Aku
pulang membawa luka yang amis darahnya menjadi gunjingan di setiap bibir
penduduk kampung.
“Batino
ndak ontu dikodau[1].”
Begitulah makian yang kuterima bak seorang selebrits yang
sedang naik daun. Atas luka yang kubawa
kian membuncit tumbuh di rahim yang tak semestinya. Dan luka itu hanya
memberikan aib terutama untuk Mamak[2].
***
Rumah panggung yang tempati pulahan tahun lamanya, kini berair mata
dengan suara tangisan yang tak hentinya meraung sejak aku meletakkan luka yang
kudapatkan dari Ibu kota Provinsi, kota yang seharusnya kugunakan untuk
meneruskan mimpi.
“Bacampak
kau dari uma ko[3]!”
Bentak Mamak beriring tangan kekar
miliknya mendarat ke pipiku untuk pertama kalinya disepanjang usiaku.
Aku
hanya bungkam tak memiliki pembelaan sekatapun atas murka Mamak. Karena luka yang kubawa untuknya, teramat busuk bagi Mamak sebagai niniok mamak [4]
di kampungku. Gelar yang begitu mulia
menyatu dengannya bertahun-tahun lamanya. Namun luka yang kubawa mengharuskan Mamak untuk melepaskan gelar itu dan
menanggung malu atas aroma luka yang telah tercium disepanjang bibir penduduk
kampung.
Seharusnya kubuang saja luka yang tumbuh dalam rahimku atas janji lelaki
yang katanya akan sehidup dan semati denganku.
“Ocu
bojonji kan bolek juo kau[5].”
Lelaki itu merayuku untuk memenuhi nafsunya saat sebutir iman masih tersisa di
hatiku.
Namun pernikahan yang ia tawarkan membuatku
menerka bintang-bintang yang tak akan pernah mampu membuatku hangat dengan
seiris luka yang ia tinggalkan. Karena aku teramat percaya dengannya. Lelaki
yang kukenal bukan untuk waktu yang singkat. Tapi ia sama saja dengan lelaki
yang pernah membuatku hadir di dunia ini. Tak ada bedanya sejengkalpun.
“Kau buang saja luka itu !” Ujarnya
tanpa ada nada yang salah saat aku mendatanginya setelah beberapa bulan
terlewati sejak dosa itu aku abadikan dalam kenangan yang begitu menjijikan.
Aku datang menemuinya untuk meminta ia memenuhi janji yang pernah ia ucapkan.
“Den
ndak nyio menambah dose le Cu[6].”
Suaraku bergetar dengan hati yang terpatah-patah.
“Alah kau tak usah membicarakan tentang dosa bukankah kau
juga lahir dari dosa?”
Aku
terdiam, entah kenapa ucapan itu mengalir dari bibirnya bukankah selama ini ia
selalu bersikap manis terhadapku lantas kenapa ia mesti mengingatkan aku
tentang luka yang membuat aku terkubur hidup-hidup dalam menjalani napasku.
Ah
tak perlu lagi kuceritakan tentang luka yang membuat setiap mata memandangku
seperti sampah yang aroma busuknya berserakan dimana-mana. Karena aku adalah bayi merah masih berlumur darah yang dibuang begitu saja
oleh sepasang kekasih yang tanpa ada lafaz ijab qabul. Tahukah kau mereka
adalah orang tuaku. Perempuan yang pernah kutumpangi rahimnya dan lelaki yang
sama sekali tak pernah kutahu bentuknya. Dan kini dosa yang pernah mereka abadikan
aku ulangi dengan luka yang lebih berdarah tentunya.
Mamak adalah
satu-satu keluarga perempuan yang seharusnya kupanggil Amak. Bersedia menampung
kahadiranku yang masih merah. Meski Amai[7]
tak pernah menyukai kehadiranku. Tapi Mamak
tetap mempertahankanku membesarkanku bak seorang Putri.
Wajar
saja Mamak teramat menyayangiku karena
selain Amai hanya aku satu-satunya
perempuan yang berada diantara Ontuo
Buyung, Anak sulung Mamak yang saat ini sudah memiliki keluarga di Negeri
rantauan. Kemudian Onga Ujang yang
sedang menyelesaikan S2 nya di Bandung, dan yang terakhir Ocu Agus anak lelaki Mamak
yang paling dekat denganku karena usianya hanya berjarak satu tahun lebih tua
dariku.
Ketiga anak lelaki Mamak tak ubahnya seperti Mamak menyayangiku bak seorang putri.
Terutama Ocu Agus yang tumbuh bersama
denganku . Sejak aku masih berlumuran
darah hingga saat ini ketika kami kuliah di Universitas yang sama.
“Dari awal aku tidak pernah setuju ocu membawa anak gampang ini tinggal bersama kita.” Amai mulai membuka suara menatapku lumat-lumat seperti bintang tak
bernyawa.
“Sekarang lihatlah buah tak akan jauh jatuh dari pohonnya.” Lanjut Amai menyinggahi luka yang pernah dibawa
orang tuaku.
Hening
Kulihat tubuh Mamak melemah terduduk diatas kursi dengan napas yang tak lagi tersusun.
“Luka siapa yang kau bawa pulang ini
Nak?” Suara Mamak berubah sendu. Seiring air mata yang menumpuk di ujung
bola matanya. Sungguh air mata itu semakin membuatku tersayat-sayat karena air
mata itu untuk pertama kalinya aku menemukannya. Air mata yang membuat aku
teramat bersalah atas kebaikan-kebaikan yang kuganti dengan luka yang tak akan
pernah menemukan penawarnya.
“ Mo’ofkan den Mak[8].”
Aku membatin dan lebih memilih untuk tetap diam, menjahit bibirku rapat-rapat walaupun
pertanyaan itu bukan lagi untuk angka pertama berayun di bibir Mamak.
“Kau perempuan yang cantik, Mamak yakin esok kau akan memiliki
kehidupan yang bahagia.” Kembali melintas janji-janji kebahagian yang selalu Mamak ceritakan kepadaku setiap kali aku
pulang membawa bungkusan air mata yang kudapati berserakan di sepanjang jalan.
Namun janji itu hanya menjadi luka yang
kutemui pada lelaki yang tumbuh bersamaku sejak aku masih berlumuran darah. Bukan
hanya sebagai saudara tapi juga sebagai kekasih.
Ya kebersamaan yang terjadi diantara aku dan
dia menghadirkan debaran yang tak semestinya berdetak. Kau tahu kisah kami
bermula sejak aku masih menggunakan seragam putih abu-abu. Sebentuk perasaan
yang mati-matian kutolak hadirnya. Namun lagi-lagi kebersamaan itu yang meluluh
lantakkan hatiku. Ocu Agus dialah lelaki
yang katanya akan menjagaku dan akan menikahiku namun hanya memintaku membawa
luka yang kini tertinggal di rumahnya
yang kusut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar