Darwis
Tere Liye, siapa yang nggak kenal novelis satu ini? Kiprahnya di dunia menulis patut diacungi jempol.
Betapa tidak, ia telah menggarap banyak
judul novel, di antaranya: Semoga Bunda Disayang Allah (2007), Hafalan Sholat Delisa (2007), Bidadari-bidadari
Surga (2008), Rembulan Tenggelam di
Wajahmu (2009) dan Pukat (2010).
Novel
“Hafalan Sholat Delisa” mengangkat kisah keluarga Delisa yang selamat dari bencana tsunami Aceh. Karyanya
itu kini telah difilmkan dan diputar
serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada 22 Desember 2011 lalu.
Dalam
rangka peluncuran dan diskusi novel “Marwah di Ujung Bara” karya Rh. Fitriadi di gedung AAC Dayan
Dawood, Unsyiah, Minggu (8/1/2012) pagi,
Tere Liye berkesempatan hadir menjadi salah seorang pemateri dalam diskusi yang diselenggarakan
oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh itu.
Pria
berdarah Palembang tersebut juga menjadi pemateri tunggal dalam workshop menulis yang digelar setelah acara
launching dan diskusi novel “Marwah di
ujung Bara”. Dalam workshop tersebut, ia menjelaskan beberapa poin penting dalam menulis sebuah novel,
sebagaimana yang dirangkum dalam
ringkasan di bawah ini:
Ide
cerita
Ide
cerita merupakan salah satu poin penting dalam penulisan novel, namun ide yang baik selalu lahir dari sudut
pandang yang spesial. “Ide itu tidak ada
yang jelek. Pada dasarnya ide itu sama, hanya saja yang membuat ia menjadi spesial ketika penulis
melihat dari sudut pandang yang
spesial,” ujarnya.
Amunisi
Seorang
penulis, khususnya penulis novel haruslah memiliki amunisi yang cukup untuk menyelesaikan “proyek” novel
yang telah digarap. Amunisi yang
dimaksud Tere adalah kapasitas pengetahuan sang penulis. Lantas bagaimana cara meningkatkan kapasitas
pengetahuan? “Ya membaca dong, tidak
hanya di buku-buku, sekarang kan sudah ada internet, berita televisi, radio, dan sebagainya. Maksimalkan
dari situ,” tuturnya.
Tidak
ada tulisan yang baik, tidak ada tulisan yang buruk
“Sebutkan
satu judul karya yang buruk dan sebutkan satu judul karya yang baik beserta alasannya!” instruksi Tere
kepada peserta. Tere menjelaskan tentang
status tulisan, pada dasarnya tidak ada yang sangat baik dan tidak ada tulisan yang sangat buruk.
Bagus tidaknya tulisan menurutnya adalah
relatif, tidak ada karya yang terlepas dari kritik pedas.
Oleh
sebab itu, jangan pernah malu dan takut untuk memublikasikan karyamu, karena penulis yang baik adalah
penulis yang mau menerima kritikan dan
memperbaiki setiap kesalahan.
Mulailah
dari tulisan kecil
Tere
menyarankan kepada setiap penulis pemula untuk “awaliah” (pembuka tulisan, -red) sebuah tulisan,
“Mulailah dari tulisan kecil, pendek
tapi bertenaga, sederhana tapi bermanfaat,” ungkapnya.
Banyak
penulis yang mengeluh dalam memulai menulis. Tere berpendapat, tidak penting dimulai dari mana, cukup
ditulis saja. ”Jika susah menulis
paragraf pertama, mulai saja dengan paragraf kedua. Paragraf pertama dikosongkan saja,” candanya.
Mood
jelek adalah anugerah
Adalah
hal yang lumrah, ketika seorang penulis dihinggapi oleh mood (perasaan, -red) jelek atau tidak mood. Namun
mood yang terus-terusan jelek adalah
sebuah masalah. “Mood jelek adalah anugerah, namun ketika mood terus-terusan jelek adalah masalah,”
ungkapnya. Cara untuk menghadapi mood
yang jelek adalah terus berlatih.”Tidak ada solusi selain berlatih, berlatih, dan berlatih,”
tutur Tere.
Berlatih
yang dimaksud adalah dengan tidak berhenti untuk menulis. Tere menyarankan kepada setiap penulis untuk
menulis 1.000 kata per hari. Hal
tersebut dimaksudkan untuk membuat seorang penulis terbiasa dan “efek samping” dari kegiatan itu adalah
menurunnya kadar mood jelek yang biasa
terjadi.
Pantang
menyerah
Setelah
penulis selesai mengerjakan sebuah novel, kini saatnya ia mengirimkan karya tersebut kepada penerbit.
“Setelah diselesaikan, langsung dikirim
ke penerbit.” Ia menyarankan untuk mengirimkan karya ke penerbit ternama di tanah air, seperti
Gramedia Pustaka Utama, Mizan,
Republika, dan sebagainya. Setelah karya dikirim, secepatnya dua
minggu, penerbit yang dituju menjawab.
Jangan menyerah ketika penerbit tidak
bersedia menerbitkan karyamu. “Hafalan Sholat Delisa sendiri sempat ditolak oleh dua penerbit besar Indonesia,
namun teruslah mencoba. Sampai ketika
novel tersebut diterbitkan oleh Republika, penerbit yang tadi menolak karya saya meminta untuk
mengirimkan karya saya,” ujarnya lagi. bahwa
Kesimpulannya, apapun motivasi menulismu, yang terbaik adalah penulis yang menganggap menulis itu teman
sejatinya yang selalu menemani saat
kesepian, kerinduan, dan segala asa dan rasa.
Sumber:
www.annidaonline
1 komentar:
kak ema emang penggemar Tere Liye sejati..
eh dulu Risa Kira Tere liye tuh cewek loh.. hohoh
Posting Komentar