Rabu, 29 Desember 2010

Karena Pelangi



Karena pelangi
Yang hapuskan gerimis di wajah hariku
Hadirkan selaksa warna menembus lorong sunyi

Karena pelangi
Yang tanamkan semangat
Di sekeping jiwa hampa
Menabur mimpi berputikkan asa

Karena pelangi
Yang sisipkan senyum
Di kantong jiwa layu
Merenggut resah yang mengembun

Karena pelangi
Yang lukiskan tawa
Di dinding jiwa rapuh
Membiaskan warna-warni ketegaran

Karena pelangi
Yang teteskan cinta
Pada berjuta cerita
Yang terajut mesra dalam bingkai ukuwah
Bermahkota awan

Senin, 27 Desember 2010

Karena Aku Tidak Ingin Menangis Lagi




Kusisipkan senyum di tiap sudut hariku
Karena aku tidak ingin menangis lagi
Walaupun air mata masih mengalir ditepian hatiku
Kulukis tawa di wajah hari
karena aku tidak ingin menangis lagi
walaupun perih masih terasa pilu
Dan kuukir ceria di tiap lembar hariku
karena aku tidak ingin menangis lagi
Walaupun luka masih tersenyum
Bukan maksudku untuk berpura-pura
Tapi aku hanya ingin belajar untuk tidak menghiraukan air mata
tidak memanjakan luka,dan tidak mengacuhkan perih
Agar masalah tak selalu menjadi raja di ruang fikirku
Karena aku tak ingin menangis lagi
Dan kuyakin Allah selalu siapkan kepingan hikmah
Untuk mendewasakanku

Selasa, 21 Desember 2010

Senyum Terakhir Adinda




Kutarik kembali sebuah selimut berwarna pink untuk menutupi tubuhku yang semakin kedinginan. Di luar gerimis masih turun, aku bisa mendengarkan bunyi air yang memukul-mukul kaca jendela kamarku. Sudah hampir satu minggu aku sakit dan hanya bisa terbaring lemas di atas springbad ini. Sekilas kutatap bubur yang terletak disampingku sepertinya tidak hangat lagi. Tadi pagi Adinda yang mengantarkannya untukku. Adinda adalah saudara tiriku. Saudara?? Pantaskah aku mengatakan ia saudara sedangkan hatiku belum bisa menerima kehadirannnya.
“Nay, ayah akan menikah lagi,” ujar ayah dua tahun yang lalu.
Aku hanya diam menanggapi perkataan ayah.
“Nay, kalaupun ayah menikah lagi bukan berarti ayah telah melupakan ibumu, ibumu tetap paling pertama di hati ayah,”
Aku masih tetep tak bersuara.
“Tapi di lain sisi ayah membutuhkan seorang wanita untuk menjaga ayah sampai ayah tua nanti, percayalah nak.”Lanjut Ayah.
Lima tahun sudah ibuku meninggal. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sangat menyayangi ibu dan tidak mudah bagiku untuk menerima kehadiran wanita lain sebagai pengganti ibu karena luka atas kepergian ibu masih terasa perih di hatiku. Tapi ayah tidak menghiraukan persaanku saat itu. Beberapa bulan setelah ayah menyampaikan keinginannya ingin menikah lagi, ayah membawa seorang wanita paroh baya dan seorang gadis yang dua tahun lebih muda dariku pulang ke rumah. Kehadiran mereka membuat hidupku berubah. Perasaan benci mulai mengakar di hatiku karena perhatian ayah telah terbagi untuk ibu dan saudara tiriku itu. Sebenarnya ibu dan saudara tiriku sangat baik, tidak seperti yang selalu diceritakan orang-orang yang mengatakan ibu dan saudara tiri itu kejam. Ibu tiriku selalu memperlakukanku seperti anak sendiri begitu juga dengan saudara tiriku, tutur katanya sangat halus. Sudah hampir satu tahun aku serumah bersama mereka, tapi sikapku masih tetap dingin terutama pada sauadara tiriku. Entah kenapa aku belum bisa menemukan cela untuk menyayanginya. Seperti tadi pagi ia mengantarkan bubur hangat untukku.
“Kak, ini Adinda buatkan bubur untuk kakak, dimakan ya kak!” Ucapnya lembut.
Aku hanya menangggapi dengan sikap dingin seperti biasa yang kulakukan padanya.
“Kak, hari ini Adinda tidak bisa nemenin kakak, Adinda ada ulangan, kakak cepat sembuh ya!”
Aku tetep tak bersuara sambil menoleh kearahnya sekilas.
Selama aku sakit Adindalah yang selalu menemaniku sampai-sampai ia rela tidak tidur hanya untuk menjagaku. Tapi tetep saja kekerasan hatiku belum luluh untuk menyayanginya seperti adik sendiri.
***
Kulirik jam dinding yang tergantung di kamarku telah menunjukkan jam 12.30. aku beranjak menuju ruang makan untuk mengisi perutku yang dari pagi tadi pagi belum terisi apapun. Saat keluar dari kamar pandanganku tertuju ke kamar Adinda yang berada di samping kamarku. Entah kekuatan apa yang membawa langkahku ingin masuk ke dalam kamarnya. Sampai di dalam kamar Adinda, kulihat di atas meja belajarnya ada sebuah buku bersampul pink tergeletak begitu saja sepertinya itu buku harian Adinda. Tiba-tiba saja rasa penasaran ingin membaca buku harian Adinda melintas di pikiranku. Kuraih buku itu dan kubuka lembar per lembar.
Dear diary
Ry, aku bahagia. Mulai hari ini aku sudah punya ayah lagi dan yang paling membuat aku bahagia aku juga mempunyai seorang kakak. Semoga saja aku bisa menjadi adik yang baik.
Dear diary
Ry, nama kakakku itu Nayla. Dia sangat cantik, tapi sepertinya kak Nayla belum bisa menerima kehadiranku mungkin kak Nayla hanya butuh waktu.
Dear diary
Ry, walaupun kak Nayla selalu bersikap dingin terhadapku. Aku akan tetap menyayanginya seperti kakak sendiri karena aku yakin suatu hari nanti kak Nayla pasti akan menyayangiku.
Dear diary
Ry, kak Nayla sakit. Aku tidak tega melihatnya terbaring lemah seperti itu, kalau bisa biarkan aku saja yang menggantikan posisi kak Nayla. Ya Allah sembuhkanlah kak Nayla.
Aku tertunduk lemas membaca diary Adinda. Bulir-bulir hangat mulai menggenang di bola mataku perlahan jatuh ke pipi. Orang yang selama ini kuanggap telah merebut kebahagiaanku ternyata begitu tulus menyayangiku.
“lihat Nay betapa Adinda sangat menyayangimu dimana nuranimu Naylaaaa…” teriak nuaraniku.
Saat rasa sayang mulai menyilap ke relung-relung hatiku tiba-tiba telepon di ruang tamu berdering. Aku bergegas menuju ke ruang tamu.
“Adinda masuk rumah sakit Nay,” terdengar suara ayah di seberang sana.
“Kenapa yah?” Tanyaku cemas.
“Adinda kecelakaan, cepat kesini!”
Begitu telepon di tutup, aku bergegas ke rumah sakit dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing.
Saat tiba di ruang icu tempat Adinda di rawat. Kulihat tubuh Adinda sudah di balut selang infuse dan di mulutnya terpasang oksigen alat bantu pernapasan. Tiba-tiba saja tangisku pecah melihat kondisi Adinda.
“Adinda kenapa?” Tanyaku pada Ayah.
“Adinda di tabrak mobil sewaktu ingin pulang sekolah.” Jelas ayah sambil menenangkan ibu yang tertunduk lemas di samping ayah.
***
Ini sudah memasuki tiga pekan, tapi Adinda juga belum sadrkan diri. Kuraih jari-jari Adinda dan kugemgam erat-erat. Pelan tangan itu bergerak, aku tersentak. Kulihat bibir Adinda juga bergerak.
“Kakak.” Desahnya.
“Iya.” Jawabku sambil tersenyum kearahnya.
Kulihat Adinda menarik napas ingin mengatakan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke bibir Adinda.
“Kak, Adinda sayang sama kakak,” ucapnya terbata-bata.
“Kakak juga sayang sama Adinda, maafkan kakak selama ini,” Ucapku dengan mata berkaca-kaca.
Kulihat seulas senyum merekah dibibirnya dan perlahan semakin meredup bersama terpejamnya kedua bola mata Adinda.
“Adinda, Adinda,Adinda.” Teriakku panik.
Namun adinda tak bersuara lagi. Saat kugemgam jemarinya kudapati jemarinya telah dingin.
***
Gundukan tanah itu masih terlihat baru. Diatas pusara bertuliskan nama Adinda farisha. Masih menari dalam ingatanku saat-saat terakhir bersama Adinda. Senyum terakhir Adinda masih membekas dihatiku. Kenapa secepat ini ia pergi disaat aku mulai menyayanginya. Air mataku mengalir deras tak terbendung lagi bersama perih yang terus menjalar di dinding sukamaku.

Harapan 1 lomba menulis cerpen Remaja
Writing Revolution