Dulu banyak sekali hal yang saya takutkan dalam hidup ini. Termasuk
memiliki mimpi. Saya yang tumbuh di lingkungan keluarga yang cendrung
menjadikan kalimat pedas sebagai bentuk motivasi. Tak sejalan dengan kondisi
hati saya yang lembut dan sensitive.
Berawal dari
kegagalan saya yang tak bisa kuliah di Universitas dan jurusan yang saya
inginkan. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali mengikuti test tetap saja
kegagalan berpihak kepada saya. Tentu
saja kegagalan saya menyebabkan kemarahan keluarga saya yang dari awal lebih
menginginkan saya kuliah di jurusan kesehatan. Entah berapa banyak kalimat
pedas yang saya terima. Yang menjelma menjadi sembilu mengiris-iris hati saya.
Rasanya perih sekali. Ditambah lagi dalam waktu bersamaan saya harus kehilangan
demi kehilangan orang-orang yang saya cintai.
Jadi sempurna sudah keterpurukan saya. Yang hanya saya ceritakan pada
berlembar-lembar kertas.
Sebenarnya sudah
sejak berstatuskan pelajar saya suka menulis. Hanya saja tak bisa dikatakan
sering. Bisa saja sekali sebulan atau bahasa lebaynya sekali seabad. Jauh
berbeda dengan kondisi saya ketika terpuruk. Setiap hari hanya menjadikan
kertas dan pena sebagai pundak untuk saya menumpahkan kesedihan. “Sudahlah
semuanya akan baik-baik saja.” Begitulah kalimat yang bisa saya simpulkan andai
saja pena dan kertas bisa bicara. Saya benar-benar lega setiap kali selesai
menulis. Entah seperti apa harus saya defenisikan kelegaan itu. Yang seiring
berjalannya waktu memberikan saya sayap untuk terbang meraih mimpi.
Tak pernah
terlintas di benak saya menaruh keinginan akan menjadi penulis. Sebab bagi saya
menulis hanya sebuah cara untuk sedikit berdamai dengan hati. Namun semuanya
berubah ketika salah seorang teman yang rutin membaca tulisan-tulisan saya,
menawarkan saya untuk ikut bergabung dengan Flp. Organisasi yang mengenalkan
saya dengan penulis-penulis hebat. Yang
mampu merubah dunia hanya dengan sebuah pena, luar biasa sekali. Tentu
saja saya iri dengan karya-karya mereka. Rasa iri yang membuat mimpi saya
menjadi seorang penulis begitu kuat.
Saya yang awalnya
hanya menyimpan tulisan-tulisan saya sebagai koleksi pribadi, mulai berani
mengirimkan tulisan saya ke media. Jangan dikira langsung terbit, walaupun
kebanyak teman yang mengatakan tulisan saya puitis tingkat langit. Namun tak
begitu dengan hati redaktur media yang saya tuju. Yang menolak tulisan saya
berkali-kali banyaknya hingga tulisan ke tujuh berhasil terbit.
Saya masih ingat hari itu ketika saya menemukan nama saya di
deretan puisi Ramdhon dengan judul puisi yang dirubah sedikit oleh redaktur
menjadi “Daun-daun sya’ban.” Jangan ditanya seperti apa kebahagiaan saya saat
itu. Ingin rasanya sepanjang jalan saya
berteriak “hai tulisan saya terbit di medi.” Begitulah kira-kira expresi
kebahagiaan yang bisa saya gambarkan. Walaupun honor yang saya dapatkan hanya
cukup untuk makan dua hari sebagai anak kost. Tapi bukan honor yang menjadi
tujuan utama saya walaupun jika ada tidak akan pernah nolak. J
Dan hanya menunggu
satu minggu kemudian. Tulisan saya kembali terbit tanpa editan satu katapun
dengan judul”Kuntum Hariku”. Yang membuat semangat menulis saya semakin
menggebu-gebu. Saya mulai melirik ke lomba-lomba baik yang online maupun yang
ofline. Mengirimkan sebanyak-banyaknya tulisan berharap sekali setidaknya satu
saja tulisan saya ada di deretan
pemenang. Namun hanya air mata yang menumpuk di sudut mata saya yang membuat
saya sempurna ingin berhenti menulis. Sebab tekad manusia sekokoh apa pun
tampaknya sering kali semu. Sama dengan keadaan manusia yang sejatinya memang
lemah. Putus asa. Begitulah yang mendominasi ruang hati pada awalnya.
Berhari-hari
bahkan berbulan-bulan tak ada satu kalimat pun yang saya tulis. Namun sepanjang
hari hanya gelisah yang saya temui. Seperti di himpit beban berton-ton. Yang kemudian
membuat saya paham. Saya harus kembali menulis. Tentunya dengan memperaiki
niat. Menjadikan menulis bukan hanya sebagai luahan kisah sedih semata ataupun
terlalu terobsesi mengejar populeritas. Tapi menjadikan menulis sebagai bentuk ibadah untuk meperpanjang usia. Dengan tulisan yang memberikan pemahaman yang
baik kepada pembaca.
Dan bersabarlah menunggu kabar baik itu datang. Sebab semua itu
butuh proses. Sama halnya dengan sebuah pisau
yang tumpul jika terus menerus di asah akan menjadi tajam. Begitu pun dengan menulis jika terus menerus menulis
setidaknya satu kalimat satu hari. Tentu yang buntu lama-kelamaan akan
menemukan jalan. Yang beku akan mencair. Bukan hanya melatih dengan menulis. Tapi juga
membaca seperti yang dikatakan Asma Nadia. “Kamu tidak akan bisa menulis jika
kamu tak ingin membaca”. Ya, membaca tak hanya membaca buka. Peka untuk membaca
lingkungan. Sebab apa yang di lihat, apa yang di dengarkan, dan apa yang di
rasakan bisa menjadi ide cermerlang untuk di tulis. Misal saja ketika hujan
turun. Bagi seorang penulis setiap tetes hujan yang turun menyimpan banyak
cerita. Entah kehilangan, kesepian, luka, atau pun kebahagian. Begitu pun ketika
menatap langit, senja, laut, ombak, dan banyak lagi yang menjadi sumber
isnpirasi. Begitulah uniknya seorang penulis. Selalu belajar memahami kehidupan
dari alam. Dengan bermodalkan hati yang sedikit lebih peka. Hingga setiap usaha
yang menyatu dalam doa berbaik hati dengan waktu.
Hampir satu tahun lamanya saya menunggu setelah begitu jenuh dengan
kegagalan. Yang akhirnya membawa tulisan-tulisan saya yang tak hanya terbit media lokal. Satu per satu tulisan saya
menang lomba. Saya masih ingat hari itu ketika sebuah pesan masuk ke inbox
saya.
“Kak, ema selamat ya menang lomba cerpen Xpresi.”
“Benaran dek tidak sedang ngerjain Kakak kan?” Balas saya dengan
jemari yang gemetaran.
“Benaran kak serius kak.” Tanpa berpikir panjang dengan langkah
seribu langsung saya menuju ke kantor redaksi hanya untuk menanyakan kepastiaan
sms yang saya terima. Ternyata saya tak sedang bermimpi nama saya lengakap
dengan judul cerpen berada di urutan ke tiga. Rasanya sesuatu banget tak lagi
ingin teriak tapi ingin terbang ke langit ke 7 :)
Begitupun seterusnya satu per satu nama saya mulai ada di deretan
nominasi lomba online yang saya ikuti. Tentu saja prestasi kecil ini bagi saya
luar biasa sekali yang dulunya hanya saya tuliskan pada berlembar kertas. Di hina,
di jatuhkan, bahkan di pandang sebelah mata. Setidaknya dengan prestasi menulis
ini saya bisa merubah cara pandang keluarga saya yang dulunya hanya melihat
saya dari sisi kelemahan. Ah tenyata terkadang kita butuh di jatuhkan. Untuk memahami
begitu banyak potensi yang menumpuk yang memberikan sayap untuk terabang tinggi
meraih mimpi.
Di ikutkan dalam Proses Kreatif Menulis Flp Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar