Senin, 31 Januari 2011

Luka Adinda



LUKA ADINDA
Luka itu masih saja terasa pedih di hatiku. Hampir tiga tahun sudah, tapi darahnya belum juga mengering.Entah bagaimana aku harus menyembuhkannya.
Ayahmu sakit, pulanglah Adinda sebelum terlambat!
Kupandangi lagi kalimat-kalimat yang masih tertera di layar hpku, sebuah pesan singkat yang di kirim oleh Ibu.
“Benarkah Ayah sakit?” Ucapku lirih.
Ingatanku kembali menembus potongangan-potongan slide masa lalu. Bayangan sosok Ayah kian menari-nari di pelupuk mataku. Penampilan Ayah yang selalu terlihat beribawa dengan tubuhnya yang tegap dan jenggot tipisnya yang rapi. Bukan hanya dari penampilan yang membuat ayah terlihat beribawa, tapi kata-kata bijaknya yang selalu mendamaikan dan tatapan matanya yang penuh cinta membuat Ayah semakin beribawa di mataku.
“Ah sangguh aku sangat merindukanmu Ayah. Aku rindu sosok Ayah sebelum badai kecewa itu menghantam jiwaku hingga aku terjerat dalam luka yang sulit untukku sembuhkan.”
Ayah adalah pemilik sebuah yayasan sekolah Islam di sekitar wilayahku. Keluargaku juga dikenal keluarga bahagia walaupun hanya memiliki satu anak. Dibanding Ibu, aku lebih dekat kepada Ayah karena Ayah lebih memahamiku. Tapi seketika kedekatanku dengan Ayah menoreh luka di hatiku. Kejadian itu berawal tiga tahun yang lalu ketika aku baru memasuki kelas tiga SMA. Ayah meminta izin untuk menikah lagi. Tentu saja aku kaget mendengarkan permintaan Ayah yang tidak pernah terpikir olehku selama ini Ayah akan membagikan cintanya kepada wanita lain. Kurang cantik apalagi Ibu yang dulunya adalah bunga desa dan bukankah selama ini Ayah telah bahagia bersamaku dan Ibu. Semenjak Ayah menyampaikan keinginannya ingin menikah lagi, berhari-hari aku tidak berbicara dengan Ayah walaupun Ayah telah berusaha membujukku dengan segala cara, tapi tetap saja aku tak bersuara kecuali Ayah membatalkan keinginannya itu. Hingga malam itu tiba, saat kami sedang berkumpul di ruang keluarga. Badai kecewa itu mulai menghantam dinding jiwaku.
“Minggu depan Tante Tari akan tinggal bersama kita,” ucap Ayah santai.
“Apa? Aku kaget mendengarkan ucapan Ayah.
“Ibumu telah mengizinkan Ayah untuk menikah lagi dan sekarang Ayah telah sah menjadi suami Tante Tari,” lanjut Ayah dengan nada tanpa bersalah.
Sekilas kupandangi wajah Ibu yang begitu pasrah menerima keputusan Ayah.
“Ayah harap Adinda bisa menerima Tante Tari di rumah ini.”
“Tidak Ayah, Adinda tidak bisa menerima wanita lain tinggal di rumah kita,” bantahku dengan emosi yang mulai menyala.
“Adinda, kamu bertemu dulu dengan Tante Tari nanti kamu juga akan tahu alasan Ayah menikahinya.”
“Adinda tidak ingin tahu apapun alasanya, Adinda tidak bisa menerima wanita lain di rumah ini. Sekarang Ayah pilih Adinda atau wanita itu!” Tiba-tiba saja ucapan itu terlontar dari bibirku.
“Adinda.” Tegur Ayah dengan nada suara yang agak tinggi.
Baru kali ini Ayah bernada suara tinggi berbicara denganku.
“Baiklah Adinda sudah tau jawabannya, besok Adinda yang akan pergi dari rumah ini.” Aku berlari menuju kamar.
Sesampai di kamar kulampiaskan segala yang menyesakkan dadaku.
Keesokan paginya kumasukkan semua barang-barangku ke dalam koper dan kutinggalkan sepucuk surat untuk Ibu.
“Ibu, maafkan Adinda,” ucapku pilu.
Rumah masih terlihat sepi. Aku pergi dengan uraian air mata dan sebongkoh luka yang terasa sangat pedih mungkin karena aku terlalu menyayangi Ayah, terlalu mengagumi Ayah, terlalu dimanja oleh Ayah.
Aku tau kemana aku harus pergi. Ke rumah Tante Lisa adiknya Ibu di Palembang. Dulu ketika aku berkunjung ke sana Tante Lisa pernah menawarkanku untuk tinggal bersamanya.
Hampir tiga tahun sudah aku tinggal bersama Tante Lisa. Tidak pernah sekalipun aku pulang ke rumah. Ibu pernah beberapa kali mengunjungiku dan membujukku untuk pulang ke rumah.
“Adinda pulanglah nak, Ayah sangat merindukanmu, Ayah selalu menanyakan kabarmu kepada Ibu apakah kamu baik-baik saja,” bujuk Ibu.
“Adinda tidak akan pulang kalau wanita itu masih berada di rumah kita,” tolakku.
“Adinda coba kamu lihat dulu bagaimana kondisi wanita yang telah di nikahi Ayahmu itu.”
“Apakah Ibu sudah ikhlas Ayah menikah lagi? Potongku.
“Awalnya memang berat, tapi setelah bertemu dengan Tante Tari Ibu berusaha untuk Ikhlas, Ayahmu menikahi Tante Tari dengan alasan hanya untuk membantunya karena Tante Tari adalah seorang janda yang memiliki empat orang anak yang umurnya jauh di bawahmu.” Jelas Ibu.
“Sudahlah jika alasannya bukan karena hasrat laki-laki Ayah yang menggebu-gebu, itu hanya alasan yang mengada-ada,” bantahku.
“Adinda, Ayahmu bukan seperti itu.” Bela Ibu.
Tapi pembelaan Ibu belum mampu meruntuhkan egoku dan membalut luka hatiku.
“Adinda, ko’ melamun? Suara Tante Lisa membuyarkan lamunanku
“Eh Tante.” Jawabku sambil menghapus air mata yang menitik.
“Tadi Ibumu menelpon katanya Ayahmu sakit, sepertinya parah.”
“Iya Tante, Adinda sudah tahu.”
“Adinda, pulanglah sebesar apapun kecewamu pada Ayahmu, dia tetap Ayahmu.” Bujuk Tante Lisa seolah tahu kalau aku belum ingin bertemu dengan Ayah.
“Tante yakin Ayahmu juga sangat merindukanmu.” Mendengarkan ucapan Tante Lisa tiba-tiba saja air mataku kembali menitik.
“Adinda juga sangat merindukan Ayah,” ucapku lirih
Besoknya sesampai di ruang ICCU dimana tempat Ayah dirawat. Kupandangi Ibu yang mengusap air matanya.
“Ayah kenapa bu? Tanyaku datar.
"Tiga hari yang lalu Ayahmu jatuh dari kamar mandi, terjadi pendarahan du kepalanya dan menyebabbkan ia mengalami koma." Jelas Ibu.
Sekilas kupandangi Ayah yang terbaring tanpa daya. Selang oksigen yang menancap di hidung ayah bersama selang-selang infuse yang melilit tangan ayah. Ingin rasanya aku berlari memeluk Ayah saat ini, tapi kejadiaan tiga tahun yang lalu seperti sebuah tembok yang menghalangiku untuk mendekati Ayah. Karena Tidak tahan melihat kondisi Ayah. Aku segara pergi meninggalkan ruang ICCU dan tertunduk lemah di sebuah kursi yang berada di koridor rumah sakit. Berusaha menahan sesak di dadaku dan tidak membiarkan air mataku jatuh.
Tiba-tiba pandangaku menatap sosok wanita yang membawa empat orang anak, wanita itu terlihat lebih tua dari Ibu dan juga tidak secantik Ibu. Ia berjalan menuju kearahku. Kulihat ada sesuatu yang lain dari wanita itu. cara ia berjalan Ya Allah wanita itu pincang.
“Mungkinkah wanita itu yang telah di nikahi Ayah?” Tebakku.
“Ah tidak mungkin.” Bantahku.
“Adinda.” Sapa wanita itu dengan seulas senyum.
“Kenalkan saya Tante Tari.” Lanjutnya sambil mengulurkan tanganya.
“Ya Allah jadi wanita ini yang telah dinikahi Ayah.”
Seketika tubuhku melemah bersama sesal yang manari-nari di ulu hatiku. Tidak kusambut uluran tangan wanita itu. Segera aku berlari ke ruang ICCU ingin bersujud di kaki Ayah untuk meminta maaf kepadanya atas prasangka burukku selama ini.
Sesampai di ruang ICCU kulihat Ibu sedang menangis terisak-isak.
“Ada Apa dengan Ayah bu? Tanyaku dengan tangis yang ingin pecah.
“Ayah telah pergi.” Jawab Ibu tersedu-sedu.
“Ayahhhhhhhhhhhh.” Tariakku sekuatnya sambil mendekap erat jasad Ayah.
Luka tiga tahun yang lalu hampir saja sembuh, tapi kini luka baru kembali tertotoreh bahkan lebih pedih lagi. Darahnya mengalir deras. Seketika aku merasakan langit runtuh dan dunia gelap gulita.

Tidak ada komentar: