Selasa, 08 November 2011

Cerpen: Luka Dalam Gerimis September



September masih saja gerimis menetes pada sebentuk luka yang menganga padahal sudah satu tahun kisah itu berlalu. Ingatanku kembali menembus potongan slide pertama kali aku mengenalinya.
“Dik, ikut training motivasi?” Tawar lelaki jangkung yang berkaca mata itu sambil menyerahkan selembar brosur kearahku.
Kuraih brosur itu dari tangannya sambil merapikan rambut panjangku yang diterbangkan angin.
“Kalau adik berminat ingin ikut silahkan hubungi No hp yang tertera di brosur itu.” Lanjutnya dengan senyum persahabatan yang ingin ia salurkan. Namun aku hanya membalas sikap dingin seperti biasa yang aku lakukan pada setiap orang.
Aku Naya Karisha Mahasiswi baru disalah satu Universitas Negri di daerahku. Empat tahun yang lalu aku adalah gadis ceria yang ingin bersahabat dengan siapa saja. Namun sosok ceria dalam diriku mulai memudar sejak luka melumuri hariku. Luka yang telah merubahku menjadi gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis.
Aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang bahagia yang memiliki tingkat ekonomi bisa dikatakan diatas rata-rata. Papa adalah seorang pengusaha yang memiliki beberapa toko pakaian di daerahku sedangkan Mama adalah guru SMP.walaupusn sibuk, Mama dan Papa selalu meluangkan waktu untuk berbagi cinta denganku karena aku adalah anak semata wayang mereka. Namun ketika seragam putih abu-abu masih membungkus tubuhku, kebahagiaan itu hancur setelah Mama mendapati Papa sedang berselingkuh dengan salah seorang karyawannya. Mama shock, tidak menyangka Papa akan menghianati cintanya.Mama meminta Papa untuk segera mengakhiri rumah tangga yang telah hampir delapan belas tahun terbangun. Dan Papa mengabulkan permintaan Mama. Setelah Papa dan Mama berpisah aku memutuskan untuk tinggal bersama Mama. Rasa benci kepada Papa mulai menumpuk dihatiku apalagi setelah berpisah dari Papa, hidup Mama jadi tidak karuan karena luka yang disajikan Papa amat perih hingga akhirnya Mama dirawat di rumah sakit jiwa. Mama stress.
Dan aku adalah gadis sunyi, meratap sepi, membungkus tangis. Aku berubah menjadi dingin tak ingin bersahabat. Tapi lelaki itu telah mencairkan kebekuaanku. Rogi Yuranda, lelaki yang pernah menawarkan brosur training motivasi saat hari pertama aku berstatus Mahasiswi. Ternyata ia adalah ketua Rohis, salah satu organisasi keislaman di kampusku. Lelaki jangkung berkaca mata, berjenggot tipis yang sentiasa menggunakan jacket organisasi dan membawa ransel di punggunya, Ia adalah sosok bijaksana selalu menjadi perbincangan hangat dikalangan cewek-cewek dijurusanku.
Berawal dari training motivasi yang ia tawarkan kepadaku dan semenjak itu lah aku mulai mengenalnya. Seperti ada magnet yang menarikku untuk mendekatinya. Untuk berbagi kisahku kepadanya. Kemudian Ia menghadirkan warna baru dalam hidupku, membawaku menyelusuri makna hidup, Itu kubuktikan saat menemani Papa di sisa terakhir napasnya.

“Nay, walau bagaimanapun ia tetap Papamu di dalam darah Naya, juga menglir darah Papa.” Bujukknya lewat telpon saat kuceritakan Papa sedang sakit parah.
“Nay, masih ingat nggak dengan kajian ustadz minggu lalu?” Tanyanya lembut.
“Masih.” Jawabku datar.
“Apa?” Tanyanya lagi layakknya seorang Kakak yang sedang mengajari adiknya.
“Ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua.”
“Nah, jika Naya ingin Allah ridho, maka Naya harus mencari ridho orang tua terlebih dahulu.” Bujukknya lagi.
Dan entah kenapa aku begitu ikut dengan semua ucapannya. Bagiku kehadirannya adalah seorang malaikat yang dikirimkan Allah sebagai Kakak untuk menghapus sepiku dan menyeka tangisku. Bukan hanya menghapus sepiku ataupun menyeka tangisku, tapi ia juga mengahadirkan cahaya untukku yang membuat aku semakin kuat melewati setapak demi setapak episode hidupku dan perlahan meninggalkan kelam diujung buku harianku yang usung.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku saat pertama kali aku menggunakan jilbab seperti yang ia saranku.
“Naya, wanita itu akan semakin cantik jika ia menutupi auratnya.” Jelasnya sambil meminjamkan aku sebuah buka yang berjudul Jilbab. Itulah sederet kalimat yang ia ucapkan beberapa bulan yang lalu saat kami bertemu di Musolah fakultas.
“Waalaikumslam.” Jawabnya menoleh kearahku sekilas kemudian menunduk.
Begitulah sikapnya tak pernah ingin menatapku lama ataupun tak pernah ingin menyentuhku sedikitpun. Awalnya aku mengira ia adalah lelaki aneh, namun perlahan setelah aku ikut memasuki dunianya, aku mulai mengerti sikap yang menurutku aneh itu adalah sebuah prinsip untuk menjaga dirinya dan juga untuk menjaga diriku.
Setelah aku benar-benar tersesat dalam dunianya ada rasa yang mulai tumbuh di palung hatiku. Rasa yang untuk pertama kalinya aku rasakan ketika aku masih berusia Sembilan belas tahun. Dulu ketika aku masih menggunakan seragam putih abu-abu aku juga pernah meraskan rasa ini, tapi tak sedalam ini. Rasa yang ingin menggapnya lebih dari seorang Kakak. Aku tahu rasa itu harus kupangkas, tapi setiap kali aku memangkasnya puncuknya kian rindang. Lalu yang bisa kulakukan hanya menyimpan rapi rasa itu ke dasar hati agar ia tak pernah tahu karena menjadi seorang adik dari laki-laki malaikat sepertinya saja aku sudah sangat bahagia. Namun kerana seringnya aku harus bertemu dengannya dalam rapat organisasi ada harap yang tak mampu kutepis kalau ia lah yang kuharap membimbingku menuju syurga. Tapi harapan itu hanya sebuah gelas kosong yang tak akan pernah mampu kuteguk karena ia telah hilang bersama angin.
Sore itu 5 September, gerimis masih menitik atap musolah kampus. Sudah hampir setengah jam aku dan beberapa akhwat lainnya menunggu kehadiran Kak Rogi untuk melaksanakan rapat namun sosok Kak Rogi tak kunjung muncul. Kulirik jam yang melingkar dipergelangan tanganku telah menunjukkan jam 17.00. Samar-samar kudengar suara ikhwan dibalik hijab sepertinya sedang berbicara lewat telpon.
“Afwan ukhti kita harus segera ke rumah sakit, akhi Rogi kecelakaan.” Kejut salah seorang ikhwan yang membuat tubuhku melemah.
Limas belas menit sudah aku menunggu di luar ruangan Kak Rogi di rawat dengan air mata yang menggenang. Kulihat beberapa dokter keluar dari ruangan Kak Rogi. Segera kuhampiri dokter itu.
“Maaf, kami sudah berusaha, tapi…”Dengan raut wajah tegang dokter itu menyapu keringat yang berjatuhan di pipinya, tanpa melanjutkan ucapannya.
Aku menatap tubuh Kak Rogi yang terbujur kaku dengan isak yang tertahan. Seketika kurasakan langit runtuh dan aku tertimbun dalam kepingan-kepingannya.
***
Kulihat senja yang mulai menggantung di kaki langit namun gerimis masih menitik. Kuhapus bulir-bulir hangat yang mengalir deras ke ujung bola mataku. Hari ini satu tahun sudah kisah itu berlalu. Ratusan hari sudah luka itu terlewati, barjuta jam sudah tangis itu menggenang.
“Dik, dia yang Allah ambil adalah bukti cinta Allah kepada adik, akankah adik sia-siakan dengan selalu menysahkan ruang untuk dia? Cintai dia karena Allah dik!.” Nasehat senior yang pernah ia kenalkan padaku dulu, saat kuceritakan semua tentang rasaku padanya, termasuk rasa yang masih kusimpan rapi di palung hatiku dan ia tak akan pernah tahu, sampai kapanpun.

1 komentar:

Eftriani Putri mengatakan...

good story my sister :)
terus berkarya ...