Jumat, 03 Agustus 2012

Jodoh

Oleh: Ematul Hasanah
            Aku menyukainya.Sebentuk perasaan yang hadir tanpa berawal dari kekaguman ataupun sebuah komunikasi yang panjang. Aku mengenalnya hanya lewat pertemuan sederhana di setiap agenda dakwah kampus. Namun aku menyimpan begitu rapat desiran yang amat kupahami maknanya. Tak membiarkan ada yang tahu bahkan angin sekalipun tak kubiarkan menyusup. Yang kulakukan hanya sibuk membujuk hati ada janji-janji yang lebih indah tentunya janji dari Sang  maha pemilik.
            ***
            “Kau kapan menyusul Lis?” Pertanyaan Anis membuat aku menelan ludah saat menghadiri pernikah Ayu, junior yang pernah satu jurusan dengan kami. Pertanyaan yang bukan hanya kudengar dari mulut Anis. Namun disetiap bibir yang menjumpaiku selalu saja menanyakan kapan aku menikah.
            “Apalagi yang kau tunggu usia sudah kepala tiga.” Aku tersenyum getir menanggapi ucapan Anis karena tak ada jawaban yang bisa kujadikan sebagai pembela.

            “Menikah itu enak loh Lis.”  Ah tak perlu lagi bercerita indahnya pernikahan. Aku bisa ikut merasakan getaran bahagia di setiap wajah-wajah sahabat yang rata-rata sudah memiliki keluarga.
            Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menjadikan agamaku lengkap. Bahkan keinginan itu timbul ketika aku masih di semester awal dunia perkulihan. Tentu saja dengan lelaki yang lebih kukenal  dari mulut ke mulut.
            Namun ketika kenyaataan tak  sejalan dengan harap  pasti akan selalu menyisahkan luka.  Luka yang hadir saat kuterima undangan merah hati yang terukir namanya bukan denganku.
            Entah bagaimana harus kudefinisikan kecawa saat itu.  Hingga kuputusan melanjutkan S2 kubulatkan. Untuk membujuk hati yang terlanjur sakit.
            “Jangan terlalu banyak milih Lis keburu jadi perawan tua kamu.” Suara Anis membuyarkan lamunanku yang meninggalkan seiiris ngilu.
            Prasangka Anis sama sekali tidak benar. Setelah  menyelesaikan S2 kuputuskan untuk segera menikah bukan atas dasar paksaan dari Ibu yang begitu khawatir aku akan menjadi perawan tua. Seperti yang menjadi gunjingan di setiap bibir penduduk kampungku.
“Lihatlah anak kau tu bagaimana mau laku berdandan cantik aja tak bisa, aku aja risih liat pakaiannya apalagi laki-laki.” Begitulah pembicaraan terhangat yang tanpa sengaja pernah kudengar.
Hingga  Ibu mulai melarangku menggunakan jilbab lebar, baju longgar dan kaus kaki yang menurut Ibu sebagai penghalang aku mendapatkan  jodoh. Tentu saja aku menepis permintaan Ibu dengan memberikan janji aku akan segera menikah. Walaupun entah berapa kali aku mengajukan proposal ta’aruf namun selalu saja kecewa yang kutemui. Bukan alasan fisikku yang tak begitu rupawan ataupun harta yang tak menawan,  tapi dikarenakan gelar S2 yang menjadikan lelaki tidak sanggup menerimaku.   
 Ah, andai saja mereka ingin sedikit saja membuka pikiran. Bukankah seorang anak membutuhkan Ibu yang berpindidikan. Entah lah aku tak memahami cara berpikir mereka. Yang bisa kulakukan terus berusaha dan berbaik sangka . Allah telah siapkan jodoh terbaik untukku. Siapapun itu.
            “Selamat ya dik, semoga menjadi keluarga sakinah.” Kusalami  Ayu yang usianya terpaut empat tahun lebih muda dariku, setelah meninggalkan percakapan dengan Anis yang masih menggantung.
            “Terima kasih, semoga Kakak cepat menyusul.”  Tuturnya dengan rona bahagia yang terlihat jelas dan aku segera mengaminkan berharap bulan depan langit memenuhi inginku.
***
            Sepulang dari pernikahan Ayu kuputuskan singgah ke rumah Mbak Tia. Perempuan berdarah jawa yang kukenal sejak aku memutuskan kembali ke kota ini, menerima tawaran menjadi dosen di universitas yang pernah kudapatkan gelar serjana. Meski ada rasa bersalah setiap kali aku mengunjungi rumahnya. Menatap foto kelurganya yang teramat bahagia walaupun sampai saat ini belum ada seorang anak sebagai penyempurnaan keluarga sederhana yang mereka bangun bertahun-tahun lamanya.
 Namun masih kulihat cinta itu tumbuh dengan begitu indah. Meski Bang Rasyid, suami mbak Tia selalu berpergian tentunya untuk memenuhi aganda-agenda dakwah. Dan aku adalah satu-satunya teman dekat yang dimiliki mbak tia di kota yang asing baginya. Kami dipertemukan di salah satu acara pengajian. Yang kemudian kedekatan itu terjalain begitu saja. Apalagi setelah aku tahu mbak Tia istri dari Bang Rasyid yang dulunya pernah satu universitas denganku.
Dimataku Mbak Tia perempuan yang teramat baik begitu paham dengan beban batin yang kubawa. Seperti tak pernah jenuh mencarikan jodoh untukku walaupun sampai saat ini tak kunjung menemukan jalan.
            “Apakah kau siap Lis?” Mbak Tia menatapku mencoba kembali menawarkan seorang ikhwan yang katanya ingin segera menikah.
            “InsyaAllah mbak jika ia mau menerima aku apa adanya.” Jawabku masih dengan kekhawatiran  yang sama akan harap yang kembali patah.
            Namun sungguh kali ini aku tak hanya sekedar menerka mimpi. Seminggu setelah pertemuanku dengan mbak Tia. Lelaki tanpa kukenal wajahnya ataupun petukaran biodata. Ah itu tak terlalu penting lagi. Yang kutahu dari mulut mbak Tia lelaki itu adalah seorang aktivis dakwah itu sudah lebih cukup bagiku.
            Tak banyak kudengar respon dari bibir Ibu saat kuceritakan akan ada lelaki yang akan melamarku. Mungkin Ibu sudah terlanjur lelah mendengarkan aku sebagai bahan gunjingan di sepanjang kampung.
            “Ah, esok kau tak akan lagi mengurai air mata Bu.” Gumamku mulai menata hati yang akan segera menemukan lelaki yang  menjadi pelengkap agamaku setelah bertahun-tahun lamanya aku menunggu.
            Kusambut kedatangan mbak Tia yang menggunakan gamis merah hati yang membuat perempuan pemilik wajah teduh itu semakin anggun. Meski seumuran dengan Bang Rasyid, Mbak  Tia masih terlihat lebih muda. Pantas saja Bang Rasyid begitu mencintainya. Mbak Tia memiliki semua yang diinginkan wanita hanya satu saja yang belum ia punya seorang anak di usianya yang sudah memasuki 40 an.
            “Selamat datang ke kampung saya Mbak.” Kusalami mbak Tia yang baru pertama kalinya berkunjung ke kampungku.
            Mbak tia membalas dengan seberis senyum namun terlihat mendung. Tak beberapa menit Bang Rasyid juga ikut menyusul langkah mbak Tia. Buru-buru kuberalihkan pandangan agar tak bertemu dengan matanya.
            “Ini akan segera berakhir.” Aku membatin masih dengan rasa bersalah yang melilit.
            Namun langkah Bang Rasyid tak kunjung disusul dengan langkah selanjutnya. Seharusnya masih ada. Tapi kuurungkan niat untuk bertanya hanya ikut dalam perbincangan Mbak Tia dan Bang Rasyid yang begitu hangat dengan kelurgaku. Sedangkan aku tertunduk dalam sekali-kali mencoba melirik entah kepada siapa.
            Setengah jam sudah terlewatkan. Namun belum juga ada tanda-tanda akan hadirnya seseorang. Kuberanikan mengangkat wajah menatap mbak Tia. Mencari jawaban dari matanya. Dan seolah-olah ia memahami maksudku.
            “Lilis, seperti yang pernah mbak janjikan seminggu yang lalu hari ini akan ada lelaki yang akan memintamu menjadi istri.” Suara mbak Tia bergetar tidak seperti biasanya yang membuat suasana hangat berubah dingin.
            Dan aku hanya kembali menunduk lebih dalam. Menguatkan hati jika kali ini aku kembali menerima kenyataan yang lebih pahit atas pembatalan lamaran.
            “Lilis...” Getaran suara Mbak Tia semakin kuat aku mencoba menahan bening yang telah menggumpal di ujung bola mataku.
            “Bersediakah kau menjadi istri Mas Rasyid?” Suara Mbak Tia pecah membuat bibir ku kelu dengan sekeping hati yang berbunga-bunga karena Bang Rasyid lah lelaki yang kusukai tanpa awal dari kagum ataupun komonikasi yang panjang.
            “Mbak.” Lirihku dengan air mata yang meleleh menatap mbak Tia yang mencoba tersenyum meski ada luka di pelupuk matanya.
            “Mbak ikhlas Lis.” Mbak Tia menguatkanku dengan menyimpul senyum yang membuat hatiku getir.
            “Tuhan, apakah ini jodohku.” Aku membatin memberanikan diri menatap Bang Rasyid yang hanya mengaguk sebagai isyarat.
           
Ematul Hasanah adalah Mahasiswi Uin Suska Riau
Dan juga bergiat di Flp cabang Pekanbaru

Tidak ada komentar: