Aku menyukainya bahkan semua tentangnya. Mungkin kau akan
mengagapku terlalu berlebihan. Tapi dengarkan dulu teman cerita yang ingin
kukisahkan kepadamu tentangnya yang pernah kuletakkan di ruang yang paling
istimewa meski tak seharusnya ia tempati saat itu.
Aku mengenalnya
ketika memasuki kelas dua dengan seragam
putih abu-abu masih membungkus tubuhku, dari seorang teman. Ah tak perlu lagi
kuceritakan secara detail kisah perkenalanku dengannya karena aku bukan ingin
mengenang cerita lalu. Aku hanya ingin sedikit berbagi cinta untuk kau tetap
tersenyum saat membaca potongan kalimatku.
Dimataku
dia hanya lelaki sederhana. Namun bijaksana walupun umurnya hanya terpaut satu
tahun lebih tua dariku. Bukan hanya bijaksana tapi juga lembut. Hampir tak
pernah kudengar ia memnunjukkan expresi kekesalan walaupun segunung kejengkelan
telah kulakukan. Mungkin karena dia adalah keturunan jawa yang selalu identik
dengan kelembutan.
Bahkan dia teramat baik bagiku
seperti Malaikat yang dikirimkan Tuhan. Ya, Malaikat. Tahukah kau teman? Dia hadir
ketika aku dihadapkan dengan kenyataan yang amat pahit dalam hidupku. Kedua orang
tuaku memutuskan untuk berpisah setelah tak menemui lagi kebahagiaan dalam satu
hati. Yang membuat aku terhempas dalam deru ombak yang meluluh lantakkan
hidupku. Dan dia hadir membawa jiwaku ke tepian mengajariku mengeja
tegar. Padahal hubungan yang kujalin dengannya hanya sebatas persahabatan. Yang
kemudian persahabatan itu menumbuhkan rasa lain di hatiku dan juga hatinya.
“Bahagiakah
atau menyesalkah?” Dua kata yang yang harus kupilih setelah aku benar-benar
menyadari rasa itu. Mungkin bagi remaja seusiaku akan merasakan perempuan
paling bahagia karena cinta tak bertepuk sebelah tangan. Tapi bagiku ada
setumpuk sesal atas rasa yang tumbuh walaupun saat itu aku sama sekali belum
mengenal tarbiyah. Tapi aku sudah sangat paham rasa ini tak seharusnya kupupuk
dari buku-buku islami yang kubaca dan juga ilmu agama yang kuperoleh dari SMA
islam yang telah membawaku menggunakan jilbab lebar sejak menginjak putih
abu-abu.
Dan dia
pun tahu akan prinsipku. Sangat menyesal telah menjadi parasit di imanku. Seharusnya
aku lah yang menjadi parasit di imannya. Hingga aku dan dia memilih memutuskan
semuanya tanpa ada janji satu kata pun diantara kami.
Kuputusan
yang kubuat tentu tak mudah teman bagi gadis seusia yang baru saja ingin
meninggalkan masa remaja. Tapi aku terus meyakinkan hati bahwa janji Allah
pasti selalu lebih indah. Hingga aku bertemu dengan luku pada senja yang
bertabur di kaki langit yang mengiring pedih di sudut mataku setalah kuterima
berita akan kecelakaannya yang membawanya ke ruang UGD. Masih kuingat teman
detik-detik terakhir aku bertemu dengannya saat aku berkunjung ke sekolahnya
untuk mengambil STTB. Dengan sikap ramah ia manyambutku namun kubalas dengan
sikap dingin karena aku gugup harus berhadapan langsung dengannya. Hingga dia
berpamitan pulang aku tetap bersipat dingin yang meninggalkan sebait sesal di
hatiku. Yang kugantikan dengan kiriman setulus doa untuk kesembuhannya. Namun Allah
memberikan jawaban lain dari doaku.
5
Sepetember tepatnya memasuki hari ketiga Ramadhon. Allah memanggilnya untuk
selamanya. Dia meninggal setelah hampir dua bulan mengalami koma. Tanpa sempat
kuucapkan maaf dan terima kasih kepadanya. Kehilangannya membuat aku semakin
mengenal luka karena aku bukan hanya kehilangan dia tapi kehilangan orang-orang
yang dekat denganku setelah aku gagal tak mampu memasuki Universitas yang
mereka pilihkan untukku. Aku dilempar dengan ribuan hujatan yang merubahku
menjadi pribadi tertutup.
“Andai
saja dia masih ada, tentu masih ada tegar yang bisa kupertahankan.” Begitu pintaku
saat itu yang membuatku terpuruk bertahun-tahun lamanya. hingga saat mulai
kutinggalkan dunia putih abu-abu. Aku menemukan dunia baruku yang
memepertemukan dengan Peri yang mengajariku tentang cinta.
“Dik,
dia yang Allah ambil adalah bukti cinta Allah pada Adik, akankah adik
sia-siakan dengan selalu menyediakan ruang untuk alm.” Kata –kata itu menyentak
hatiku. Seandainya dia masih hidup apakah aku benar-banar sanggup untuk tidak
menjalin komunikasi dengannya sedangkan rasa itu mulai mekar. Kepergiannnya adalah
jawaban terindah yang dipilihkan Allah.
“Seandainya
kita tidak dipertemukan di dunia, semoga Allah mempertemukan kita di syurga.” Sebaris
kalimat ini lah yang pernah kukatakan kepadanya.
Ya,
semoga Allah mempertemukan kita kembali di syurga meski hanya sebagai sahabat
karena Allah telah pilihkan bidadari yang pantas untukmu. Dan aku sungguh hanya
ingin mencintaimu kerena Allah hingga kehilangan tak lagi bernama luka.
Ditulis saat luka itu tak lagi meretas
3 komentar:
Gaya berkisah seperti OSD, hikmah di tiap hari2, dan melukis sejuta pelangi, untuk rekan para pembaca,
Terima Kasih, tapi OSD itu apa ya? sondtarck lagu ya?
ituw bukan OSD kak, tapi OST..
Posting Komentar