Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab nyata (Lauh Mahfuz) Qs. Al-An’am:59
Begitupula
pertemuanku dengannya. Jauh sebelum aku menarik napas pertama, kisah itu sudah
tersimpan di balik langit, di buku takdir.
Masih teringat perbincangan di
Januari yang galau.
“Kakak ingin menikah cil.” Ucapku
berkabut.
Seperti biasa, junior sekaligus
sahabat dekatku ini akan menawarkan sederet nama-nama ikhwan sebagai caranya
menghiburku yang terserang galau stadium akhir.
“Gimana kalau dengan abang Siti kak,
Zuhri bajuri.” Satu nama mengalir dari bibirnya yang sebelumnya sama sekali tak
pernah hadir dalam perbincangan kami.
“Ah tidak mungkin.” Ujarku yang
dengan jiwa psikolognya menyimpulkan xpresiku yang berbeda. Entahlah, tapi
sungguh aku ingin menikah. Bukan karena dorongan usia, bukan juga karena full
kesiapan. Aku ingin tetap kokoh di jalan dakwah ini. Hanya itu alasan terkuatku
ingin menikah secepat mungkin.
“Ya Allah aku ingin menikah, bukan
dengan siapa-siapa hanya meminta seorang lelaki sholeh yang memiliki visi,
misi, dan fikrah yang sama denganku.” Begitu doa-doaku di sepanjang januari dan
febuari sambil memantapkan hati ingin berkonsultasi dengan Murabbi. Hingga malam itu, di penghujung febuari.
“Kakak serius ingin menikah?” Tanya
Icil yang tumben sekali menelponku malam-malam.
“Ya kenapa?”
“Ada ikhwan yang ingin ta’aruf,
Kakak mau?”
“Siapa?” Tanyaku dengan sedikit rasa
penasaran.
“Zuhri Bajuri, abangnya siti kak.”
Kembali nama itu hadir untuk kedua
kalinya.
“Pasti Icil kan yang nawarin kakak?”
Tanyaku mengingat kembali percakapan kami beberapa minggu yang lalu.
“Bukan kak, Siti yang milih Kakak,
katanya abangnya minta dicarikan akhwat. Emang sih kak setiap kali Siti cerita
tentang abannya pernah ingin menawarkan kakak, tapi selalu tersimpan di ujung
lidah.” Sederet penjelasan yang membuat
aku kembali bertanya-tanya.
“Benarkah ini jawaban dari doa-doaku
ya Rabb.”
Ahad, 23 Juni 2013 aku tak lagi
bertanya sebab perahu itu telah menemukan pelabuhannya. Ya, dengan dia lelaki
yang dulu hanya kukenal lewat angin dan tak tak pernah terlintas dialah
ternyata lelaki hati itu yang akan membangun rumah jiwa bersamaku. Berdasarkan, visi, misi, dan fikrah yang sama. Yang menjadikan iman
sebagai pondasinya, al-qur’an sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya.
Sehingga bisa kuceritakan kepadanya
tentang hijaunya rumput, beningnya embun, mekarnya mawar, birunya laut, dan
juga tentang rintiknya hujan sampai
ketika kepala kami telah berubah memutih. Bahkan kelak ketika kami dipertemukan
di syurga, InsyaAllah ^_^
Teristimewa untuk Kakak
yang kusebut murabbi yang bersedia
menjadi mediator. Semoga kasih sayang Allah selalu memberkahi atas jasanya yang
begitu besar. Dan tak kalah istimewa teruntuk Eftriani putri (icil) dan Siti
Nur Azimah yang juga sudah banyak membantu. Semoga cepat menyusul hehehe.
“Kenapa memilih kakak dek,
kan Siti nggak terlalu kenal dengan kakak?”
Tanyaku sebelum memasuki proses khitbah.
“Nggak tau kak tiba-tiba
teringat kakak. Teringat juga waktu kakak lebaran ke rumah Cuma kakak yang
nambah makan, sepertinya lidah kakak cocok dengan rumah kami.” Penjelasan yang
membuat aku tersenyum geli kemudian menyimpulkan. Ternyata banyak makan itu
membawa berkah hahahaha.
Dan tak ada yang kebetulan. Sebab Jauh
sebelum aku menarik napas pertama, kisah itu sudah tersimpan di balik langit,
di buku takdir.
Bangkinang,
24 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar