Aku
membenci golongan ini. Yang selalu berlagak sok alim dan sok suci. Setiap waktu
mendatangi Musallah Sekolah tak hanya di jam-jam sholat yang kutahu. Entah apa
yang mereka lakukan. Belum lagi dari golongan perempuan yang membuat mataku
gerah. Sama sekali tak memiliki gaya tarik dengan pakaian serba tertutup bahkan
berlapis-lapis, lengkap dengan sarung kaki, dan juga sarung tangan. Tak ingin
disentuh dan yang paling menjengkelkan saat berbicara tak pernah ingin menatap
lama. Benar-benar kelompok yang kolot. Seolah-olah hanya mereka saja yang
beragama islam.
Aku juga beragama islam bahkan kedua
orang tuaku sudah berangkat haji. Tapi tak pernah kujumpai Ibu menggunakan jilbab
yang begitu dalam, berlapis-lapis, apalagi kaus kaki. bahkan kadang Ibu tak
berjilbab jika berada di luar rumah. Begitupun dengan Ayah selalu menerima
jabatan tangan dari siapapun.
Namun
meskipun mereka berpenampilan serba ekstrim tetap saja mereka menjadi pelajar
unggulan. Aneh memang, terutama di kelasku sudah tiga semester berturut-turut
dari golongan mereka saja yang memegang tiga terbaik. Siapa lagi jika bukan
golongan yang beridentitaskan Rohis. Ya, salah satu ekstrakulikuler yang berada
di sekolahku. Yang merubah mereka menjadi orang-orang yang memuakkan.
***
Pagi ini aku berangkat ke sekolah
dengan hati yang berbunga-bunga tak seperti biasanya. Sungguh bahagia sekali
rasanya setelah menyaksikan salah satu TV swasta yang memberitakan ekstrakulikuler yang menjadikan Musallah dan Mesjid
sebagai sekre adalah awal pembentukan teroris, tentu saja yang dimaksud
golongan rohis. Mungkin saja berita itu benar , aku
juga pernah melihat mereka di Musallah, duduk melingkar dengan seorang lelaki
yang berjenggot tipis, sama sekali tak kukenal. Entah apa yang sedang mereka
bicarakan mungkin saja strategi untuk menjatuhkan bom untuk beberapa tahun ke
depannya.
Ah,
hari ini akan menjadi hari yang paling menyenangkan. Namun senyumku menyusut
saat tak kutemukan kehebohan yang terjadi seperti yang memupuk di benakku.
Masih saja seperti biasa seolah-olah hanya aku sandiri yang menyaksikan berita
yang disiarkan pagi tadi sebelum aku berangkat ke sekolah. Dan kebahagiaan yang
kupendam semakin meluntur ketika Pak Yas menjadikan aku satu kelompok dengan Rio,
lelaki yang memegang peringkat pertama di kelasku. Tentu saja dia berasal dari
anak Rohis, golongan yang amat kubenci.
“Bagaimana jika nanti malam kalau
tugas ini kita kerjakan di rumahmu saja Dav?” Tanya Rio setelah Pak Yas meminta
kami melanjutkan tugas di rumah.
“Tidak bisa, di rumahku terlalu
rame, bagaimana kalau di rumahmu saja?” Aku sengaja berbohong untuk bisa
mengenalnya lebih dekat lagi, bukan untuk kujadikan sahabat tapi untuk mencari
bukti bahwa anak rohis benar teroris seperti yang disyiarkan media.
“Baiklah datang saja ke rumahku
setelah isya.”
“Yes.” Aku membatin tersenyum penuh
kemenangan.
***
“Waw.” Bibirku membulat saat
menemukan rumah mewah bertingkat yang kujumpai dari alamat yang dituliskan Rio
tadi siang.
“Apakah aku salah alamat?” Aku melangkah ragu-ragu. Wajar saja aku meragukan
rumah mewah ini milik Rio. Rio yang kukenal sangat sederhana yang tak pernah
kutemukan sekalipun menggunakan benda-benda yang berkualitas tinggi. Bahkan ke
sekolahpun ia menaiki angkutan umum yang penuh sesak.
“Kau sudah datang?” Belum sempat
kuketuk pintu rumahnya, Rio sudah muncul duluan di depanku
“Silahkan masuk, kamarku ada di
lantai atas.”
Aku hanya mengaguk dengan pandangan
tak henti menatap sekeliling rumahnya yang dua kali lebih mewah dari
rumahku.Dan aku kembali tertegun saat memasuki kamarnya. Auranya sungguh
meneduhkan.
Kamar
yang di penuhi dengan buku-buku seperti perpustakaan. Disetiap dinding
berderetan kata-kata motivasi dan juga terget-terget hidup Jauh berbeda dengan
kamarku yang serba berantakan, tak memiliki target apapun dan menyimpan
gambar-gambar yang tak sepantasnya kulihat.
“Tilawah satu juz sehari, hapal juz
30 target dalam satu bulan, dan hapal hadist satu hari satu hadits.” Kueja satu
per satu terget hidupnya yang tersusun rapi, bahkan juga terget impian yang
ingin ia capai beberapa tahun kedepannya. Tak ada satupun bukti teroris yang
bisa kujadikan bukti.
“Ini siapa?” Tanyaku saat menjumpai
wajah lelaki berjenggot tipis yang pernah kulihat dan kini terbingkai begitu istimewa
dalam sebuah foto.
“Dia Abang pembinaku yang banyak
mengajarkanku tentang islam.” Jawabnya dengan wajah yang terlihat begitu damai.
“Oh.” Lirihku dengan hatiku kian
menciut saat mendengarkan cerita yang mengalir dari bibir Rio tentang lelaki Mulia yang pernah kusangka
teroris ternyata aku keliru.
***
“Allahu nurussamawati wal ardhi massalul nurihi.”
Allah
pemberi cahaya kepada langit dan bumi
Samar-samar kudengar suara Rio yang
membuat aku terbangun. Tadinya aku hanya ingin berbaring sejenak saja di
kamarnya sebab kantuk yang menyerangku tapi aku malah banar-benar menginap di
rumahnya tanpa pernah kurencanakan.
“Kamiskuwatinn
pihaa misbah.”
Perempamaan
cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembu, yang didalamnya ada
pelita besar.
Mataku semakin membulat melihat apa
yang sedang dilakukan Rio di malam selarut ini dengan gerakan tubuh yang sama
persis seperti gerakan sholat. Mungkin saja Rio sedang sholat malam yang pernah
kudengar saat aku masih menjadi pelajar SD.
“Al
misbahu pi zujajajatiz zujajaatu kaannaha kau kabunn darriyunn yukhodhu min
sajarotin mubarokatin zaitu natilla sarkiyatin wala rhabiiyatin yakaadu
zaituhaayudhisa’u walau lam tamshuh naarun nurun ala nurin, yahdillahu linurihi
man yasa’u, yadhribullahul amsaala linnasi, wallhu bikulli sa’iin alimunun.”
Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang
yang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak dari sebelah timur dan
tidak pula dari sebelah barat yang minyakknya hampir menerangi, walaupun tak
disentuh api.
Rio semakin larut dengan bacaan yang
begitu merdu bahkan terisak yang membuat bulu kudukku merinding seiring air
mataku yang mulai berjatuhan.
“Pi
buyutin a’izi nallahu an tar pa’a wayudz kara pihaa asmahu, yusabbihu lahu,
pihaa bil rhudu wi wa’al asholi.”
Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang ia kehendaki, dan Allah memperuat perunpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui
segala sesuatu
Kali ini hatiku benar-benar meleleh.
Melupakan misi awalku. Rio
yang salah satu orang dari golongan yang kubenci bahkan sempat kuanggap
teroris. Dan malam ini pantaskah lagi aku untuk membencinya? Pantaskah media
menuduh orang yang
akan menjadi teroris. Orang yang begitu mulia dengan sebuah kesederhanaan meski
memiliki limpahan harta, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mencoba menjalankan islam seutuh mungkin.
Sungguh teramat sulit mencari orang sepertinya. Dan berita yang kudengar tadi
pagi sama sekali tak masuk akal.
“Kau sudah bangun?” Rio sedikit
mengejutkanku.
Aku tak bersuara hanya menghapus air
mataku yang membanjir.
“Wudhuklah sebentar lagi adzan.”
Tanpa sadar sudah terlalu lama aku memperhatikan Rio. Sebelum berwudhuk
kudekati Rio menatap matanya yang masih sembab. Memintanya untuk membawaku
menjadi sepertinya. Meski akan sulit tapi aku akan belajar semampunya. Dan aku
tahu Allah pasti akan membimbingku.
“Rio aku ingin jadi anak Rohis.” Ucapku
terbata-bata yang dijawab Rio dengan anggukan menyimpul senyum, membuat air mataku kembali
berjatuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar