Jumat, 15 April 2011

Penantian Luka



Hari ini sepuluh tahun sudah usia pernikahanku dengan Bang Ardi. Tapi tidak ada yang istimewa, sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya kulewati bersama Naya, buah cinta kami yang sudah berumur Sembilan tahun. Dan selembar surat yang dikirimkan Bang Ardi . Yang mengatakan kalau ia baik-baik saja. empat tahun sudah ia pergi merantau ke Malaysia dan entah kapan ia akan pulang.
“Sayang, Abang janji dua tahun lagi Abang akan pulang,” ucapnya empat tahun yang lalu.
Berat aku melepaskan kepergiannya. Tapi jika ia tidak pergi merantau, kondisi ekonomi keluarga kami tidak akan pernah membaik.
Tahun pertama di Negeri rantauan, ia rajin mengirim surat bersama jumlah uang yang tidak terlalu banyak. Hingga sampai tahun kedua ia masih mengirim surat dan uang dalam jumlah yang lebih dari cukup, tapi ia tak kunjung pulang seperti janjinya dua tahun yang lalu. Memasuki tahun ke tiga Sikapnya mulai berubah. Jika dulu hampir setiap bulan ia mengirim surat, tapi sekarang hanya tiga bulan sekali atau enam bulan sekali . Pernah kutanya kenapa ia jarang mengirim surat .Alasannya ia sedang sibuk. Kadang aku merasa cemas apalagi mendengar isu-isu yang menyebar di kampungku. Yang mengatakan Bang Ardi telah memiliki istri baru di sana. Tapi aku berusaha menepis prasangka buruk itu. Aku yakin Bang Ardi tidak akan menduakanku Karena aku sangat mengenalnya dan ia sangat memahami perasaanku.
***
Ros, bulan depan Abang akan pulang.
Seulas senyum mengembang di bibirku saat membaca kembali kalimat terakhir dalam surat yang di kirimkan Bang Ardi. Sebentar lagi Panantianku akan berakhir. Dibenakku telah kubayangkan istana bahagia yang akan kubangun nanti bersamanya dan Naya, buah cinta kami.
***
Satu bulan kemudian
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aku segara bangkit dan bergegas membuka pintu.
“Pasti Bang Ardi yang pulang,” ucapku dengan hati berbunga-bunga.
Saat aku membuka pintu, ternyata benar di hadapanku telah berdiri sosok lelaki yang sangat aku rindui . Ingin rasanya segera kumemeluknya meluahkan segala rasa rinduku . Tapi langkahku terhenti saat melihat sosok wanita yang berdiri di sampingnya. Perut wanita itu besar, sepertinya ia sedang hamil.
“Dia siapa Bang,?” Tanyaku.
“Dia…” Jawab Bang Amir gugup.
“Siapa?”
“Dia Aida, sebanarnya Abang berat untuk mengatakan ini. Naman Ros harus tahu kalau Aida adalah Istri baru Abang. Satu tahun yang lalu Abang menikahinya. Abang harap Ros bisa menerima kehadirannya di rumah kita.”

Jawaban Bang Ardi seperti sembilu yang mengoyak-ngoyak harapanku dan menorehkan luka pada penantiaanku selama ini. Seketika Air mataku tumpah, bibirku kelu bersama perih yang menjalar di dinding hatiku.

Tidak ada komentar: