Jumat, 08 Juni 2012

Perempuan Pembawa Luka


Aku pulang membawa luka yang amis darahnya menjadi gunjingan di setiap bibir penduduk kampung.
            “Batino ndak ontu dikodau[1].”  Begitulah makian  yang kuterima bak seorang selebrits yang sedang naik daun. Atas  luka yang kubawa kian membuncit tumbuh di rahim yang tak semestinya. Dan luka itu hanya memberikan aib terutama untuk Mamak[2].  
            ***
            Rumah panggung yang tempati pulahan tahun lamanya, kini berair mata dengan suara tangisan yang tak hentinya meraung sejak aku meletakkan luka yang kudapatkan dari Ibu kota Provinsi, kota yang seharusnya kugunakan untuk meneruskan mimpi.
            “Bacampak kau dari uma ko[3]!” Bentak Mamak beriring tangan kekar miliknya mendarat ke pipiku untuk pertama kalinya disepanjang usiaku.
Aku hanya bungkam tak memiliki pembelaan sekatapun atas murka Mamak. Karena luka yang kubawa untuknya, teramat busuk bagi Mamak sebagai niniok mamak [4] di kampungku. Gelar yang begitu mulia menyatu dengannya bertahun-tahun lamanya. Namun luka yang kubawa mengharuskan Mamak untuk melepaskan gelar itu dan menanggung malu atas aroma luka yang telah tercium disepanjang bibir penduduk kampung.
            Seharusnya kubuang saja luka  yang tumbuh dalam rahimku atas janji lelaki yang katanya akan sehidup dan semati denganku.
            “Ocu bojonji kan bolek juo kau[5].” Lelaki itu merayuku untuk memenuhi nafsunya saat sebutir iman masih tersisa di hatiku.
 Namun pernikahan yang ia tawarkan membuatku menerka bintang-bintang yang tak akan pernah mampu membuatku hangat dengan seiris luka yang ia tinggalkan. Karena aku teramat percaya dengannya. Lelaki yang kukenal bukan untuk waktu yang singkat. Tapi ia sama saja dengan lelaki yang pernah membuatku hadir di dunia ini. Tak ada bedanya sejengkalpun.
            “Kau buang saja luka itu !” Ujarnya tanpa ada nada yang salah saat aku mendatanginya setelah beberapa bulan terlewati sejak dosa itu aku abadikan dalam kenangan yang begitu menjijikan. Aku datang menemuinya untuk meminta ia memenuhi janji yang pernah ia ucapkan.
            “Den ndak nyio menambah dose le Cu[6].” Suaraku bergetar dengan hati yang terpatah-patah.
            “Alah kau tak  usah membicarakan tentang dosa bukankah kau juga lahir dari dosa?”
Aku terdiam, entah kenapa ucapan itu mengalir dari bibirnya bukankah selama ini ia selalu bersikap manis terhadapku lantas kenapa ia mesti mengingatkan aku tentang luka yang membuat aku terkubur hidup-hidup dalam menjalani napasku.
Ah tak perlu lagi kuceritakan tentang luka yang membuat setiap mata memandangku seperti sampah yang aroma busuknya berserakan dimana-mana. Karena aku adalah  bayi merah  masih berlumur darah yang dibuang begitu saja oleh sepasang kekasih yang tanpa ada lafaz ijab qabul. Tahukah kau mereka adalah orang tuaku. Perempuan yang pernah kutumpangi rahimnya dan lelaki yang sama sekali tak pernah kutahu bentuknya. Dan kini dosa yang pernah mereka abadikan aku ulangi dengan luka yang lebih berdarah tentunya.
Mamak adalah satu-satu keluarga perempuan yang seharusnya kupanggil Amak. Bersedia menampung kahadiranku yang masih merah. Meski Amai[7] tak pernah menyukai kehadiranku. Tapi Mamak tetap mempertahankanku membesarkanku bak seorang Putri.  
Wajar saja Mamak teramat menyayangiku karena selain Amai hanya aku satu-satunya perempuan yang berada diantara Ontuo Buyung, Anak sulung Mamak yang saat ini sudah memiliki keluarga di Negeri rantauan. Kemudian Onga Ujang yang sedang menyelesaikan S2 nya di Bandung, dan yang terakhir Ocu Agus anak lelaki Mamak yang paling dekat denganku karena usianya hanya berjarak satu tahun lebih tua dariku.
            Ketiga anak lelaki Mamak tak ubahnya seperti Mamak menyayangiku bak seorang putri. Terutama Ocu Agus yang tumbuh bersama denganku  . Sejak aku masih berlumuran darah hingga saat ini ketika kami kuliah di Universitas yang sama.
            “Dari awal aku tidak pernah setuju ocu membawa anak gampang ini tinggal bersama kita.” Amai mulai membuka suara menatapku lumat-lumat seperti bintang tak bernyawa.
            “Sekarang lihatlah buah  tak akan jauh jatuh dari pohonnya.” Lanjut Amai menyinggahi luka yang pernah dibawa orang tuaku.
            Hening
            Kulihat tubuh Mamak melemah terduduk diatas kursi dengan napas yang tak  lagi tersusun.
            “Luka siapa yang kau bawa pulang ini Nak?” Suara Mamak berubah  sendu. Seiring air mata yang menumpuk di ujung bola matanya. Sungguh air mata itu semakin membuatku tersayat-sayat karena air mata itu untuk pertama kalinya aku menemukannya. Air mata yang membuat aku teramat bersalah atas kebaikan-kebaikan yang kuganti dengan luka yang tak akan pernah menemukan penawarnya.
            “ Mo’ofkan den Mak[8].” Aku membatin dan lebih memilih untuk tetap diam, menjahit bibirku rapat-rapat walaupun pertanyaan itu bukan lagi untuk angka pertama berayun di bibir Mamak.
            “Kau perempuan yang cantik, Mamak yakin esok kau akan memiliki kehidupan yang bahagia.” Kembali melintas janji-janji kebahagian yang selalu Mamak ceritakan kepadaku setiap kali aku pulang membawa bungkusan air mata yang kudapati berserakan di sepanjang jalan.
 Namun janji itu hanya menjadi luka yang kutemui pada lelaki yang tumbuh bersamaku sejak aku masih berlumuran darah. Bukan hanya sebagai saudara tapi juga sebagai kekasih.
 Ya kebersamaan yang terjadi diantara aku dan dia menghadirkan debaran yang tak semestinya berdetak. Kau tahu kisah kami bermula sejak aku masih menggunakan seragam putih abu-abu. Sebentuk perasaan yang mati-matian kutolak hadirnya. Namun lagi-lagi kebersamaan itu yang meluluh lantakkan hatiku. Ocu Agus dialah  lelaki yang katanya akan menjagaku dan akan menikahiku namun hanya memintaku membawa luka  yang kini tertinggal di rumahnya yang kusut.


[1] Perempuan tidak tahu diri
[2] Panggilan Paman dalam bahasa Ocu
[3] Pergi kau dari rumah ini
[4] Pemuka adat
[5] Abang janji akan menikahimu
[6] Aku tidak ingin lagi menambah dosa Bang
[7] Panggilan Istri Paman
[8] Maafkan aku Paman

Tidak ada komentar: