Bu, senja juni ini merah jambu yang membuat kuntum-kuntum bermekaran menebar haru. Dan ribuan kicaun burung yang singgah di pematang sawah terdengar merdu sekali.
“Bu, bolehkah aku menikah?” Tanyaku
beberapa bulan yang lalu. Kau hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku ,mungkin
saja lucu bagimu sebab aku dimatamu masih terlalu kekanak-kanakan.
“Aku serius bu ingin menikah.”
Ujarku meyakinkan sepasang matamu jika
aku bukan main-main.
“Mau menikah dengan siapa? Udah ada
calon?” Tanyamu yang membuat aku bungkam sebab saat itu jawabannya masih terasa samar.
Hanya hening yang menyilap diantara
percakapan kita di petang itu.
“Menikahlah, tapi ibu ingin seorang
menantu yang bisa dijadikan penceramah di mesjid.” Dan petang itu gerimis yang
turun perlahan membawa harapmu ke langit. Dia yang akan menikahiku seperti yang
kau inginkan bu mungkin lebih, InsyaAllah.
Ah waktu berjalan cepat sekali bu ,
sangat cepat. Baru kemaren rasanya kau menjalin rambutku lalu menggandeng
jemariku menuju sekolah dengan seragam merah putih yang kujadikan sebagai
identitasku. Baru kemaren rasanya kau ajarkan aku melukis dengan indah,
pelajaran pertama yang kudapatkan di bangku sekolah. Baru kemaren rasanya kau
ikut menangis atas kegagalanku yang berkali-kali. Baru kemaren juga rasanya kau
tersenyum bangga saat kuceritakan tentang prestasi kecilku. Dan esok
kau akan mengantarkanku di gerbang episode bernama pernikahan. Yang memindahkan
surga di telapak kakimu ke ridho lelaki yang akan menjadi penyempurna
agamaku. Doakan aku bu bisa menjadi
istri sholehah untuknya dalam kondisi apapun itu.
Pada senja juni ini kutitipkan
ribuan terima kasihku. Untuk doa-doamu, air matamu, dan juga lelah keringatmu. Sungguh
bu aku menyayangimu. Rasa sayang yang tak cukup kulukiskan lewat kata ataupun
kueja lewat lisan. Maaf jika aku belum mampu menjadi sholehah untukmu. Aku yang
jarang sekali menelponmu sekedar bertanya kabar saat jarak menjadi pembatas. Aku
yang masih saja menambah gelisahmu setiap kali suara kita betemu di ujung
telpon. Kuharap esok ketika ribuan doa-doa itu berterbangan dalam melodi yang mengalun dari
perjanjian agung yang menggetarkan gunung-gunung, mitsaqan
ghalizaa . Wajah Ibu
yang ingin kulihat pertama kali biar aku bisa mendefeniskan kebahagiaan yang
kutemukan dari percakapan sederhana kita di petang kemaren.
“ Apakah Ibu bahagia?” Tanyaku yang
kau jawab dengan suara lirih
“Ibu bahagia nak, sangat bahagia.”
Jawaban yang membuat senja juni ini semakin merah jambu. Mungkin juga seperti hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar