbak ku.
***
Kutarik-tarik baju kausku untuk menutupi pinggangku yang terbuka karena baju yang kugunakan kependekan. Kutatap disekililingku tenggalam dalam kibaran jilbab hanya aku sendiri menggunakan baju kaus anak SD, celana jeans, dan jilbab standar transparan. Tiba-tiba saja pandanganku terhenti saat mendapati wajah Pak Kim duduk di depan menyampikan kajian. Terlintas kembali pertemuan-pertemuanku dengan Pak Kim. Saat Pak Kim tidak pernah berjabat tangan, mengindar dari tatapan lama, atau pun menolak aku dan beberapa temanku ingin belajar les di rumahnya. Ternyata Pak Kim seorang Ikhwan lelaki yang selalu di ceritakan oleh ke dua Mbakku.
“Kenapa aku tak pernah menyadarinya.” Aku membantin.
***
Satu semester sudah berlalu. Aku meraih jilbab putih untuk kugunakan menutupi rambut panjangku. Seminggu setelah pengajian itu kuputuskan untuk berjilbab. Bukan hanya berjilbab tapi juga ikut bergabung dalam organisasi rohani sekolahku karena aku tahu Pak Kim yang jadi pembinanya. Setelah aku tahu pak Kim seorang Ikhwan rasa kagumku kian memuncak hingga aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bukan lagi cinta seorang fans kepada idola atau pun cinta seorang murid kepada guru. Tapi cinta seorang perempuan kepada lelaki yang kemudian cinta itu yang membawa cahaya menembus ruang-ruang gelapku.
***
“Mbak Ayu akan menikah.” Bisik Mbak Wulan ke telingaku.
“Benar Mbak?” Tanyaku dengan bola mata yang membulat.
Mbak Ayu hanya menjawab dengan senyum tersipu malu.
“Alhamdulilah.” Ujarku ikut bahagia karena sudah beberapa lelaki menolak Mbak Ayu setelah tahu kondisi fisik Mbak Ayu.
“Kamu tidak penasaran siapa lelaki beruntung itu?” Tanya Mbak Wulan membuatku penasaran.
“Siapa Mbak?
“Kamu masih ingatkan dengan lelaki yang mengisi kajian saat kau pertama kali ikut kajian bersama kami.”
Aku mencoba meresapi ucapan Mbak Wulan sambil memutar ulang memoriku dan lelaki itu menari indah di pelupuk retinaku. Lelaki yang telah merubahku sejauh ini.
“Masih.” Jawabku breharap Mbak Wulan tidak mengatakan lelaki itu lah yang menjadi calon suami Mbak Ayu, Namun
“Lelaki itu lah calon Kakak Ipar kita nanti.”
Seperti ada ribuan duri menusuk-nusuk hatiku saat mendengar jawaban yang berayun di bibir Mbak Wulan.
Perlahan kurengkuh tubuh Mbak Ayu kedalam pelukanku.
“Selamat Mbak.” Suaraku bergetar dengan air mata yang tiba-tiba mengalir bahagia kah atau luka kah


Tidak ada komentar: