Oleh:
Ematul Hasanah
Aku menyukainya.Sebentuk perasaan
yang hadir tanpa berawal dari kekaguman ataupun sebuah komunikasi yang panjang.
Aku mengenalnya hanya lewat pertemuan sederhana di setiap agenda dakwah kampus.
Namun aku menyimpan begitu rapat desiran yang amat kupahami maknanya. Tak
membiarkan ada yang tahu bahkan angin sekalipun tak kubiarkan menyusup. Yang
kulakukan hanya sibuk membujuk hati ada janji-janji yang lebih indah tentunya
janji dari Sang maha pemilik.
***
“Kau kapan menyusul Lis?” Pertanyaan
Anis membuat aku menelan ludah saat menghadiri pernikah Ayu, junior yang pernah
satu jurusan dengan kami. Pertanyaan yang bukan hanya kudengar dari mulut Anis.
Namun disetiap bibir yang menjumpaiku selalu saja menanyakan kapan aku menikah.
“Apalagi yang kau tunggu usia sudah
kepala tiga.” Aku tersenyum getir menanggapi ucapan Anis karena tak ada jawaban
yang bisa kujadikan sebagai pembela.
“Menikah itu enak loh Lis.” Ah tak perlu lagi bercerita indahnya
pernikahan. Aku bisa ikut merasakan getaran bahagia di setiap wajah-wajah
sahabat yang rata-rata sudah memiliki keluarga.
Sebenarnya sudah sejak lama aku
ingin menjadikan agamaku lengkap. Bahkan keinginan itu timbul ketika aku masih
di semester awal dunia perkulihan. Tentu saja dengan lelaki yang lebih kukenal dari mulut ke mulut.
Namun ketika kenyaataan tak sejalan dengan harap pasti akan selalu menyisahkan luka. Luka yang hadir saat kuterima undangan merah
hati yang terukir namanya bukan denganku.
Entah bagaimana harus kudefinisikan
kecawa saat itu. Hingga kuputusan
melanjutkan S2 kubulatkan. Untuk membujuk hati yang terlanjur sakit.
“Jangan terlalu banyak milih Lis
keburu jadi perawan tua kamu.” Suara Anis membuyarkan lamunanku yang
meninggalkan seiiris ngilu.
Prasangka Anis sama sekali tidak
benar. Setelah menyelesaikan S2
kuputuskan untuk segera menikah bukan atas dasar paksaan dari Ibu yang begitu
khawatir aku akan menjadi perawan tua. Seperti yang menjadi gunjingan di setiap
bibir penduduk kampungku.
“Lihatlah
anak kau tu bagaimana mau laku berdandan cantik aja tak bisa, aku aja risih liat
pakaiannya apalagi laki-laki.” Begitulah pembicaraan terhangat yang tanpa
sengaja pernah kudengar.
Hingga
Ibu mulai melarangku menggunakan jilbab
lebar, baju longgar dan kaus kaki yang menurut Ibu sebagai penghalang aku
mendapatkan jodoh. Tentu saja aku
menepis permintaan Ibu dengan memberikan janji aku akan segera menikah.
Walaupun entah berapa kali aku mengajukan proposal ta’aruf namun selalu saja
kecewa yang kutemui. Bukan alasan fisikku yang tak begitu rupawan ataupun harta
yang tak menawan, tapi dikarenakan gelar
S2 yang menjadikan lelaki tidak sanggup menerimaku.
Ah, andai saja mereka ingin sedikit saja
membuka pikiran. Bukankah seorang anak membutuhkan Ibu yang berpindidikan.
Entah lah aku tak memahami cara berpikir mereka. Yang bisa kulakukan terus
berusaha dan berbaik sangka . Allah telah siapkan jodoh terbaik untukku.
Siapapun itu.
“Selamat ya dik, semoga menjadi
keluarga sakinah.” Kusalami Ayu yang usianya
terpaut empat tahun lebih muda dariku, setelah meninggalkan percakapan dengan
Anis yang masih menggantung.
“Terima kasih, semoga Kakak cepat
menyusul.” Tuturnya dengan rona bahagia
yang terlihat jelas dan aku segera mengaminkan berharap bulan depan langit
memenuhi inginku.
***
Sepulang dari pernikahan Ayu
kuputuskan singgah ke rumah Mbak Tia. Perempuan berdarah jawa yang kukenal
sejak aku memutuskan kembali ke kota ini, menerima tawaran menjadi dosen di
universitas yang pernah kudapatkan gelar serjana. Meski ada rasa bersalah
setiap kali aku mengunjungi rumahnya. Menatap foto kelurganya yang teramat
bahagia walaupun sampai saat ini belum ada seorang anak sebagai penyempurnaan
keluarga sederhana yang mereka bangun bertahun-tahun lamanya.
Namun masih kulihat cinta itu tumbuh dengan
begitu indah. Meski Bang Rasyid, suami mbak Tia selalu berpergian tentunya
untuk memenuhi aganda-agenda dakwah. Dan aku adalah satu-satunya teman dekat
yang dimiliki mbak tia di kota yang asing baginya. Kami dipertemukan di salah
satu acara pengajian. Yang kemudian kedekatan itu terjalain begitu saja.
Apalagi setelah aku tahu mbak Tia istri dari Bang Rasyid yang dulunya pernah
satu universitas denganku.
Dimataku
Mbak Tia perempuan yang teramat baik begitu paham dengan beban batin yang
kubawa. Seperti tak pernah jenuh mencarikan jodoh untukku walaupun sampai saat
ini tak kunjung menemukan jalan.
“Apakah kau siap Lis?” Mbak Tia menatapku
mencoba kembali menawarkan seorang ikhwan yang katanya ingin segera menikah.
“InsyaAllah mbak jika ia mau
menerima aku apa adanya.” Jawabku masih dengan kekhawatiran yang sama akan harap yang kembali patah.
Namun sungguh kali ini aku tak hanya
sekedar menerka mimpi. Seminggu setelah pertemuanku dengan mbak Tia. Lelaki tanpa
kukenal wajahnya ataupun petukaran biodata. Ah itu tak terlalu penting lagi. Yang
kutahu dari mulut mbak Tia lelaki itu adalah seorang aktivis dakwah itu sudah
lebih cukup bagiku.
Tak banyak kudengar respon dari
bibir Ibu saat kuceritakan akan ada lelaki yang akan melamarku. Mungkin Ibu
sudah terlanjur lelah mendengarkan aku sebagai bahan gunjingan di sepanjang
kampung.
“Ah, esok kau tak akan lagi mengurai
air mata Bu.” Gumamku mulai menata hati yang akan segera menemukan lelaki yang menjadi pelengkap agamaku setelah
bertahun-tahun lamanya aku menunggu.
Kusambut kedatangan mbak Tia yang
menggunakan gamis merah hati yang membuat perempuan pemilik wajah teduh itu
semakin anggun. Meski seumuran dengan Bang Rasyid, Mbak Tia masih terlihat lebih muda. Pantas saja
Bang Rasyid begitu mencintainya. Mbak Tia memiliki semua yang diinginkan wanita
hanya satu saja yang belum ia punya seorang anak di usianya yang sudah memasuki
40 an.
“Selamat datang ke kampung saya
Mbak.” Kusalami mbak Tia yang baru pertama kalinya berkunjung ke kampungku.
Mbak tia membalas dengan seberis
senyum namun terlihat mendung. Tak beberapa menit Bang Rasyid juga ikut
menyusul langkah mbak Tia. Buru-buru kuberalihkan pandangan agar tak bertemu
dengan matanya.
“Ini akan segera berakhir.” Aku
membatin masih dengan rasa bersalah yang melilit.
Namun langkah Bang Rasyid tak
kunjung disusul dengan langkah selanjutnya. Seharusnya masih ada. Tapi
kuurungkan niat untuk bertanya hanya ikut dalam perbincangan Mbak Tia dan Bang
Rasyid yang begitu hangat dengan kelurgaku. Sedangkan aku tertunduk dalam
sekali-kali mencoba melirik entah kepada siapa.
Setengah jam sudah terlewatkan.
Namun belum juga ada tanda-tanda akan hadirnya seseorang. Kuberanikan
mengangkat wajah menatap mbak Tia. Mencari jawaban dari matanya. Dan
seolah-olah ia memahami maksudku.
“Lilis, seperti yang pernah mbak
janjikan seminggu yang lalu hari ini akan ada lelaki yang akan memintamu
menjadi istri.” Suara mbak Tia bergetar tidak seperti biasanya yang membuat
suasana hangat berubah dingin.
Dan aku hanya kembali menunduk lebih
dalam. Menguatkan hati jika kali ini aku kembali menerima kenyataan yang lebih
pahit atas pembatalan lamaran.
“Lilis...” Getaran suara Mbak Tia
semakin kuat aku mencoba menahan bening yang telah menggumpal di ujung bola
mataku.
“Bersediakah kau menjadi istri Mas
Rasyid?” Suara Mbak Tia pecah membuat bibir ku kelu dengan sekeping hati yang
berbunga-bunga karena Bang Rasyid lah lelaki yang kusukai tanpa awal dari kagum
ataupun komonikasi yang panjang.
“Mbak.” Lirihku dengan air mata yang
meleleh menatap mbak Tia yang mencoba tersenyum meski ada luka di pelupuk
matanya.
“Mbak ikhlas Lis.” Mbak Tia
menguatkanku dengan menyimpul senyum yang membuat hatiku getir.
“Tuhan, apakah ini jodohku.” Aku
membatin memberanikan diri menatap Bang Rasyid yang hanya mengaguk sebagai isyarat.
Ematul Hasanah adalah Mahasiswi Uin Suska Riau
Dan juga bergiat di Flp cabang Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar