Senen malam yang lalu air mataku kembali jatuh diikuti
gerimis yang turun ke atap kostku seolah-olah ikut merasakan pilu hatiku
setalah menerima suara dari lelaki di seberang sana yang memaksaku ikut dalam
sebuah pengajian yang sedikit berbeda dengan apa yang kuyakini. Bibirku kelu
untuk menolak permintaan itu karena lelaki itu adalah malaikat bagi
keluargaku, yang hari ini membawaku menatap gedung-gedung mewah bertingkat di
kota bertuah ini. Ada yang menekan hatiku begitu berat atas ketidakberdayaanku
memilih jalan hidup yang kuinginkan. Air mataku semakin deras mengalir sehingga
hanya dalam beberapa menit kedua bola mataku membengkak. Sesulit ini kah
hidupku?
“Menikah.”
Kata-kata itu singgah di benakku seolah itu adalah sebuah jawaban yang kutemui
atas masalah yang sudah bertahun-tahun kuhadapi, hanya saja selalu kucoba
abaikan. Tapi setelah kudengar suara lelaki itu tak ada lagi alasanku untuk
menghindar dari permintaannya ataupun mencari pembenaran atas pilihanku karena
aku sangat memahami wataknya yang begitu kuat. Dengan menikahi lelaki yang memiliki
fikrah yang sama denganku yang memang termasuk didalam daftar mimpiku, aku
mampu bertahan dengan jalan ini karena seorang istri harus mengikuti suaminya.
Tapi apakah aku sudah sanggup untuk menikah? Tentu saja jawaban nuraniku
mengatakan sangat tidak siap selain karena masih ada ribuan mimpi yang meski
kugapai sebelum kupenuhi separuh Ad-Dinku. Baik itu secara pisik, jiwa maupun
pikiran aku belum siap walaupun diusiaku yang sudah memasuki dua puluh dua tahun
itu adalah sebuah kewajaran karena banyak juga perempuan yang umurnya di
bawahku telah memilih menikah bahkan salah satu adik kelasku ketika
merah putih dulu sudah memiliki empat anak. Tapi tetap saja aku belum siap. Mungkin
saat pertama kali kau melihatku mungkin kau akan mengira aku perempuan dewasa
dari bicara yang kugunakan bisa dikatakan sangat irit. Tapi sayang kau tertipu.
Yang kau temui bukanlah perempuan dewasa malah sebaliknya perempuan sangat
kenak-kanakan dengan emosi yang kadang meledak-ledak tak menentu tak ada
meninggalkan kesan sabar. Merengak-rengak seperti bayi mungkin aku lupa akan
umurku. Katawa dan menagis sendiri, bahaya kan?. Masih saja cekikan jika
mendengar atapun melihat sesuatu yang lucu padahal menurut orang lain itu tidak
lucu sama sekal. Yang punya
bakat jadi loundry kerena tumpukan baju. Berantakan, pemalas. Tapi jika rajin
itu kambuh maka semuanya akan mengkilat. Namun itu hanya kan kau temui dua kali
dalam enam bulan. Dan yang lebih parah lagi perempuan seusiaku tidak bisa
memasak kecuali masak air, masak indomi, masak nasi, dan sambal teri.
Kalau sudah seperti ini apakah ada
lelaki yang ingin menikahi perempuan seperti ini??? Mengurus diri sendiri aja
tidak becus bagaimana mengurus suami? Hufff...ah mungkin masih ada lelaki yang
bukan hanya menuntut kelebihan tetapi dengan menikah itu lah ia akan melengkapi
kekurangan pasangannya. Bukankah begitu???
Walaupun
ada, aku masih tetap bingung apakah jawabannya adalah sebuah pernikahan. Karena
aku masih terlalu labil yang meragukan apakah aku mampu mencintainya ketika
ijab-qabul itu telah terucap karena aku bukanlah perempuan yang mudah melatkan
hati secara instan kepada siapa pun itu walaupun aku sangat yakin Allah pasti
akan menitipkan cinta di hatiku. Tapi entahlah “Mungkinkah menikah adalah
sebuah jawaban?”
1 komentar:
apakah menikah akan membuat target-target hidupmu sirna?
hanya kamu yang tahu jawabannya..
jika butuh bantuan untuk menolongkan cari ikhwan, hub saya di tempat dan nomor yang sama...
Posting Komentar