Hujan pernah membuatku basah sehingga hanya kesedihan yang kupahami
tentang hidup.
Kisah ini berawal
dari sikap dinginku yang seolah-olah aku sendiri saja yang menjadi makhluk penghuni bumi.
“Dek ikut
keputrian yuk!” entah sebanyak apa kalimat itu berayun di daun telingaku. Dan
sebanyak itu pula aku balas dengan sikap dingin tanpa respon. Benar-benar tidak
peduli.
“Untuk apa aku
ikut palingan hanya ceramah-ceramah toh aku juga jauh lebih tahu dari mereka.”
Begitu pikirku saat itu dengan gaya yang begitu sombong dengan basic SMA
Islamku. Namun kakak berjilbab lebar itu seperti tak kehabisan cara untuk terus
mengajakku. Mungkin karena aku dan dia memiliki cara berpakaian yang sama. Rok
panjang, baju longgar, jilbab lebar, dan juga kaus kaki. Sehingga setiap jum’at
siang kakak berjilbab lebar itu begitu setia menanti aku di depan gedung
belajar.
“Adek ayuk ikut keputrian.”
Masih seperti biasa, kakak berjilbab lebar masih tersenyum begitu ramah menawarkan
hal yang sama dari jum’at ke jum’at.
“Ah tak mengapa
sekali-kali aku menerima tawarannya.” Walaupun sering bersikap dingin, tapi itu
bukanlah gambaran hatiku yang sebanarnya. Hanya kesedihan yang mendalam-dalam
yang membawa jiwaku entah kemana.
“Siapa namanya
dek?” Seorang kakak berjilbab lebar menyambutku ketika langkahku terhenti di
depan pintu ruangan yang ingin di tuju.
“Ema kak.” Jawabku
sedikit kaku dengan perlakuan kakak yang menyalamiku, cium pipi kiri dan kanan,
tersenyum ramah mengajakku bercerita. Tentu saja ini aneh bagiku yang terbiasa
tumbuh dari lingkungan yang tak begitu peduli. Tapi justru keanehan itu membuat
aku merasa istimewa. Sehingga pertemuan
keputriaan menjadi candu yang mengantarkan aku pada halaqah.
Jika tarbiyah
adalah sebuah rumah, maka halaqah adalah pondasinya. Pertemuan cinta yang
selalu menjadikan rinduku meluap-luap dalam duduk melingkar setiap sekali
seminggu. Memberi ruang untuk aku, dia(baca:murabbi), dan
mereka(baca:teman halaqah). Tilawah bersama, bertanya kabar, bercerita
sirah, mandapatkan materi keislaman, bahkan boleh bercerita apa saja, hal
pribadi sekalipun. Sehingga air mataku mengering. Sebab hidup terlalu sia-sia
jika hanya kuhabiskan untuk menangisi kegagalan dan kehilangan. Bukankah hidup
memang tempat berpindahnya satu ujian ke ujian yang lain. Lantas kenapa aku
harus merawat kesedihan? Yang seharusnya kuganti dengan syukur. Karena hanya
dengan ujian lah aku akan menjadi istimewa di mata Rabbku. Tentu saja jika aku
mampu untuk ikhlas dan bersabar menanti rencana-rencana indah dariNya.
Begitulah tarbiyah merubah pemahamanku tentang hidup. Bahkan juga merubah
kegagalanku menjadi prestasi.
Hanya dalam waktu
dua tahun tarbiyah mengantarkan namaku ke berbagai media dan pemanang lomba
sebagai penulis cerpen puisi, dan resensi. Memang tarbiyah bukan
segala-galanya. Tapi segalanya berawal dari tarbiyah. Aku juga sepaham dengan
kalimat ini. Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja aku masih menjadi
perempuan air mata yang diam-diam menangis di sudut gedung kampus. Jika bukan
karena tarbiyah mungkin saja aku tak pernah tahu jika pena bisa kujadikan
pedang. Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja aku tak pernah tahu indahnya
berbagi dari setiap agenda tarbiyah, tasqif, mabit, rihlah, seminar, training,
bedah buku, dll. Jika bukan karena
tarbiyah mungkin saja aku tak pernah
paham dengan ukuwah. Sebentuk hubungan yang di bangun berdasarkan cinta karena
Allah semata. Saling mengingatkan ketika lupa, saling menesehati ketika salah.
Sehingga yang rumit terasa lebih mudah, yang sempit terasa lebih lapang selagi
tetap masih saling bergandengan. Dan jika bukan karena kakak berwajah teduh
yang kusebut murabbi mungkin aku tak akan pernah mengenal tarbiyah.
“Entah seperti apa harus kulukiskan rasa terima kasihku padamu kak,
bahkan sekalipun aku bisa menggenggam pelangi itu tak akan mampu membalasnya. Hanya Allah saja yang
mampu membalas hati bidadarimu”
Maka adakah rumah
yang lebih indah untuk aku singgahi. Selain tarbiyah yang menjadikan halaqah
sebagai pondasinya, ukuwah sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya
sehingga hujan tak lagi membuatku basah.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar