Senin, 24 Desember 2012

Kerena Menulis Memberikanku Sayap Untuk Bermimpi


             Dulu banyak sekali hal yang saya takutkan dalam hidup ini. Termasuk memiliki mimpi. Saya yang tumbuh di lingkungan keluarga yang cendrung menjadikan kalimat pedas sebagai bentuk motivasi. Tak sejalan dengan kondisi hati saya yang lembut dan sensitive.
            Berawal dari kegagalan saya yang tak bisa kuliah di Universitas dan jurusan yang saya inginkan. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali mengikuti test tetap saja kegagalan berpihak kepada  saya. Tentu saja kegagalan saya menyebabkan kemarahan keluarga saya yang dari awal lebih menginginkan saya kuliah di jurusan kesehatan. Entah berapa banyak kalimat pedas yang saya terima. Yang menjelma menjadi sembilu mengiris-iris hati saya. Rasanya perih sekali. Ditambah lagi dalam waktu bersamaan saya harus kehilangan demi kehilangan orang-orang yang saya cintai.  Jadi sempurna sudah keterpurukan saya. Yang hanya saya ceritakan pada berlembar-lembar kertas.
            Sebenarnya sudah sejak berstatuskan pelajar saya suka menulis. Hanya saja tak bisa dikatakan sering. Bisa saja sekali sebulan atau bahasa lebaynya sekali seabad. Jauh berbeda dengan kondisi saya ketika terpuruk. Setiap hari hanya menjadikan kertas dan pena sebagai pundak untuk saya menumpahkan kesedihan. “Sudahlah semuanya akan baik-baik saja.” Begitulah kalimat yang bisa saya simpulkan andai saja pena dan kertas bisa bicara. Saya benar-benar lega setiap kali selesai menulis. Entah seperti apa harus saya defenisikan kelegaan itu. Yang seiring berjalannya waktu memberikan saya sayap untuk terbang meraih mimpi.
            Tak pernah terlintas di benak saya menaruh keinginan akan menjadi penulis. Sebab bagi saya menulis hanya sebuah cara untuk sedikit berdamai dengan hati. Namun semuanya berubah ketika salah seorang teman yang rutin membaca tulisan-tulisan saya, menawarkan saya untuk ikut bergabung dengan Flp. Organisasi yang mengenalkan saya dengan penulis-penulis hebat. Yang  mampu merubah dunia hanya dengan sebuah pena, luar biasa sekali. Tentu saja saya iri dengan karya-karya mereka. Rasa iri yang membuat mimpi saya menjadi seorang penulis begitu kuat.

            Saya yang awalnya hanya menyimpan tulisan-tulisan saya sebagai koleksi pribadi, mulai berani mengirimkan tulisan saya ke media. Jangan dikira langsung terbit, walaupun kebanyak teman yang mengatakan tulisan saya puitis tingkat langit. Namun tak begitu dengan hati redaktur media yang saya tuju. Yang menolak tulisan saya berkali-kali banyaknya hingga tulisan ke tujuh berhasil terbit.
Saya masih ingat hari itu ketika saya menemukan nama saya di deretan puisi Ramdhon dengan judul puisi yang dirubah sedikit oleh redaktur menjadi “Daun-daun sya’ban.” Jangan ditanya seperti apa kebahagiaan saya saat itu. Ingin rasanya sepanjang  jalan saya berteriak “hai tulisan saya terbit di medi.” Begitulah kira-kira expresi kebahagiaan yang bisa saya gambarkan. Walaupun honor yang saya dapatkan hanya cukup untuk makan dua hari sebagai anak kost. Tapi bukan honor yang menjadi tujuan utama saya walaupun jika ada tidak akan pernah nolak. J
            Dan hanya menunggu satu minggu kemudian. Tulisan saya kembali terbit tanpa editan satu katapun dengan judul”Kuntum Hariku”. Yang membuat semangat menulis saya semakin menggebu-gebu. Saya mulai melirik ke lomba-lomba baik yang online maupun yang ofline. Mengirimkan sebanyak-banyaknya tulisan berharap sekali setidaknya satu saja tulisan saya ada  di deretan pemenang. Namun hanya air mata yang menumpuk di sudut mata saya yang membuat saya sempurna ingin berhenti menulis. Sebab tekad manusia sekokoh apa pun tampaknya sering kali semu. Sama dengan keadaan manusia yang sejatinya memang lemah. Putus asa. Begitulah yang mendominasi ruang hati pada awalnya.
            Berhari-hari bahkan berbulan-bulan tak ada satu kalimat pun yang saya tulis. Namun sepanjang hari hanya gelisah yang saya temui. Seperti di himpit beban berton-ton. Yang kemudian membuat saya paham. Saya harus kembali menulis. Tentunya dengan memperaiki niat. Menjadikan menulis bukan hanya sebagai luahan kisah sedih semata ataupun terlalu terobsesi mengejar populeritas.  Tapi menjadikan menulis  sebagai bentuk ibadah untuk meperpanjang usia.  Dengan tulisan yang memberikan pemahaman yang baik kepada pembaca.
Dan bersabarlah menunggu kabar baik itu datang. Sebab semua itu butuh proses. Sama halnya dengan sebuah pisau  yang tumpul jika terus menerus di asah akan menjadi tajam. Begitu pun  dengan menulis jika terus menerus menulis setidaknya satu kalimat satu hari. Tentu yang buntu lama-kelamaan akan menemukan jalan. Yang beku akan mencair.  Bukan hanya melatih dengan menulis. Tapi juga membaca seperti yang dikatakan Asma Nadia. “Kamu tidak akan bisa menulis jika kamu tak ingin membaca”. Ya, membaca tak hanya membaca buka. Peka untuk membaca lingkungan. Sebab apa yang di lihat, apa yang di dengarkan, dan apa yang di rasakan bisa menjadi ide cermerlang untuk di tulis. Misal saja ketika hujan turun. Bagi seorang penulis setiap tetes hujan yang turun menyimpan banyak cerita. Entah kehilangan, kesepian, luka, atau pun kebahagian. Begitu pun ketika menatap langit, senja, laut, ombak, dan banyak lagi yang menjadi sumber isnpirasi. Begitulah uniknya seorang penulis. Selalu belajar memahami kehidupan dari alam. Dengan bermodalkan hati yang sedikit lebih peka. Hingga setiap usaha yang menyatu dalam doa berbaik hati dengan waktu.
Hampir satu tahun lamanya saya menunggu setelah begitu jenuh dengan kegagalan. Yang akhirnya membawa tulisan-tulisan saya yang tak hanya  terbit media lokal. Satu per satu tulisan saya menang lomba. Saya masih ingat hari itu ketika sebuah pesan masuk ke inbox saya.
“Kak, ema selamat ya menang lomba cerpen Xpresi.”
“Benaran dek tidak sedang ngerjain Kakak kan?” Balas saya dengan jemari yang gemetaran.
“Benaran kak serius kak.” Tanpa berpikir panjang dengan langkah seribu langsung saya menuju ke kantor redaksi hanya untuk menanyakan kepastiaan sms yang saya terima. Ternyata saya tak sedang bermimpi nama saya lengakap dengan judul cerpen berada di urutan ke tiga. Rasanya sesuatu banget tak lagi ingin teriak tapi ingin terbang ke langit ke 7 :)
Begitupun seterusnya satu per satu nama saya mulai ada di deretan nominasi lomba online yang saya ikuti. Tentu saja prestasi kecil ini bagi saya luar biasa sekali yang dulunya hanya saya tuliskan pada berlembar kertas. Di hina, di jatuhkan, bahkan di pandang sebelah mata. Setidaknya dengan prestasi menulis ini saya bisa merubah cara pandang keluarga saya yang dulunya hanya melihat saya dari sisi kelemahan. Ah tenyata terkadang kita butuh di jatuhkan. Untuk memahami begitu banyak potensi yang menumpuk yang memberikan sayap untuk terabang tinggi meraih mimpi.

                                                          Di ikutkan dalam Proses Kreatif Menulis Flp Riau

           


Tidak ada komentar: