Selasa, 06 Maret 2012

Mungkinkah Menikah adalah sebuah jawaban?


           Senen malam yang lalu air mataku kembali jatuh diikuti gerimis yang turun ke atap kostku seolah-olah ikut merasakan pilu hatiku setalah menerima suara dari lelaki di seberang sana yang memaksaku ikut dalam sebuah pengajian yang sedikit berbeda dengan apa yang kuyakini. Bibirku kelu untuk menolak permintaan itu karena lelaki itu adalah malaikat bagi keluargaku, yang hari ini membawaku menatap gedung-gedung mewah bertingkat di kota bertuah ini. Ada yang menekan hatiku begitu berat atas ketidakberdayaanku memilih jalan hidup yang kuinginkan. Air mataku semakin deras mengalir sehingga hanya dalam beberapa menit kedua bola mataku membengkak. Sesulit ini kah hidupku?

            “Menikah.” Kata-kata itu singgah di benakku seolah itu adalah sebuah jawaban yang kutemui atas masalah yang sudah bertahun-tahun kuhadapi, hanya saja  selalu kucoba abaikan. Tapi setelah kudengar suara lelaki itu tak ada lagi alasanku untuk menghindar dari permintaannya ataupun mencari pembenaran atas pilihanku karena aku sangat memahami wataknya yang begitu kuat. Dengan menikahi lelaki yang memiliki fikrah yang sama denganku yang memang termasuk didalam daftar mimpiku, aku mampu bertahan dengan jalan ini karena seorang istri harus mengikuti suaminya. Tapi apakah aku sudah sanggup untuk menikah? Tentu saja jawaban nuraniku mengatakan sangat tidak siap selain karena masih ada ribuan mimpi yang meski kugapai sebelum kupenuhi separuh Ad-Dinku.  Baik itu secara pisik, jiwa maupun pikiran aku belum siap walaupun diusiaku yang sudah memasuki dua puluh dua tahun itu adalah sebuah kewajaran karena banyak juga perempuan yang umurnya di bawahku telah memilih menikah bahkan salah satu adik kelasku ketika merah putih dulu sudah memiliki empat anak. Tapi tetap saja aku belum siap. Mungkin saat pertama kali kau melihatku mungkin kau akan mengira aku perempuan dewasa dari bicara yang kugunakan bisa dikatakan sangat irit. Tapi sayang kau tertipu. Yang kau temui bukanlah perempuan dewasa malah sebaliknya perempuan sangat kenak-kanakan dengan emosi yang kadang meledak-ledak tak menentu tak ada meninggalkan kesan sabar. Merengak-rengak seperti bayi mungkin aku lupa akan umurku. Katawa dan menagis sendiri, bahaya kan?. Masih saja cekikan jika mendengar atapun melihat sesuatu yang lucu padahal menurut orang lain itu tidak lucu sama sekal. Yang punya bakat jadi loundry kerena tumpukan baju. Berantakan, pemalas. Tapi jika rajin itu kambuh maka semuanya akan mengkilat. Namun itu hanya kan kau temui dua kali dalam enam bulan. Dan yang lebih parah lagi perempuan seusiaku tidak bisa memasak kecuali masak air, masak indomi, masak nasi, dan sambal teri. Kalau  sudah seperti ini apakah ada lelaki yang ingin menikahi perempuan seperti ini??? Mengurus diri sendiri aja tidak becus bagaimana mengurus suami? Hufff...ah mungkin masih ada lelaki yang bukan hanya menuntut kelebihan tetapi dengan menikah itu lah ia akan melengkapi kekurangan pasangannya. Bukankah begitu???
            Walaupun ada, aku masih tetap bingung apakah jawabannya adalah sebuah pernikahan. Karena aku masih terlalu labil yang meragukan apakah aku mampu mencintainya ketika ijab-qabul itu telah terucap karena aku bukanlah perempuan yang mudah melatkan hati secara instan kepada siapa pun itu walaupun aku sangat yakin Allah pasti akan menitipkan cinta di hatiku. Tapi entahlah “Mungkinkah menikah adalah sebuah jawaban?”

           

1 komentar:

Eftriani Putri mengatakan...

apakah menikah akan membuat target-target hidupmu sirna?
hanya kamu yang tahu jawabannya..

jika butuh bantuan untuk menolongkan cari ikhwan, hub saya di tempat dan nomor yang sama...