Rabu, 06 April 2011

Luka Adinda



“Adinda, maukah kau menikah denganku?”
Ucapan Faiz dua minggu yang lalu masih terngiang-ngiang di telingaku. Ucapan yang seperti itu bukan untuk pertama kali lagi aku mendengarkanya. Sebelum Faiz juga ada beberapa lelaki yang pernah mengatakan ucapan yang sama. Dan aku selalu memberikan jawaban yang sama bahwa aku belum bisa menerima mereka.Tapi kali ini Faiz yang mengataknanya, sosok lelaki yang sudah kukenal dengan baik, sejak di bangku kuliah sampai sekarang kami di pertemukan kembali dalam satu perkerjaan yang sama. Jujur ketika ucapan itu terlontar dari bibir Faiz, ada getaran di hatiku. Tapi aku masih takut melangkah. luka tiga tahun yang lalu masih menganga di hatiku yang meninggalkan trauma dan menghilangkan kepercayaanku hingga kini di umurku yang hampir kepala tiga aku belum barani untuk memilih pasangan hidup.
Ingatanku kembali menembus potongan-potongan slide masa lalu. Aku adalah anak pertama dari satu bersaudara dan di lahirkan dari keluarga yang mapan dan bahagia. Ayahku selain seorang pengusaha yang mememiliki beberapa toko yang cukup ternama di daerahku, Ayah juga orangnya cukup agamis kerena dulunya tamatan dari pondok pesantren. Kadang sekali-kali ayah di minta untuk mengisi kajian di mesjid sekitar rumahku. Dan aku sangat mengagumi Ayah. Sedangkan Ibuku adalah seorang guru SD. Tapi ketika aku mulai memasuki bangku SMA kebahagian itu berubah manjadi luka yang perihnya masih terasa sampai hari ini.
Awalnya aku tidak percaya dengan isu-isu itu. Isu tentang Ayah memiliki hubungan khusus dengan salah seorang karyawan yang berkerja di toko kami. Tapi aku mulai curiga saat sikap Ayah mulai berbuah. Jika biasanya hari libur Ayah selalu mengahbiskan waktunya di rumah bersama kami, tapi semenjak isu itu beredar Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di toko dengan beribu alasan. Dan akhirnya kecurigaanku kepada Ayah selama ini terbukti juga, saat aku tanpa sengaja membuka pesan masuk di hp Ayah. Sederet sapaan kalimat mesra membuat jemariku penasaran membaca pesan-pesan yang masuk sebelumnya di inbox hp Ayah. Dan betapa terkejutnya aku ternyata benar Ayah memiliki hubungan khusus dengan wanita lain bahkan mereka sudah berencana ingin menikah. Hatiku seperti di tusuk sembilu. Bagaimana jika Ibu tahu?. Kenapa Ayah masih mencari wanita lain? Kurang baik apalagi Ibu yang selalu patuh dan berlemah lembut kepada Ayah? Kurang cantik apalagi Ibu, yang dulunya adalah bunga Desa. Selama ini Ibu sangat bahagia hidup bersama dengan Ayah, tapi kenapa Ayah tidak bisa bahagia dengan Ibu seorang saja.
Semenjak aku tahu hubungan khusus Ayah dengan wanita lain, sikapku mulai berubah. hingga suatu malam saat kami sedang berkumpul di ruang keluarga. Ayah benar-benar menorehkan luka di hatiku.
“Minggu depan Tari akan tinggal di rumah kita,” ucap Ayah tiba-tiba.
“Siapa Tari, Ayah”? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ibu barumu, Ibumu telah mengizinkan Ayah untuk menikah lagi.” Jawab Ayah dengan nada tanpa bersalah.
Ternyata Ibu telah lama mengetahui hubungan Ayah dengan wanita lain. Kenapa Ibu memendam lukanya sendiri.
Kulihat wajah Ibu yang hanya tertunduk pasrah. Bulir-bulir bening mengalir ke pipinya. Ah aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Ibu.
“Ayah harap Adinda bisa menerimanya.” Lanjut Ayah.
“Tidak Ayah, Adinda tidak akan pernah bisa menerima wanita itu.” Jawabku dengan emosi yang mulai memuncak. Kemudian berlari menuju kamar dan membanting pintu kamarku.
“Ibu, kenapa mengizinkan Ayah menikah lagi? Tanyaku saat kami duduk di beranda rumah.
“Bahagia Ayahmu adalah bahagia Ibu Nak.” Jawab Ibu dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh beruntung aku lahir dari rahim wanita luar biasa sepertimu Ibu.
Ayah benar-benar membawa wanita itu pulang ke rumah. Pantesan Ayah tertarik dengan wanita itu. Dia cantik dan jauh lebih muda dari Ibu. Dan semanjak kedatangan wanita itu suasana rumah tidak lagi sehangat dulu. Apalagi melihat sikap Ayah yang jauh berubah. Kadang aku melihat Ibu menagis diam-diam. Tapi Ibu masih saja mempertahankan rumah tangganya yang telah retak. Hingga suatu hari Ibu membawakan kabar gembira tentang kehamilannya yang telah memasuki dua bulan. Ayah bahagia dan mulai memperhatikan Ibu. Tapi itu hanya dua minggu. Setelah itu Ayah kembali cuek seperti biasa dan sibuk dengan istri mudanya. Semakin hari perut Ibu semakin besar, tapi sikap Ayah tidak juga berubah. Hingga Ibu benar-benar meminta yang tidak pernah ia inginkan terjadi selama ini. Ibu meminta cerai dari Ayah karena tidak tahan lagi melihat sikap Ayah. Dan Ayah mengabulkan permintaan Ibu, tanpa sedikitpun membujuk Ibu untuk kembali.
Beginikah cinta? Kemana janji-janji yang di ucapkan dulu ketika ijab-qabul itu di lafazkan? Kemana kisah cinta yang selalu dibanggakan Ayah kepadaku dulu semudah inikah ia tenggelam? kenapa kisah cinta yang hanpir terbangun duapuluh tahun harus berakhir dengan sangat memiriskan? Apakah cinta itu benar telah lenyap atau cinta tidak pernah menyatu dengan hati, tetapi hanya ad di ucapan saja.
Semenjak percerain Ayah dan Ibu. Aku memilih ikut bersama Ibu. Kami mengontrak rumah sederhana dan memulai hidup baru. Tapi ketika usia kendungan Ibu memasuki delapan bulan, aku harus merelakan kepergiaan Ibu untuk selama-lamanya. Ibu mengalami pendarahan karena terlalu banyak berkerja. Bayi di kandungan ibu juga tidak bisa di selamatkan. Saat itu ingin sekali aku menyalahkan Ayah dengan rasa benci yang kian menumpuk di hatiku. Tapi aku ingat pesan Ibu.
“Adinda, jangan pernah membenci ataupun menaruh dendam kepada Ayahmu. Walaubagaimanapun ia adalah Ayahmu, di dalam darahmu juga mengalir darah Ayahmu.”
Dan pesan Ibu telah kubuktikan. Saat-saat Ayah menghembuskan napas terakhirnya aku berada di sampingnya.Tapi luka yang telah tertoreh di hatiku sulit untuk aku sembuhkan dan membuat aku trauma untuk melangkah.
“Adinda, ko melamun? Suara Cici teman satu kantorku membuyarkan lamunanku.
“Ada apa? Apakah masalah Faiz?” Tebaknya.
Aku menoleh kearahnya sambil menghapus air mataku yang menitik.
“Faiz sudah lelaki ke tujuh yang mengajakmu menikah dank au telah mengenalnya hampir lima tahun, masihkah kau menolaknya?” Ucap Cici yang sudah tahu semua tentang kisah hidupku.
“Ibuku dulu sebelum menikah juga telah mengenal Ayahku hampir enam tahun bahkan hubungan mereka sangat dekat, tapi apa yang Ibu dapatkan dari Ayah…” Ujarku dengan suara yang bergetar.
“Masih adakah lelaki yang mengerti tentang cinta, Cici.” Lanjutku dengan air mata yang kembali mengalir.
Hening
Perlahan Cici meraihku kedalam pelukannya seolah ikut mersakan lukaku.
“Adinda sayang, luka itu bukan untuk kau rawat, tapi untuk kau sembuhkan,kau harus berani melangkah dan percayalah tidak semua lelaki seperti Ayahmu.”
Aku menatap Cici dalam-dalam melihat kesungguhan dimatanya.
“Buktinya Ayahku setia kan!” lanjutnya dengan senyuman yang mengembang.
Akupun ikut tersenyum kemudian melangkahkan kakiku keluar dari kamar.
“Adinda, mau kemana?” Tanya Cici.
“Mau memberikan sebuah jawaban.” Jawabku sambil melemparkan senyum kearahnya.

Tidak ada komentar: