Adalah saya yang selalu kebingungan setiap kali di serbu dengan
pertanyaan “Kapan menikah?” Pertanyaan yang kadang menjadi begitu menjengkelkan.
Seolah-olah usia saya sudah seabad.
Mungkin kejengkelan itu disebabkan karena saya tak memiliki jawaban
yang pasti.Selain berputar-putar di 2013, 2014, dan 2015. Meski terkadang
keinginan menikah itu begitu kuat. Setiap kali mendengarkan cerita indahnya
dunia pernikahan. Yang katanya dunia hanya milik berdua sedangkan yang lain
ngontrak. Di tambah lagi berbagai tekanan yang membuat saya hampir berputus
asa.
“Apa sebaiknya saya menikah saja?” Begitu lah pertanyaan yang
sering kali muncul. Namun lagi-lagi saya tak menemukan jawaban yang
pasti. Seperti ada yang berontak ketika saya menjadikan dua alasan itu untuk
saya segera menikah. Karena pernikahan bukanlah sebuah permainan yang harus di
putuskan dengan tergesa-gesa. Ada yang
harus saya persiapakan dan juga pertimbangkan. Agar esok kapal yang saya tumpangi untuk berlayar menuju akhirat tak karam di tengah jalan. Tentu saja
yang paling penting dengan siapa saya harus berlayar?
Saya tak pernah
menetapkan kreteria setinggi langit. Bahwa esok saya harus menikah dengan seorang
penulis, harus menikah dengan seorang Trainer, atau pun harus menikah dengan seorang Hafidz. Karena bagi saya
pernikahan itu adalah sarana untuk mewujudkan harapan. Jika saya menginginkan
seorang penulis, maka setelah menikah saya harus mengajarkannya bagaimana cara
menulis. Begitu pun jika saya berharap dia seorang trainer atau pun seorang
hafidz. Bukankah kita memang membutuhkan sepasang sayap untuk bisa terbang
lebih tinggi lagi. Meski dulu saya berharap sekali bisa menikah dengan
lelaki berwajah tampan dan kaya raya. Layaknya seorang pangeran yang akan
mengatakan “Bersediakah kau menikah denganku?. Tapi itu dulu jauh sebelum saya mengenal
tarbiyah.
Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya pemahaman ke islaman saya setelah memutuskan
untuk berhijrah lahir dan batin. Harapan itu perlahan bertukar menjadi kalimat“Bersedia
kah ukhti berjuang bersama saya?”. Dan saya tak perlu lagi menjadikan alasan
fisik untuk memilihnya.Sebab jika saya memilihnya hanya karena fisik kemungkinan
esok dia juga akan meninggalkan saya dengan alasan fisik. Begitu pun jika saya
memilihnya hanya karena alasan materi kemungkinan
dia juga akan meninggalkan saya dengan alasan yang sama. Namun jika saya
memilihnya karena hati, masih adakah esok ia memiliki alasan untuk meninggalkan
saya? saya rasa tidak.
Ya, lelaki hati
yang bersedia membangun rumah jiwa bersama saya. Yang di bangun berdasarkan,
visi, misi, dan fikrah yang sama. Yang menjadikan iman sebagai pondasinya,
al-qur’an sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya. Sehingga bisa saya ceritakan kepadanya tentang hijaunya
rumput, beningnya embun, mekarnya mawar, birunya laut, dan juga tentang
rintiknya hujan sampai ketika kepala
kami telah berubah memutih. Romantis bukan? hehehe
Nah jika saya
menginginkan lelaki hati. Maka terlebih dahulu saya harus menjadi perempuan
hati. Dengan memperbaiki diri saya. Mulai dari tilawah saya yang masih
berantakan. Hapalan saya yang sangat jauh dari minimal. Sholat sunad yang
keseringan alfa. Semangat berbagi saya yang timbul tenggelam. Sikap anak-anak
yang begitu akrab dengan diri saya, apalagi kalau sensi saya kambuh bisa-bisa nama saya berubah jadi Sumanti. Dan
yang paling penting saya tak keliru lagi membedakan mana kunyit mana jahe.
Jadi kapan
nikahnya Ma? Hanya di jawab dengan senyuman paling manis. Sebab kisah ini
belum selesai. Entah kemana aliran ini membawa hatiku dan juga hatinya. Untuk
sementara hanya laut biru yang tau.
Kota Bertuah, 16 Januari 2013
2 komentar:
aamiiin..
semoga dipertemukan pada saat yang tepat dan cara yang indah..
dan, secepatnya, i think.. :)
amin :D
Posting Komentar