Rabu, 16 Januari 2013

Pernikahan Itu...............Part I



         Adalah saya yang selalu kebingungan setiap kali di serbu dengan pertanyaan “Kapan menikah?” Pertanyaan yang kadang menjadi begitu menjengkelkan. Seolah-olah usia saya sudah seabad.
Mungkin kejengkelan itu disebabkan karena saya tak memiliki jawaban yang pasti.Selain berputar-putar di 2013, 2014, dan 2015. Meski terkadang keinginan menikah itu begitu kuat. Setiap kali mendengarkan cerita indahnya dunia pernikahan. Yang katanya dunia hanya milik berdua sedangkan yang lain ngontrak. Di tambah lagi berbagai tekanan yang membuat saya hampir berputus asa.
“Apa sebaiknya saya menikah saja?” Begitu lah pertanyaan yang sering kali muncul.  Namun  lagi-lagi saya tak menemukan jawaban yang pasti. Seperti ada yang berontak ketika saya menjadikan dua alasan itu untuk saya segera menikah. Karena pernikahan bukanlah sebuah permainan yang harus di putuskan dengan tergesa-gesa.  Ada yang harus saya persiapakan dan juga pertimbangkan. Agar  esok kapal yang saya tumpangi untuk berlayar menuju  akhirat tak karam di tengah jalan. Tentu saja yang paling penting dengan siapa saya harus berlayar?
            Saya tak pernah menetapkan kreteria setinggi langit. Bahwa esok saya harus menikah dengan seorang penulis, harus menikah dengan seorang Trainer, atau pun harus menikah  dengan seorang Hafidz. Karena bagi saya pernikahan itu adalah sarana untuk mewujudkan harapan. Jika saya menginginkan seorang penulis, maka setelah menikah saya harus mengajarkannya bagaimana cara menulis. Begitu pun jika saya berharap dia seorang trainer atau pun seorang hafidz. Bukankah kita memang membutuhkan sepasang sayap untuk bisa terbang lebih tinggi lagi. Meski dulu  saya berharap sekali bisa menikah dengan lelaki berwajah tampan dan kaya raya. Layaknya seorang pangeran yang akan mengatakan “Bersediakah kau menikah denganku?.  Tapi itu dulu jauh sebelum saya mengenal tarbiyah.
       Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya  pemahaman ke islaman saya setelah memutuskan untuk berhijrah lahir dan batin. Harapan itu perlahan bertukar menjadi  kalimat“Bersedia kah ukhti berjuang bersama saya?”. Dan saya tak perlu lagi menjadikan alasan fisik untuk memilihnya.Sebab jika saya memilihnya hanya karena fisik kemungkinan esok dia juga akan meninggalkan saya dengan alasan fisik. Begitu pun jika saya memilihnya hanya karena alasan  materi kemungkinan dia juga akan meninggalkan saya dengan alasan yang sama. Namun jika saya memilihnya karena hati, masih adakah esok ia memiliki alasan untuk meninggalkan saya? saya rasa tidak.
            Ya, lelaki hati yang bersedia membangun rumah jiwa bersama saya. Yang di bangun berdasarkan, visi, misi, dan fikrah yang sama. Yang menjadikan iman sebagai pondasinya, al-qur’an sebagai atapnya, dan dakwah sebagai pintunya. Sehingga bisa  saya ceritakan kepadanya tentang hijaunya rumput, beningnya embun, mekarnya mawar, birunya laut, dan juga tentang rintiknya hujan  sampai ketika kepala kami telah berubah memutih. Romantis bukan? hehehe
            Nah jika saya menginginkan lelaki hati. Maka terlebih dahulu saya harus menjadi perempuan hati. Dengan memperbaiki diri saya. Mulai dari tilawah saya yang masih berantakan. Hapalan saya yang sangat jauh dari minimal. Sholat sunad yang keseringan alfa. Semangat berbagi saya yang timbul tenggelam. Sikap anak-anak yang begitu akrab dengan diri saya, apalagi kalau sensi saya kambuh  bisa-bisa nama saya berubah jadi Sumanti. Dan yang paling penting saya tak keliru lagi membedakan mana kunyit mana jahe.
            Jadi kapan nikahnya Ma? Hanya di jawab dengan senyuman paling manis. Sebab kisah ini belum selesai. Entah kemana aliran ini membawa hatiku dan juga hatinya. Untuk sementara hanya laut biru yang tau.
Kota Bertuah, 16 Januari 2013


           

2 komentar:

Anonim mengatakan...

aamiiin..
semoga dipertemukan pada saat yang tepat dan cara yang indah..
dan, secepatnya, i think.. :)

ematul hasanah mengatakan...

amin :D