Oleh: Ematul
Hasanah
“Aku
akan menikahimu Ris.” Sebaris janji yang pernah menumbuhkan ribuan mawar di
wajahku kembali melintas di benakku. Namun kini janji itu menjadi duri yang
menusuk-nusuk mimpiku hingga menyisahkan luka yang amat dalam. Janji yang
pernah terucap dari bibir lelaki yang meluluh lantakkan prinsipku dengan
meletakkan rasa yang tak seharusnya kuhadirkan sebelum lafaz ijab qabul itu
terucap.
***
Di balik
jendela aku manatap jalanan yang masih sepi walaupun mantari telah merangkak di
kaki langit. Dan jalanan yang masih bertanahkan merah di depan mataku akan
tetap sepi hingga senja menyapu langit karena di Desa ini hanya di huni oleh
beberapa penduduk. Hampir dua bulan aku dan beberapa temanku berada di Desa
ini, Desa terpencil yang berada di Provinsiku untuk melaksanakan KKN sebagai
salah satu mata kuliah yang harus di selesaikan.
Kulihat
beberapa sahabatku masih terlelap setelah sholat shubuh mereka kembali merajut
mimpi yang tak terselesai, sedangkan aku sejak dulu tidak terbiasa untuk tidur
kembali setelah shubuh.
Aku melangkah menuju pohon-pohon sawit yang berada di
depan poskoku mencari sinyal karena kondisi di Desa ini sangat menyedihkan
kesulitan air, kesulitan listrik, dan termasuk kesulitan sinyal. Kutekan nomor
salah satu senior yang paling dekat denganku untuk meminta nasehat tentang rasa
yang membuat aku semakin merasa bersalah. Tapi tiba-tiba jemariku terhenti saat
kedua bola mataku melihat sosok lelaki jangkung berkulit putih dan berjenggot tipis itu yang menawarkan rasa itu untukku.
Hanif, begitu aku memanggilnya kerena selain kami satu
angkatan umurku dengannya juga tidak terlalu terpaut jauh hanya berjarak
beberapa bulan dia lebih tua dariku. Selama aku meniti hari di Desa ini dia lah
lelaki yang mengerti denganku karena kami sama-sama aktivis dakwah kampus hanya
saja aku dan dia berbeda fakultas, sebelumnya aku juga pernah satu kepenatian
dengannya dalam sebuah acara seminar. Dan di Desa ini lah aku mengenalnya lebih
dekat lagi. Ya dekat, yang kemudian kedekatan itu mengundang debaran halus menyusup ke hatiku
tanpa pernah ku undang. Mungkin bagi gadis seumurku wajar saja aku memiliki
rasa seperti itu, tapi bagiku seorang aktivis dakwah tak seharusnya kubiarakan ini berkembang yang
akan membuat Tuhan ku cemburu. apalagi setelah kutahu rasaku tak hanya bertepuk
sebelah tangan
“Ris, jaga hati ya ingat Allah maha cemburu.” Nasehat
salah seorang seniorku sebelum aku berangkat KKN karena tahu ada ikhwan dalam
satu kelompok denganku.
Dan nasehat itu seperti semilir angin yang
berlalu begitu saja tanpa meninggalkan sisa. Aku telah mencoba menepis rasa itu
semampuku . Tapi perhatian dan pesona yang Hanif miliki membuat setan kian bertengger
di ujung hatiku menaburkan mawar-mawar yang menjadikanku lena hingga aku merapuh dan
membiarkan hubungan itu berbunga. Walaupun selama di Desa ini tak pernah sekali
pun aku dan dia berdua-dua an, hanya saja perhatian-perhatian yang ia tawarkan membawaku
merajut angan masa depan bersamanya.
Kembali bola mataku menatapnya berharap ia tak menemukan
mataku, tapi tiba-tiba pandangan kami bertemu yang membuat desiran halus di
hatiku semakin mangalir deras.
***
Hari ini aku akan meninggalkan Desa merah jambu ini,
begitu aku menamai Desa yang menghadirkan kembali rasa yang telah lama jeda
sejak aku memilih Tarbiyah sebagai pilihan hidupku.
Dan di Desa ini juga yang akan menjadi saksi ketika aku
mulai menduakan cinta Rabbku dengan menghadirkan lelaki yang belum halal untuk
ku cintai.
***
Hubungan aku dan Hanif tak hanya tertinggal di Desa itu,
tapi terus berlanjut di dunia perkulihan
yang membuat aku malu berkumpul dengan
teman-teman seperjuanganku kerena hati yang kumiliki tak lagi utuh seperti yang
pernah kumiliki dulu ketika aku belum mengenali Hanif lebih dekat.. Kadang aku
berontak dengan jiwaku ingin segera mengakhiri hubungan ini. Tapi keseriusan Hanif
terhadapku membuatku tetap mempertahankan hubungan ini.
Sejak menapak
langkah kembali di dunia perkulihan hubunganku dengan Hanif semakin dekat
bahkan kami pernah pergi berdua-duaan tanpa ada satu pun yang tahu walaupun itu tidak sering
seperti pacaran yang dilakukan gadis seusiaku.Hubungan kami juga telah menyatu
dengan keluarga. Hanif datang ke rumahku menemui keluargaku dan semua keluargaku
menyukai hanif.
“Ris, Mbak suka dengan Hanif dan sangat berharap dia lah
yang akan menjadi suamimu nanti.” Komentar Mbak Anggi Kakak tertuaku yang
membuat rasa itu semakin dalam dan tak ingin melepaskan ia
menjauh.
***
Sepintar
apa pun manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium
Begitulah pepatah yang pantas untukku ketika aku duduk di
sidang di depan senior dan beberapa sahabat yang satu perjuangan denganku
karena hubunganku dengan Hanif telah menyebar dari mulut ke mulut.
“Benar Anti ada hubungan dengan Akhi Hanif?” Selidik
salah seorang seniorku.
Aku hanya menunduk. Bibirku kelu untuk memberikan
jawaban.
“Sejak kapan Ukhti?” Kali ini Dewi sahabatku yang angkat
bicara.
Hening.
Aku masih tertunduk dengan mata yang mulai memerah.
“Kakak yakin Riris sudah sangat paham bagaimana islam
nengajarkan bergaul dengan non muhrim.”
“Allah tak pernah tidur ukhti, Dia maha melihat setiap
apa yang kita lakukan.”
“Ingat Allah maha cemburu.”
Nasehat yang bertubi-tubi yang dijatuhkan kepadaku
membuat bulir-bulir hangat berjatuhan di pipiku.
“Maafkan Riris.” Ucapku bergetar.
Perlahan dewi dan beberapa seniorku mendekatiku dan
merengkuhku ke dalam pelukannya. Kurasakan sejuk itu kembali menyinggahi
ruang-ruang jiwaku yang kosong.
***
Petang berarak di kaki langit membawa semilir sejuk
tertinggal di hatiku. Aku melangkahkan kaki seusai melaksanakan sholat
berjama’ah di mesjid kampus.
“Riris.” suara itu memanggil namaku, suara yang tak asing
lagi terdengar di daun telingaku.
Kuhentikan langkahku tanpa menoleh ke pemilik suara.
“Ris, kita putuskan saja hubungan ini,” ucapnya sendu
tanpa basa basi
Dan entah kenapa ada perih yang menjalar ke hatiku.
Hening
“ Tapi aku janji Ris jika sudah tiba waktunya nanti aku
akan menikahimu.” Lanjutnya yang membuat rona wajahku memerah.
Dan janji yang di
ucapkan Hanif yang membuatku tak mampu mengikis perasaanku terhadapnya walaupun
Sejak petang itu aku dan dia tak pernah lagi pergi berdua-dua’an ataupun ia tak
pernah lagi berkunjung ke rumahku, hanya lewat telpon ataupun jejaring sosial
kami menjalin komunikasi tanpa ada yang tahu kami membiarkan setan merenggut
imanku dengan pesan-pesan pink.
Hingga hari berganti, bulan berganti bahkan tahun
berganti. Komunikasi dengan Hanif mulai terjeda karena aku bukan lagi
mahisiswa. Gelar Spd sudah kuperoleh dan bekerja sebagai tenaga pengajar di
Sekolah yang berada di sekitar rumahku. Begitu pun dengan Hanif, ia telah berhasil menjadi programer. Namun ia
tak kunjung datang memenuhi janji yang pernah ia ucap ketika aku telah siap
menggenapkan seperuh Dienku.
Dan kemudian janji Hanif membawa luka dengan undangan
merah hati itu bertamu ke rumahku.
“Muhamad
hanif, ST dan Diah Anggraini, Sos”
Bergetar bibir mengeja nama yang terukir dalam undangan merah hati itu.
Awalnya aku tidak yakin nama itu adalah Hanif yang
kukenal namun keyakinanku meluntur saat menerima pesan yang dikirimkan Hanif.
“Maafkan aku Ris tidak bisa menepati janjiku.” Air mataku
mengalir deras saat membaca sebaris kalimat yang dikirimkan Hanif dengan nada tanpa
bersalah.
“Diah Anggraini.” Aku mengenalnya. Dia adalah juniorku,
akhwat yang lebih cantik dariku, lebih cerdas dan wajar saja Hanif memilihnya.
“Ris, Aku akan menikahimu.” Janji itu seperti sembilu
yang menusuk-nusuk penantian hampaku.
Seharusnya sejak petang itu aku telah mengikis rasa yang
pernah kupupuk dan membutakan telingaku untuk tidak mendengarkan janji Hanif,
tapi saat itu setan sungguh telah menari indah di kelopak hatiku hingga harap
itu menggumpal yang membawaku meninggalkan sang Maha cinta yang tak pernah lelah untuk sentiasa
mencintaiku selama ini.
Dan kehadiran undangan ini, bagaimana harus kujelaskan kepada Ayah, Ibu, dan Kakak ku yang sangat
berharap Hanif lah yang akan menjadi menantu di rumah kami. Lelaki yang
sentiasa kubanggakan kepada keluargaku akan menikah dengan wanita lain bukan
aku.
“Semoga kau bahagia Nif.” lirihku dengan membawa
sebongkah luka menuju jalan pulang.
“Tuhan sudikah Kau menerima cinta ku kembali.” Akhirku
dengan sesal memburu kemudian melangkah meninggalkan jejak-jejak merah jambu
yang pernah kutapak.
2 komentar:
ya Rabb jagalah hatiku hingga aku mendengar kata SYAH setelah akad suci itu :)
semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua...
aku ingin menikahinya dengan sempurna
Posting Komentar