Jika kata kebanyakan orang masa SMA adalah berwarna merah jambu,
maka tidak begitu denganku yang memilih warna biru persahabatan sebagai bagian
dari masa SMAku. Kisah ini berawal
dari tawaran keluargaku yang ingin sekali aku menjadi siswa di SMA yang memiliki asrama.
“Gedung sekolahnya bertingkat, asramanya juga bertingkat lengkap
dengan kolam renang.” Begitulah sekolah yang diceritakan kepadaku.
Tentu saja aku tergiur tanpa berfikir ulang untuk menolak. Namun
siapa sangka gedung sekolah mewah yang sudah terekam di benakku hanya bisa kulihat
beberapa tahun yang akan datang. Hancur sudah sekolah mewah yang kuimpikan
setelah kutemukan hanya ada satu gedung asrama itu pun masih berdindingkan
batu-bata. Tiga kelas merangkup satu kantor.Dan yang menyedihkan lagi di
sepanjang perkarangan sekolah masih bertanah merah yang belum rata. Ditambah segunung
peraturan sekolah yang hampir membuat aku stroke.Jangan ditanyakan seperti
apa kecewaku. Aku yang seharusnya bisa bergaya ala anak gaul. Celana jins, baju
pas-pasan, rambut panjang di ikat. Harus berubah total menggunakan rok panjang,
baju longgar, jilbab yang lebarnya melebihi lebar selimut tidurku, dan juga
kemana-mana hurus pakai kaus kaki. Dan labih menyebalkan lagi tak bisa curi pandang ataupun tebar pesona ala anak
SMP. Bagaimana harus curi pandang jika sepanjang hari yang kutemui hanya teman
sejenis. Tidak mungkin kan aku harus curi pandang kepada Pak Tukang ?
Sekolahku ini selain harus berpakaian serba tertutup. Juga sangat
membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dengan memisahkan sekolah
putra dan putri. . Jadilah aku menangis sepanjang hari mengutuk keputusan yang
sudah kupilih.
“Jas kenapa?”
Tanya teman sebangku ketika menemukan mataku membengkak.
Aku tak menjawab
meski mulutnya sudah berbusa-busa bertanya hal yang sama.
“Jas masih ingat
nggak gaya Pak Ali mengajarkan kita?” Dia berhenti bertanya dan mulai menirukan
gaya guru bahasa arab kami.
“Haza
mauzun!” Tentu saja aku tak bisa menahan tawa melihat xpresinya dengan tubuh di
goyang-goyang dan kepala di putar-putar. Mengingatkanku pada actor india di
film kuch-kuch hota hai yang berperan sebagai polisi. Dan hari itu persahabatan
pun di mulai.
Aku mulai berdamai dengan kenyataan.
Membujuk hati untuk betah dengan rok panjang, baju longgar, jilbab lebar, dan
kaus kaki meski kadang bolong atas bawah kerana kehabisan stok. Membujuk hati
untuk betah dengan setoran hapalan dan mu’faradat. Membujuk hati untuk betah
dengan keripik ubi yang menjadi makanan rutin tiga kali sehari. Termasuk
membujuk hati untuk betah dengan sahabat asrama yang super eror tak terkecuali
aku sendiri. Pernahkah kalian mendengar anak SMA yang menjelang ujian bukannya exstra belajar malah membentuk grup
Band. Jika pernah maka kami lah satu diantaranya.Dyzies begitu nama grup band
kami, singkatan dari Dila, Yulmi, Icha, Ema, zita.Eitss, grup band kami bukan
band biasa loh . Sedikit berbeda, yang menjadikan tangkai sapu sebagai micropon, bental sebagai
piano, reket sebagai gitar, dan teko air panas sebagai drum. Dan mulailah suara
cempreng personil dyzies mangalun yang membawakan lagu pop namun bergoyang ala
dangdutan sehingga dinding kamar menjadi retak.
Lain lagi dengan ulah salah seorang
temanku yang menjadi tarzan di pohon durian. Eh malah menjadi durian runtuh.
Dan aku yang sedang musim sensi tak bisa menahan tawa melihat pipinya berubah
biru. Untung saja ketika geliranku yang jatuh tak pernah ada yang melihat.
Begitupun cerita lucu ketika seasrama terserang virus itchi. Jari kami berubah
jadi seribu. Untuk menulis sekalian menggarut. Untuk makan sekalian menggarut.
Pokonya tak rame jika tak menggarut. Bahkan ada yang memilih tak mandi
berhari-hari karena khawatir setelah mandi jarinya akan berubah sejuta hahaha. Tapi
ada satu kejadian yang sampai hari ini masih membuat aku senyum-senyum sendiri.
Ceritanya aku kehilangan dompet.
Heboh lah satu sekolah sampai melapor ke wakil kepala sekolah.
“Pak, Jasmawati kehilangan dompet.”
Adu salah seorang temanku.
“Udah di cari di asrama?”
“Udah Pak tapi nggak ada.” Jawab
temanku ini begitu semangat mungkin terlalu kasihan dengan wajahku yang memang
menyedihkan.
Jadilah hari itu semua siswa
dikumpulkan
“Siapa yang kedapatan mencuri dompet
temannya siap-siap lah menerima hukuman.” Begitulah kira-kira ancaman dari
Bapak.
Aku dengan mata yang sudah bengkak
(dulu aku suka sekali menangis bahkan pernah nangis sampai guling-guling dalam
kasur) kembali lah ke asrama. Entah kenapa tiba-tiba ada yang keras di dalam
bantalku. Kalian tahu apa? Ternyata dompetku tidak dicuri hanya aku yang lupa
meletakkannya. Sejak hari itu aku tak berani lagi ke kantor apalagi ketemu
dengan Bapak wakil kepala sekolah. malauuuuuuuuuuuu
Kisah asrama tak hanya berkisah
tentang lucu. Perang dunia pun hampir terjadi. Aku masih mengingatnya, salah
seorang teman mendatangi kamarku dengan wajah yang memerah tanpa basa basi
langsung meninju dinding kamarku. Aku tak terima dengan sikapnya pun membalas dengan kata-kata sedangkan
tubuhku sudah gemetaran. Untung saja ada pihak kedua, ketiga, dan keempat yang
menenangkan kami. Sehingga tak terjadi pertumpahan darah. Hanya saja aku dan
dia sama-sama menangis. Dan beberapa hari kemudian kembali membaik. Jika
diingat kembali bukan menjadi kenangan yang tragis, tetapi kenangan yang
menggelikan. Tarnyata dulu hampir saja kami menyaingi posisi depe dan jupe.
Hahaha.
Seiring berjalannya waktu aku mulai
terbiasa dengan kehidupan asrama. Mulai menyukai baju longgar, rok panjang,
jilbab lebar, kaus kaki. Dan juga hubungan berjarak dengan lawan jenis.
Seharusnya begini lah gaul yang harus kupahami. Tentunya tak hanya membuat aku
istimewa di mata manusia, tapi juga di mata Tuhanku. Begitupun dengan sholat
yang membuat aku gelisah jika meninggalkannya. Bahkan aku mulai jatuh cinta
dengan membaca. Sebuah jalan yang membawaku menjadi pengkhyal sejati. Hampir
setiap bukuku di penenuhi cerpen-cerpen yang menjadi pengantar tidur
teman-temanku. Anehnya, aku yang nulis malah aku yang girang setiap kali
membacakannnya seperti fall in love. Untung saja tidak sampai loncat-loncat.
Meskipun awalnya banyak yang mengejak cerpen yang kutulis beraliran bahasa
Indonesia raya. Tapi aku tak peduli tetap saja menulis yang kemudian malah
nular ke warga seasrama. Jadilah musim cerpen yang memenuhi buku-buku kami.
Kemeran sempat membuka kembali buku-buku SMA yang di penuhi cerpen.
Sampai-sampai aku bingung dulu aku jurusan sastra atau Ipa ya?. Tapi untung
saja cerpen yang kutulis tak pernah tertangkap Umi ataupun Ustadz. Seperti
cerpen salah seorang temanku yang dibacakan ustadz di depan kelas berkisah tentang cinta. Alamak.
Terakhir aku hanya ingin mengatakan kalian
adalah biru yang menjadikan putih tak lagi kosong. Uhibbuki fillah ^_^
1 komentar:
hahhhahhahahaha
kereeennn
IT is the best :)
Posting Komentar