Minggu, 16 September 2012

Aku Ingin Jadi Anak Rohis

          Aku membenci golongan ini. Yang selalu berlagak sok alim dan sok suci. Setiap waktu mendatangi Musallah Sekolah tak hanya di jam-jam sholat yang kutahu. Entah apa yang mereka lakukan. Belum lagi dari golongan perempuan yang membuat mataku gerah. Sama sekali tak memiliki gaya tarik dengan pakaian serba tertutup bahkan berlapis-lapis, lengkap dengan sarung kaki, dan juga sarung tangan. Tak ingin disentuh dan yang paling menjengkelkan saat berbicara tak pernah ingin menatap lama. Benar-benar kelompok yang kolot. Seolah-olah hanya mereka saja yang beragama islam.
            Aku juga beragama islam bahkan kedua orang tuaku sudah berangkat haji. Tapi tak pernah kujumpai Ibu menggunakan jilbab yang begitu dalam, berlapis-lapis, apalagi kaus kaki. bahkan kadang Ibu tak berjilbab jika berada di luar rumah. Begitupun dengan Ayah selalu menerima jabatan tangan dari siapapun.
Namun meskipun mereka berpenampilan serba ekstrim tetap saja mereka menjadi pelajar unggulan. Aneh memang, terutama di kelasku sudah tiga semester berturut-turut dari golongan mereka saja yang memegang tiga terbaik. Siapa lagi jika bukan golongan yang beridentitaskan Rohis. Ya, salah satu ekstrakulikuler yang berada di sekolahku. Yang merubah mereka menjadi orang-orang yang memuakkan.

            ***
            Pagi ini aku berangkat ke sekolah dengan hati yang berbunga-bunga tak seperti biasanya. Sungguh bahagia sekali rasanya setelah menyaksikan salah satu TV swasta yang memberitakan ekstrakulikuler yang menjadikan Musallah dan Mesjid sebagai sekre adalah awal pembentukan teroris, tentu saja yang dimaksud golongan rohis. Mungkin saja berita itu benar , aku juga pernah melihat mereka di Musallah, duduk melingkar dengan seorang lelaki yang berjenggot tipis, sama sekali tak kukenal. Entah apa yang sedang mereka bicarakan mungkin saja strategi untuk menjatuhkan bom untuk beberapa tahun ke depannya.
Ah, hari ini akan menjadi hari yang paling menyenangkan. Namun senyumku menyusut saat tak kutemukan kehebohan yang terjadi seperti yang memupuk di benakku. Masih saja seperti biasa seolah-olah hanya aku sandiri yang menyaksikan berita yang disiarkan pagi tadi sebelum aku berangkat ke sekolah. Dan kebahagiaan yang kupendam semakin meluntur ketika Pak Yas menjadikan aku satu kelompok dengan Rio, lelaki yang memegang peringkat pertama di kelasku. Tentu saja dia berasal dari anak Rohis, golongan yang amat kubenci.
            “Bagaimana jika nanti malam kalau tugas ini kita kerjakan di rumahmu saja Dav?” Tanya Rio setelah Pak Yas meminta kami melanjutkan tugas di rumah.
            “Tidak bisa, di rumahku terlalu rame, bagaimana kalau di rumahmu saja?” Aku sengaja berbohong untuk bisa mengenalnya lebih dekat lagi, bukan untuk kujadikan sahabat tapi untuk mencari bukti bahwa anak rohis benar teroris seperti yang disyiarkan media.
            “Baiklah datang saja ke rumahku setelah isya.”
            “Yes.” Aku membatin tersenyum penuh kemenangan.
            ***
            “Waw.” Bibirku membulat saat menemukan rumah mewah bertingkat yang kujumpai dari alamat yang dituliskan Rio tadi siang.
            “Apakah aku salah alamat?” Aku  melangkah ragu-ragu. Wajar saja aku meragukan rumah mewah ini milik Rio. Rio yang kukenal sangat sederhana yang tak pernah kutemukan sekalipun menggunakan benda-benda yang berkualitas tinggi. Bahkan ke sekolahpun ia menaiki angkutan umum yang penuh sesak.
            “Kau sudah datang?” Belum sempat kuketuk pintu rumahnya, Rio sudah muncul duluan di depanku
            “Silahkan masuk, kamarku ada di lantai atas.”
            Aku hanya mengaguk dengan pandangan tak henti menatap sekeliling rumahnya yang dua kali lebih mewah dari rumahku.Dan aku kembali tertegun saat memasuki kamarnya. Auranya sungguh meneduhkan.
Kamar yang di penuhi dengan buku-buku seperti perpustakaan. Disetiap dinding berderetan kata-kata motivasi dan juga terget-terget hidup Jauh berbeda dengan kamarku yang serba berantakan, tak memiliki target apapun dan menyimpan gambar-gambar yang tak sepantasnya kulihat.
            “Tilawah satu juz sehari, hapal juz 30 target dalam satu bulan, dan hapal hadist satu hari satu hadits.” Kueja satu per satu terget hidupnya yang tersusun rapi, bahkan juga terget impian yang ingin ia capai beberapa tahun kedepannya. Tak ada satupun bukti teroris yang bisa kujadikan bukti.
            “Ini siapa?” Tanyaku saat menjumpai wajah lelaki berjenggot tipis yang pernah kulihat dan kini terbingkai begitu istimewa dalam sebuah foto.
            “Dia Abang pembinaku yang banyak mengajarkanku tentang islam.” Jawabnya dengan wajah yang terlihat begitu damai.
            “Oh.” Lirihku dengan hatiku kian menciut saat mendengarkan cerita yang mengalir dari bibir Rio tentang lelaki Mulia yang pernah kusangka teroris ternyata aku keliru.
            ***
            “Allahu nurussamawati wal ardhi massalul nurihi.”
            Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi
            Samar-samar kudengar suara Rio yang membuat aku terbangun. Tadinya aku hanya ingin berbaring sejenak saja di kamarnya sebab kantuk yang menyerangku tapi aku malah banar-benar menginap di rumahnya tanpa pernah kurencanakan.
            Kamiskuwatinn pihaa misbah.”
            Perempamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembu, yang didalamnya ada pelita besar.
            Mataku semakin membulat melihat apa yang sedang dilakukan Rio di malam selarut ini dengan gerakan tubuh yang sama persis seperti gerakan sholat. Mungkin saja Rio sedang sholat malam yang pernah kudengar saat aku masih menjadi pelajar SD.
            “Al misbahu pi zujajajatiz zujajaatu kaannaha kau kabunn darriyunn yukhodhu min sajarotin mubarokatin zaitu natilla sarkiyatin wala rhabiiyatin yakaadu zaituhaayudhisa’u walau lam tamshuh naarun nurun ala nurin, yahdillahu linurihi man yasa’u, yadhribullahul amsaala linnasi, wallhu bikulli sa’iin alimunun.”
            Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak dari sebelah timur dan tidak pula dari sebelah barat yang minyakknya hampir menerangi, walaupun tak disentuh api.
            Rio semakin larut dengan bacaan yang begitu merdu bahkan terisak yang membuat bulu kudukku merinding seiring air mataku yang mulai berjatuhan.
            “Pi buyutin a’izi nallahu an tar pa’a wayudz kara pihaa asmahu, yusabbihu lahu, pihaa bil rhudu wi wa’al asholi.”
            Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang ia kehendaki, dan Allah memperuat perunpamaan  bagi manusia, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu
            Kali ini hatiku benar-benar meleleh. Melupakan misi awalku. Rio yang salah satu orang dari golongan yang kubenci bahkan sempat kuanggap teroris. Dan malam ini pantaskah lagi aku untuk membencinya? Pantaskah media menuduh orang yang akan menjadi teroris. Orang yang begitu mulia dengan sebuah kesederhanaan meski memiliki limpahan harta, memiliki tujuan hidup yang jelas dan  mencoba menjalankan islam seutuh mungkin. Sungguh teramat sulit mencari orang sepertinya. Dan berita yang kudengar tadi pagi sama sekali tak masuk akal.
            “Kau sudah bangun?” Rio sedikit mengejutkanku.
            Aku tak bersuara hanya menghapus air mataku yang membanjir.
            “Wudhuklah sebentar lagi adzan.” Tanpa sadar sudah terlalu lama aku memperhatikan Rio. Sebelum berwudhuk kudekati Rio menatap matanya yang masih sembab. Memintanya untuk membawaku menjadi sepertinya. Meski akan sulit tapi aku akan belajar semampunya. Dan aku tahu Allah pasti akan membimbingku.
            “Rio aku ingin jadi anak Rohis.” Ucapku terbata-bata yang dijawab Rio dengan anggukan  menyimpul senyum, membuat air mataku kembali berjatuhan.

Tidak ada komentar: