Jumat, 21 Juni 2013

Senja Juni Ini


                               
                Bu, senja juni ini merah jambu yang membuat kuntum-kuntum bermekaran menebar haru. Dan ribuan kicaun burung yang singgah di pematang sawah terdengar merdu sekali.
         “Bu, bolehkah aku menikah?” Tanyaku beberapa bulan yang lalu. Kau hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku ,mungkin saja lucu bagimu sebab aku dimatamu masih terlalu kekanak-kanakan.
          “Aku serius bu ingin menikah.” Ujarku meyakinkan  sepasang matamu jika aku  bukan main-main.
             “Mau menikah dengan siapa? Udah ada calon?” Tanyamu yang membuat aku bungkam sebab saat itu jawabannya masih  terasa samar.
            Hanya hening yang menyilap diantara percakapan kita di petang itu.
            “Menikahlah, tapi ibu ingin seorang menantu yang bisa dijadikan penceramah di mesjid.” Dan petang itu gerimis yang turun perlahan membawa harapmu ke langit. Dia yang akan menikahiku seperti yang kau inginkan bu mungkin lebih, InsyaAllah.

          Ah waktu berjalan cepat sekali bu , sangat cepat. Baru kemaren rasanya kau menjalin rambutku lalu menggandeng jemariku menuju sekolah dengan seragam merah putih yang kujadikan sebagai identitasku. Baru kemaren rasanya kau ajarkan aku melukis dengan indah, pelajaran pertama yang kudapatkan di bangku sekolah. Baru kemaren rasanya kau ikut menangis atas kegagalanku yang berkali-kali. Baru kemaren juga rasanya kau tersenyum bangga saat kuceritakan tentang prestasi kecilku. Dan esok kau akan mengantarkanku di gerbang episode bernama pernikahan. Yang memindahkan surga  di telapak kakimu  ke ridho lelaki yang akan menjadi penyempurna agamaku. Doakan  aku bu bisa menjadi istri sholehah untuknya dalam kondisi apapun itu.
            Pada senja juni ini kutitipkan ribuan terima kasihku. Untuk doa-doamu, air matamu, dan juga lelah keringatmu. Sungguh bu aku menyayangimu. Rasa sayang yang tak cukup kulukiskan lewat kata ataupun kueja lewat lisan. Maaf jika aku belum mampu menjadi sholehah untukmu. Aku yang jarang sekali menelponmu sekedar bertanya kabar saat jarak menjadi pembatas. Aku yang masih saja menambah gelisahmu setiap kali suara kita betemu di ujung telpon. Kuharap esok ketika ribuan doa-doa itu  berterbangan dalam melodi yang mengalun dari perjanjian agung yang menggetarkan gunung-gunung, mitsaqan ghalizaa  . Wajah Ibu yang ingin kulihat pertama kali biar aku bisa mendefeniskan kebahagiaan yang kutemukan dari percakapan sederhana kita di petang kemaren.
              “ Apakah Ibu bahagia?” Tanyaku yang kau jawab dengan suara lirih
          “Ibu bahagia nak, sangat bahagia.” Jawaban yang membuat senja juni ini semakin merah jambu. Mungkin juga  seperti hatiku.
           

Tidak ada komentar: