Sabtu, 16 Februari 2013

Tarbiyah Adalah Rumah Tarindah



               

                Hujan pernah membuatku basah sehingga hanya kesedihan yang kupahami tentang hidup.
            Kisah ini berawal dari sikap dinginku yang seolah-olah aku sendiri saja yang menjadi  makhluk penghuni bumi.
            “Dek ikut keputrian yuk!” entah sebanyak apa kalimat itu berayun di daun telingaku. Dan sebanyak itu pula aku balas dengan sikap dingin tanpa respon. Benar-benar tidak peduli.

            “Untuk apa aku ikut palingan hanya ceramah-ceramah toh aku juga jauh lebih tahu dari mereka.” Begitu pikirku saat itu dengan gaya yang begitu sombong dengan basic SMA Islamku. Namun kakak berjilbab lebar itu seperti tak kehabisan cara untuk terus mengajakku. Mungkin karena aku dan dia memiliki cara berpakaian yang sama. Rok panjang, baju longgar, jilbab lebar, dan juga kaus kaki. Sehingga setiap jum’at siang kakak berjilbab lebar itu begitu setia menanti aku di depan gedung belajar.
            “Adek ayuk ikut keputrian.” Masih seperti biasa, kakak berjilbab lebar masih tersenyum begitu ramah menawarkan hal yang sama dari jum’at ke jum’at.
            “Ah tak mengapa sekali-kali aku menerima tawarannya.” Walaupun sering bersikap dingin, tapi itu bukanlah gambaran hatiku yang sebanarnya. Hanya kesedihan yang mendalam-dalam yang membawa jiwaku entah kemana.
            “Siapa namanya dek?” Seorang kakak berjilbab lebar menyambutku ketika langkahku terhenti di depan pintu ruangan yang ingin di tuju.
            “Ema kak.” Jawabku sedikit kaku dengan perlakuan kakak yang menyalamiku, cium pipi kiri dan kanan, tersenyum ramah mengajakku bercerita. Tentu saja ini aneh bagiku yang terbiasa tumbuh dari lingkungan yang tak begitu peduli. Tapi justru keanehan itu membuat aku merasa  istimewa. Sehingga pertemuan keputriaan menjadi candu yang mengantarkan aku pada halaqah.
            Jika tarbiyah adalah sebuah rumah, maka halaqah adalah pondasinya. Pertemuan cinta yang selalu menjadikan rinduku meluap-luap dalam duduk melingkar setiap sekali seminggu. Memberi ruang untuk aku, dia(baca:murabbi), dan mereka(baca:teman halaqah). Tilawah bersama, bertanya kabar, bercerita sirah, mandapatkan materi keislaman, bahkan boleh bercerita apa saja, hal pribadi sekalipun. Sehingga air mataku mengering. Sebab hidup terlalu sia-sia jika hanya kuhabiskan untuk menangisi kegagalan dan kehilangan. Bukankah hidup memang tempat berpindahnya satu ujian ke ujian yang lain. Lantas kenapa aku harus merawat kesedihan? Yang seharusnya kuganti dengan syukur. Karena hanya dengan ujian lah aku akan menjadi istimewa di mata Rabbku. Tentu saja jika aku mampu untuk ikhlas dan bersabar menanti rencana-rencana indah dariNya. Begitulah tarbiyah merubah pemahamanku tentang hidup. Bahkan juga merubah kegagalanku menjadi prestasi.
            Hanya dalam waktu dua tahun tarbiyah mengantarkan namaku ke berbagai media dan pemanang lomba sebagai penulis cerpen puisi, dan resensi. Memang tarbiyah bukan segala-galanya. Tapi segalanya berawal dari tarbiyah. Aku juga sepaham dengan kalimat ini. Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja aku masih menjadi perempuan air mata yang diam-diam menangis di sudut gedung kampus. Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja aku tak pernah tahu jika pena bisa kujadikan pedang. Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja aku tak pernah tahu indahnya berbagi dari setiap agenda tarbiyah, tasqif, mabit, rihlah, seminar, training, bedah buku, dll.  Jika bukan karena tarbiyah mungkin saja  aku tak pernah paham dengan ukuwah. Sebentuk hubungan yang di bangun berdasarkan cinta karena Allah semata. Saling mengingatkan ketika lupa, saling menesehati ketika salah. Sehingga yang rumit terasa lebih mudah, yang sempit terasa lebih lapang selagi tetap masih saling bergandengan. Dan jika bukan karena kakak berwajah teduh yang kusebut murabbi mungkin aku tak akan pernah mengenal tarbiyah.
“Entah seperti apa harus kulukiskan rasa terima kasihku padamu kak, bahkan sekalipun aku bisa menggenggam pelangi itu tak  akan mampu membalasnya. Hanya Allah saja yang mampu membalas hati bidadarimu”
            Maka adakah rumah yang lebih indah untuk aku singgahi. Selain tarbiyah yang menjadikan halaqah sebagai pondasinya, ukuwah sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya sehingga hujan tak lagi membuatku basah.,


Tidak ada komentar: