Selasa, 25 Juni 2013

Perahu Itu Telah Menemukan Pelabuhannya



Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab nyata (Lauh Mahfuz) Qs. Al-An’am:59
            Begitupula pertemuanku dengannya. Jauh sebelum aku menarik napas pertama, kisah itu sudah tersimpan di balik langit, di buku takdir.

            Masih teringat perbincangan di Januari yang galau.
            “Kakak ingin menikah cil.” Ucapku berkabut.
            Seperti biasa, junior sekaligus sahabat dekatku ini akan menawarkan sederet nama-nama ikhwan sebagai caranya menghiburku yang terserang galau stadium akhir.

            “Gimana kalau dengan abang Siti kak, Zuhri bajuri.” Satu nama mengalir dari bibirnya yang sebelumnya sama sekali tak pernah hadir dalam perbincangan kami.
            “Ah tidak mungkin.” Ujarku yang dengan jiwa psikolognya menyimpulkan xpresiku yang berbeda. Entahlah, tapi sungguh aku ingin menikah. Bukan karena dorongan usia, bukan juga karena full kesiapan. Aku ingin tetap kokoh di jalan dakwah ini. Hanya itu alasan terkuatku ingin menikah secepat mungkin.
            “Ya Allah aku ingin menikah, bukan dengan siapa-siapa hanya meminta seorang lelaki sholeh yang memiliki visi, misi, dan fikrah yang sama denganku.” Begitu doa-doaku di sepanjang januari dan febuari sambil memantapkan hati ingin berkonsultasi dengan Murabbi. Hingga malam itu, di penghujung febuari.
            “Kakak serius ingin menikah?” Tanya Icil yang tumben sekali menelponku malam-malam.
            “Ya kenapa?”
            “Ada ikhwan yang ingin ta’aruf, Kakak mau?”
            “Siapa?” Tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
            “Zuhri Bajuri, abangnya siti kak.” Kembali nama itu  hadir untuk kedua kalinya.
            “Pasti Icil kan yang nawarin kakak?” Tanyaku mengingat kembali percakapan kami beberapa minggu yang lalu.
            “Bukan kak, Siti yang milih Kakak, katanya abangnya minta dicarikan akhwat. Emang sih kak setiap kali Siti cerita tentang abannya pernah ingin menawarkan kakak, tapi selalu tersimpan di ujung lidah.” Sederet  penjelasan yang membuat aku kembali bertanya-tanya.
            “Benarkah ini jawaban dari doa-doaku ya Rabb.”
            Ahad, 23 Juni 2013 aku tak lagi bertanya sebab perahu itu telah menemukan pelabuhannya. Ya, dengan dia lelaki yang dulu hanya kukenal lewat angin dan tak tak pernah terlintas dialah ternyata lelaki hati itu yang akan membangun rumah jiwa bersamaku. Berdasarkan, visi, misi, dan fikrah yang sama. Yang menjadikan iman sebagai pondasinya, al-qur’an sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya. Sehingga bisa  kuceritakan kepadanya tentang hijaunya rumput, beningnya embun, mekarnya mawar, birunya laut, dan juga tentang rintiknya hujan  sampai ketika kepala kami telah berubah memutih. Bahkan kelak ketika kami dipertemukan di syurga, InsyaAllah ^_^
            Teristimewa untuk Kakak yang kusebut murabbi yang bersedia menjadi mediator. Semoga kasih sayang Allah selalu memberkahi atas jasanya yang begitu besar. Dan tak kalah istimewa teruntuk Eftriani putri (icil) dan Siti Nur Azimah yang juga sudah banyak membantu. Semoga cepat menyusul hehehe.
            “Kenapa memilih kakak dek, kan  Siti nggak terlalu kenal dengan kakak?” Tanyaku sebelum memasuki proses khitbah.
            “Nggak tau kak tiba-tiba teringat kakak. Teringat juga waktu kakak lebaran ke rumah Cuma kakak yang nambah makan, sepertinya lidah kakak cocok dengan rumah kami.” Penjelasan yang membuat aku tersenyum geli kemudian menyimpulkan. Ternyata banyak makan itu membawa berkah hahahaha.
            Dan tak ada yang kebetulan. Sebab Jauh sebelum aku menarik napas pertama, kisah itu sudah tersimpan di balik langit, di buku takdir.
Bangkinang, 24 Juni 2013


           
           

Tidak ada komentar: