Sabtu, 05 Februari 2011

Cinta Untuk Amira



Aku menatap wajahku di depan cermin. Seulas senyum manis merekah di bibirku dan wajah yang kian memerah. Hanya tinggal menghitung hari lagi setengah dienku akan terpenuhi. Seminggu yang lalu aku telah menerima pinangan seorang leleki yang insyaAllah soleh karena aku telah mengenalnya sejak empat tahun yang lalu. Ia adalah seniorku ketika aku masih duduk di bangku perkuliahan. Muhamad farhan. Siapa yang tidak mengenalinya seorang aktivis kampus yang selalu jadi pemateri di setiap acara seminar. Bukan hanya soleh, tapi juga cerdas dan berkhrismatik hingga banyak wanita yang menaruh hati padanya, temasuk aku sendiri menyimpan sebentuk rasa padanya, rasa yang baru pertama kali kutemui. Tapi yang bisa kulakukan hanya menyimpan rasa itu dan mengikuti setiap kegiatan kampus yang di ikuti kak Farhan. Hingga aku tersesat di dunia cahaya, begitu aku menamainya. Dunia yang menarik jiwaku untuk menjadi lebih baik. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berhijab.

Perlahan aku mulai menghapus rasa yang pernah kusimpan untuk kak Farhan karena belum saatnya aku membiarkan rasa itu tumbuh merekah.
“Kalau memang jodoh pasti Allah akan menyatukannya juga.” Begitu pikirku saat itu.
Dan semenjak kak Farhan menyelasaikan S1 nya aku tidak tau lagi bagaimana kabarnya dan rasa itupun mulai redup. Tapi seminggu yang lalu rasa itu kembali menyala setelah aku tahu yang meminangku adalah Muhammad farhan, seniorku.
“Amira!” Panggil ibu.
“Iya bu.” Jawabku menuju kea rah ibu.
“Tolong jemput adikmu di sekolah, ibu lagi ada tamu.”
“Oke deh,” kataku masih dengan senyuman manis.
***
Kulajukan motor yang kubawa dengan hati yang masih berbunga-bunga. Tidak sabar rasanya aku menunggu hari bahagia itu. Kutambah lagi kecepatan motor seperti ingin mengejar waktu. Tiba-tiba dari arah depan ada mobil dengan kecepatan yang sama. Aku tidak bisa menghindar lagi. Seketika aku terjatuh.
“Ibu, Amira dimana?” Tanyaku ketika sadar.
“Di rumah sakit nak.”Jawab ibu dengan mata sembab
Aku mencoba untuk duduk dan aku raskan kaki sebelah kananku sangat sakit. Aku coba untuk menggerakkannya, tapi tidak bisa.
“Kaki Amira kenapa bu?” Tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
Ibu hanya diam kemudian menangis sambil memelukku.
***
Assalamu’alaikum
Kak, carilah wanita lain sebagai pendamping hidup kakak.
Kukirimkan pesan singkat itu ke nomor kak Farhan dengan uraian air mata.
Tidak pantas rasanya aku menikah dengan kak Farhan dengan kondisiku yang cacat. Kecelakaan itu telah membuat kaki sebelah kananku patah. Butuh waktu tiga atau empat tahun untuk sembuh kembali. Tidak mungkin aku meminta kak Farhan untuk menungguku dalam waktu yang begitu lama sedangkan di luar sana masih banyak wanita solehah yang pantas untuknya. Aku tau ini sakit, tapi biarlah karena aku yakin Allah telah mempersiapkan sebuah cinta untukku.
***
Aku tertunduk di ruang keluarga. Tidak berani menatap ke depan karena kak Farhan dan keluarganya ada di hadapanku.
“Mungkin kedatangan mereka untuk membatalkan pernikahan itu.” Tebakku.
“Semenjak kecelakaan yang menimpa Amira entah berapa kali aku melakukan istikarah kembali.” Kak farhan memulai pembicaraan
“Setiap kali aku melakukan istikarah selalu kutemukan jawaban yang sama,” hening sejenak.
“Amira anantasya izinkan aku untuk tetap menikahimu.”
Seketika air mataku jatuh dengan melafazkan syukur tiada henti lalu mengaguk.
“Alhamdulilah,” ucap semua yang berada di ruangan.

Tidak ada komentar: